Upacara Melasti di Bali

Denpasar (Metrobali.com)-

Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Provinsi Bali menetapkan tiga hari, 18–20 Maret 2015, bagi desa pekraman (adat) di Pulau Dewata untuk melaksanakan kegiatan ritual Melasti (Mekiyis).

“Hal itu terkait dengan Hari Suci Nyepi Tahun Baru Saka 1937 yang jatuh pada hari Sabtu (21/3),” kata Ketua PHDI Bali Dr. I Gusti Ngurah Sudiana, M.Si. di Denpasar, Selasa.

Masing-masing desa pekraman, kata I Gusti Ngurah Sudiana, dapat memilih salah satu dari tiga hari baik yang telah ditetapkan untuk melaksanakan ritual Melasti sesuai dengan tempat, waktu, dan keadaan (desa kala patra).

Ia mengatakan bahwa kegiatan Melasti itu dipimpin dan diatur oleh prajuru (pengurus) desa adat masing-masing dengan menekankan ketertiban, kelancaran, dan keamanan.

Sebanyak 1.480 desa adat di delapan kabupaten dan satu kota di Bali, baik di perdesaan maupun perkotaan, sudah mengadakan persiapan karena pelaksanaannya akan dimulai Rabu (18/3).

Kegiatan ritual Melasti itu bermakna untuk membersihkan “pratime” atau benda-benda yang disucikan di Pura Desa Bale Agung, Puseh, dan Pura Dalem di masing-masing desa adat di Pulau Dewata.

Ngurah Sudiana menjelaskan ritual Melasti oleh masing-masing desa adat itu dapat dilakukan ke laut bagi masyarakat yang bermukim di sepanjang pantai atau ke danau untuk masyarakat yang tinggal di daerah pegunungan.

Masyarakat yang bermukim di tengah-tengah, jauh dari gunung maupun laut dapat melaksanakan ritual ke sumber mata air terdekat di wilayah lingkungan desa adat tersebut.

Majelis tertinggi umat Hindu di Bali itu jauh sebelumnya telah mengeluarkan pedoman tentang pelaksanaan Hari Suci Nyepi Tahun Baru Saka 1937 yang jatuh pada hari hari Sabtu, 21 Maret 2015.

Pedoman tersebut merupakan hasil rapat pengurus harian dan anggota Forum Welaka (kelompok pemikir) PHDI Bali tentang perayaan Hari Suci Nyepi Tahun Baru Saka 1937.

Masing-masing desa adat setelah melaksanakan ritual Melasti, menyusul ritual “Bhatara Nyejer” di Pura Desa/Bale Agung di desa adat, dilanjutkan dengan “Tawur Kesanga” atau persembahan kurban pada hari Jumat (20/3), sehari menjelang Nyepi.

“Tawur Kesanga” itu dilakukan secara berjenjang di tingkat Provinsi Bali yang dipusatkan di Pura Besakih, kemudian tingkat kabupaten/kota, kecamatan, desa, dan banjar hingga di rumah tangga masing-masing.

Kegiatan ritual tersebut bermakna meningkatkan hubungan yang serasi dan harmonis antara sesama umat manusia, lingkungan, dan dengan Tuhan Yang Maha Esa (Tri Hita Karana).

“Tawur Kesanga” yang berakhir pada petang hari itu dilanjutkan dengan ‘Ngerupuk’ yang bermakna mengusir roh jahat serta menetralkan semua kekuatan dan pengaruh negatif “bhutakala”, yakni roh atau makhluk yang tidak kelihatan secara kasat mata di lingkungan warga.

Keesokan harinya, Sabtu (21/3), umat Hindu merayakan Hari Suci Nyepi Tahun Baru Saka 1937 dengan melaksanakan “Catur Brata” penyepian, yakni empat pantangan (larangan) yang wajib dilaksanakan dan dipatuhi umat Hindu.

Keempat larangan tersebut meliputi tidak melakukan kegiatan/bekerja (amati karya), tidak menyalakan lampu atau api (amati geni), tidak bepergian (amati lelungan), serta tidak mengadakan rekreasi, bersenang-senang, atau hura-hura (amati lelanguan).

“Pelaksanaan ‘Catur Brata’ penyepian diawasi secara ketat oleh petugas keamanan desa adat (pecalang) di bawah koordinasi prajuru atau pengurus banjar setempat,” kata Ngurah Sudiana. AN-MB