Prof Windia

Denpasar (Metrobali.com)-

Pengamat pertanian dari Universitas Udayana Prof Dr Wayan Windia menganggap meningkatnya petani gurem yang menggarap lahan 0,5 hektare berpotensi mengancam sektor pertanian, subak, dan kebudayaan masyarakat Bali.

“Petani gurem lebih diperparah dengan tekanan pajak bumi dan bangunan (PBB) yang cenderung mencekIk karena pengenaan pajak didasarkan atas nilai tanah pertanian tersebut,” kata Ketua Pusat Penelitian Subak Unud di Denpasar, Kamis (28/8).

Menurut dia, petani dalam mengembangkan sektor pertanian betul-betul menghadapi tantangan dan hambatan, selain tekanan pajak juga air irigasi yang semakin langka, nilai input yang semakin tinggi, dan nilai produksi yang stagnan.

“Semua itu bisa saja akan mendorong petani untuk menjual lahan sawahnya,” ujar Windia.

Mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS) Bali tahun 2010, dia menyebut sawah di berkurang 1.000 hektare per tahun, sedangkan sawah yang rusak bisa berlipat ganda akibat kebijakan Badan Pertanahan Nasional (BPN) mematok hingga saluran irigasi subak, pada saat sertifikasi alih fungsi lahan.

Jika tidak ada tindakan tegas terhadap hal itu, maka Windia mengkhawatirkan 50 tahun ke depan sawah dan subak di Bali akan sirna dan pada saat itu pula kebudayaan Bali akan goyah menyusul akan lenyap pula atau mengalami transformasi.

Sementara negara Jepang memperkirakan sawahnya akan habis tahun 2050. Di negara maju itu kini banyak juga kegelisahan menjelang akan habisnya areal sawah.

Sejumlah tim ahli dari Jepang datang ke Bali untuk mempelajari bagaimana mekanisme sistem subak Pulau Dewata dapat mengendalikan alih fungsi lahan sawah.

Apalagi dengan adanya pengakuan UNESCO terhadap subak di Bali sebagai warisan budaya dunia (WBD) mampu menjaga dan memelihara keabadian subak.

“Pengakuan badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) itu ternyata juga tidak mampu mencegah alih fungsi lahan pertanian. Untuk itu subak di Pulau Dewata perlu diproteksi dengan peraturan daerah (perda) Subak Abadi,” ujar Prof Windia menambahkan. AN-MB