ngaben massal busungbiuBuleleng (Metrobali.com)-

Upacara Ngaben yang merupakan sebuah rangkaian upacara sakral yang ada di Bali hendaknya dimaknai sebagai salah satu upaya untuk membayar hutang kepada leluhur yang sering diistilahkan dengan Pitra Rna

“Hidup kita ini sesungguhnya banyak hutang, dan cara untuk membayarnya harus dengan beryadnya, dan salah  satunya adalah upacara ngaben ini,” jelas Pastika yang menurutnya selain hutang kepada leluhur berupa Pitra Rna yang dibayar dengan melalui upacara Pitra Yadnya.

Selain itu dijelaskan Pastika ada juga hutang manusia kepada tuhan, hutang kepada kepada guru yang telah memberikan kita pengetahuan, hutang kepada sesama manusia serta hutang kepada alam dan lingkungan sekitar kita.

Lebih lanjut disampaikan Pastika bahwa sesungguhnya upacara Ngaben itu bisa dilaksanakan sendiri – sendiri, namun akan terasa lebih baik bila dilaksanakan bersama – sama secara bergotong royong dgn semangat menyama braya, “Coba kita bayangkan kalau atma itu berjalan sendiri kesana pasti akan terasa kesepian dia, bandingkan kalau ramai – seperti saat ini, pasti akan terasa lebih menyenangkan, jadi saya menganggap ngaben secara bersama atau massal itu adalah bukan hal yang nista dan masyarakat saya harap tidak perlu minder jika melaksanakan upacara Ngaben massal seperti ini,” tegas Pastika.

Dalam melaksanakan upacara Ngaben, Pastika mengingatkan agar dilaksanakan  dengan tulus ikhlas serta niat yang baik, jadi tidak ada perbedaan antara yang melaksanakan sendiri – sendiri maupun bersama.. Demikian disampaikan Gubernur Bali Made Mangku Pastika dalam darma wacananya di hadapan masyarakat yang mengikuti upacara ngaben massal Atma Preteka/Atma Wedana yang dilaksanakan di Desa Adat Kedis, Kecamatan Busungbiu, Kabupaten Buleleng, Sabtu (21/11).

Pastika juga mengakui bahwa dirinya sangat tidak suka jika ada suatu desa yang melaksanakan upacara yadnya dengan sangat mewah dan menghabiskan banyak dana padahal di desa tersebut masih banyak masyarakat miskin, masyarakat yang tidak punya rumah, masyarakat yang sakit dan tidak bisa berobat serta masyarakat yang tidak bisa sekolah akibat dari kemiskinan tersebut. Menurutnya, yadnya yang mewah tersebut hanya akan membebani masyarakat miskin yang ada di desa tersebut.

“Jangan sampai ada masyarakat yang stres gara – gara tidak bisa bayar urunan, itu jro bendesa berdosa besar namanya, kecuali kalau desanya sudah kaya tidak apa – apa itu,” tegas Pastika. Oleh karena itu, Ia mengajak masyarakat untuk mengubah mind set tentang Agama Hindu ke arah yang lebih baik sehingga masyarakat menjadi lebih memahami tentang Agama Hindu dan memiliki keyakinan yang kuat tentang Agama Hindu.

Sementara itu, Ketua Panitia Upacara I Ketut Rena menyatakan upacara yang puncak pelaksanaannya pada tanggal 24 November mendatang ini dilaksanakan dengan upaya untuk meminimalisir pengeluaran yang dikeluarkan setiap masyarakat. Ia mengaku sarana – sarana upacara sebisa mungkin di dapat tanpa mengeluarkan biaya yang banyak, misalnya seperti bambu yang masih bisa dicari di alam sekitar desa Kedis.

Lebih lanjut disampaikannya, upacara Ngaben massal ini diikuti oleh 11 dadia, hal tersebut menunjukkan bahwa dalam pelaksanaan sebuah yadnya semua masyarakat tidak ada yang lebih tinggi derajatnya, semuanya sama di mata Tuhan. Dari 11 dadia tersebut, terdapat 40 yang ikut Ngaben, 2 Nyekah, 31 Ngerapuh, 34 Ngelungah dan Ngaben massal ioni juga dirangkaikan dengan Upacara metatah massal yang diikuti oleh 138 orang.

Dalam kesempatan tersebut, Gubernur Pastika yang juga turut didampingi oleh PLt. Kepala Biro Humas Setda Provinsi Bali I Ketut Teneng menyerahkan punia yang diterima secara langsung oleh Bendesa Adat Kedis Ketut Swiditha, yang kemudian acara diakhiri dengan persembahyangan bersama di Pura Dalem Desa Kedis. AD-MB