Denpasar (Metrobali.com)-

Menteri Keuangan Muhammad Chatib Basri menilai Indonesia berpeluang “naik kelas” dari negara berpenghasilan menengah menjadi negara berpenghasilan tinggi.

“Indonesia telah masuk dalam kategori negara berpendapatan menengah sejak awal 1990-an dengan pendapatan per kapita 5.170 dolar AS per tahun. Dengan demikian, peluang terhindar dari ‘middle income trap’ (jebakan negara berpenghasilan menengah) masih cukup besar,” katanya di sela-sela Seminar Internasional mengenai “Middle Income Trap” yang diselenggarakan Kementerian Keuangan, Bappenas, dan Bank Indonesia di Nusa Dua, Bali, Kamis (12/12).

Peluang Indonesia “naik kelas” itu didasarkan pada beberapa faktor, seperti potensi ekonomi, baik berupa kekayaan alam maupun jumlah penduduk yang besar mencapai 250 juta orang.

Bahkan, secara demografi struktur penduduk di Indonesia didominasi oleh kelompok produktif yang sangat menguntungkan bagi perekonomian nasional dan fenomena ini dikenal sebagai bonus demografi. Selain itu, kinerja ekonomi makro cukup baik.

“Tidak mudah memang untuk melakukan lompatan dari kelompok kelas menengah kepada kelompok berpenghasilan tinggi. Studi Bank Dunia bahkan menunjukkan bahwa negara yang terperangkap ke dalam jebakan kelas menengah jauh lebih banyak dibandingkan negara yang mampu naik kelas menjadi negara berpenghasilan tinggi,” katanya.

Menkeu Chatib menambahkan bahwa ada beberapa tantangan yang harus dihadapi oleh Indonesia untuk bisa melakukan lompatan menjadi negara berpenghasilan tinggi. Secara eksternal beberapa tantangan tersebut adalah ketidakpastian global dan tingginya volatilitas harga minyak.

Sementara itu, dari sisi domestik, beberapa tantangan yang dihadapi adalah perlambatan produktivitas ekonomi, tren penurunan produksi minyak, masih tingginya angka kemiskinan dan pengangguran serta adanya peningkatan ketidaksamaan (inequality).

Menurut Menkeu Chatib, beberapa strategi yang perlu dilakukan untuk naik kelas ke kelompok negara berpendapatan tinggi, di antaranya pertumbuhan ekonomi haruslah berkelanjutan sekaligus inklusif.

Pertumbuhan yang berkelanjutan (sustainable) haruslah didukung dengan meningkatnya produktifitas yang ditunjang oleh peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM), pengelolaan sumber daya alam (SDA) yang baik untuk penciptaan nilai tambah tinggi di dalam negeri, pengembangan teknologi dan inovasi serta tentunya dengan tetap menjaga stabilitas ekonomi.

“Kesimpulannya ada proses transformasi industrialisasi secara gradual ke arah industri berbasis nilai tambah tinggi. Sementara itu, pertumbuhan yang inklusif diarahkan agar kemajuan ekonomi haruslah juga dinikmati oleh kelompok masyarakat berpendapatan rendah sehingga mampu mengatasi persoalan ketimpangan pendapatan,” katanya. AN-MB