Revisi terhadap Undang-undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota mendesak untuk diselesaikan oleh DPR dan Pemerintah.

Setidaknya di tahun ini sebanyak 204 kepala daerah, yang terdiri atas delapan gubernur dan sisanya adalah bupati dan wali kota yang masa jabatannya berakhir.

Sejak Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2014 menjadi UU, DPR dan Kementerian Dalam Negeri sepakat untuk melakukan revisi karena dinilai masih banyak ketidaksesuaian di antara pasal-pasalnya.

Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo menyatakan Pemerintah tetap menginginkan pilkada serentak dilakukan sesuai dengan amanat UU, yakni di 2015.

Alasannya, hal tersebut sudah disesuaikan dengan rancangan besar pilkada serentak di seluruh provinsi, kabupaten dan kota di Tanah Air yang direncanakan bertahap di 2015, 2018 dan 2020.

Jika pilkada serentak gelombang pertama dimundurkan ke 2016, maka mau tidak mau rencana keserentakan pilkada juga berubah, sehingga diperlukan waktu dan biaya lebih untuk menyusun ulang rencana besar tersebut.

“Kalau Pemerintah inginnya konsisten mengadakan pilkada serentak bertahap di 2015, 2018 dan 2020, kemudian di antaranya ada Pileg dan Pilpres 2019. Tergantung KPU-nya siap atau tidak, karena yang mengetahui rincinya kan KPU. Anggaran sudah siap semua dan daerah yang harus pilkada di 2015 ini tidak mau mundur karena kalau mundur bisa ‘cost’ (menimbulkan biaya) lagi,” kata Mendagri Tjahjo.

Jika keterbatasan waktu menjadi kendala dalam pilkada serentak 2015, Mendagri pun mengusulkan agar sejumlah masa tahapan yang ada dalam UU Pilkada diperpendek.

“Tidak masalah kalau diperpendek masa tahapannya, misalnya soal kampanye itu bisa dipotong karena kan figur calon kepala daerah pasti sudah mengetahui peta daerahnya sehingga bisa dipersingkat saja kampanyenya,” katanya.

Sementara itu, Wakil Ketua Komisi II dari Fraksi Partai Gerindra Ahmad Riza Patria mengatakan Panitia Kerja RUU Pilkada fokus membahas 13 poin yang akan direvisi dalam UU Nomor 1 Tahun 2015 tersebut.

Ke-13 poin tersebut antara lain terkait persyaratan umur dan pendidikan bakal calon, penyelesaian sengketa, batas ambang serta perolehan suara partai pendukung bakal calon.

Selain itu juga mengenai syarat bakal calon independen atau perseorangan, mekanisme pengangkatan penjabat, ketentuan biaya pilkada, sistem pencalonan paket atau non-paket dan penegasan lembaga penyelenggara.

“Baru beberapa poin yang sepakat antara DPR dan Pemerintah, yaitu yang pasti soal penegasan penyelenggaranya. Kami sepakat, walaupun pilkada bukan rezim pemilu, KPU tetap menjadi lembaga penyelenggara karena sudah berpengalaman,” katanya.

Ketentuan syarat umur bakal calon, DPR dan Pemerintah sepakat pengaturan itu tidak akan direvisi, yakni minimal 25 tahun untuk bupati dan wali kota serta minimal 30 tahun untuk gubernur.

Sedangkan syarat pendidikan bagi calon gubernur, bupati dan wali kota masih sama dengan UU yakni minimal lulu Sekolah Menengah Atas (SMA) atau setaranya.

“Soal syarat minimal umur tetap sama yakni 25 tahun dan 30 tahun. Intinya tidak membatasi orang dan tidak jaminan juga umur yang lebih tua tidak lebih mumpuni. Kalau soal syarat pendidikan itu dasarnya calon presiden saja syaratnya minimal SMA kok,” ungkapnya.

Usulan-usulan Revisi Guna mengejar target revisi UU Pilkada, Panita Kerja RUU Pilkada bersama Kemendagri pun menggelar rapat secara maraton di Jakarta, sejak Kamis (12/2) hingga Sabtu.

Hal itu dilakukan karena komitmen DPR adalah akan memutuskan nasib revisi UU tersebut pada Selasa (17/2) pekan depan.

Rapat yang digelar di salah satu hotel di kawasan Jakarta Pusat itu juga mengundang pihak KPU dan Bawaslu untuk dimintai masukan mengenai usulan revisi.

Baik KPU maupun Bawaslu mengusulkan sedikitya 23 poin dalam UU Pilkada harus diperbaiki dan disesuaikan dengan pasal-pasal lainnya.

Poin-poin usulan dari KPU terkait mundurnya waktu pelaksanaan ke 2016, definisi hari kerja dan kalender, uji publik, syarat bakal calon, panitia uji publik, mekanisme seleksi panitia uji publik, penyampaikan syarat dukungan calon perseorangan, syarat calon, pengaturan kampanye, logistik, pemungutan suara dan mekanisme rekapitulasi.

Kemudian menyangkut penyelesaian sengketa administrasi, sengketa hasil pilkada, surat suara cadangan, tugas dan wewenang penyelenggara pemilu, tahapan penyelenggaraan, daftar pemilih, surat suara tambahan atau cadangan, penetapan calon terpilih, pemberitahuan berakhirnya masa jabatan kepala daerah, adanya pengulangan bunyi pasal serta redaksional.

Terkait uji publik, KPU mengusulkan agar UU merevisi dengan mengatur lebih rinci mengenai persyaratan pendaftaran bakal calon, yakni untuk partai politik setidaknya harus sudah memperoleh 20 persen kursi di DPRD atau 25 persen suara sah dari Pemilu 2014 lalu.

Kemudian untuk syarat calon perseorangan harus melampirkan syarat dukungan sedikitnya 10 persen dari jumlah minimal dukungan yang tersebar di separuh lebih dari total jumlah kecamatan atau kabupaten-kota.

“Selain itu, yang penting untuk diperhatikan juga, adalah sebaiknya diatur pembatasan jumlah bakal calon yang boleh diajukan partai atau gabungan partai, serta bakal calon perseorangan. Ini untuk mencegah supaya tidak sembarangan orang yang mendaftar,” kata komisioner KPU Hadar Nafis Gumay.

Selain itu, tentang usulan revisi pengaturan penyelesaian sengketa hasil pilkada, KPU meminta agar pengaturan masa penyelesaian perselisihan hasil pilkada di tingkat akhir diperpendek dengan mengembalikan mandat ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Sementara itu, usulan-usulan revisi dari Bawaslu antara lain menyangkut penanganan pelanggaran, sengketa proses pemilihan, sengketa tata usaha negara, uji publik, dukungan proses pencalonan, kampanye, dan politik uang.

Selain itu ada pula usulan terkait pelarangan keterlibatan kepala daerah dalam kampanye, perimbangan pengaturan kelembagaan penyelenggara pemilu, pengawas di TPS dan pengawasan penetapan hasil pilkada.

Revisi UU Pilkada menjadi mendesak untuk segera dilakukan karena waktu yang tersisa tidak banyak. KPU sendiri memprediksi masa tahapan sebelum pemungutan suara setidaknya memakan waktu 17 bulan terhitung sejak ditetapkannya peraturan.

Artinya, jika pilkada tetap di 2015 maka harus ada pemotongan masa tahapan sehingga simulasi KPU yang menjadwalkan pilkada di 16 Desember dapat tercapai. Fransiska Ninditya/Antara