FGD Evaluasi Kampanye Pilpres

Denpasar (Metrobali.com)-

Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Bali mengingatkan media penyiaran untuk tidak bersikap partisan membabi buta. Lembaga penyiaran memang dituntun independen atau berpihak pada kebenaran. Media penyiaran berhak bersimpati dengan aliran politik tertentu tetapi harus tetap dalam koridor kode etik jurnalistik dan tidak membabi buta. Lembaga penyiaran harus tetap ingat bahwa mereka bekerja untuk kebaikan masyarakat dan menggunakan frekuensi publik. Demikian disampaikan Komisioner Bidang KelembagaanKPID Bali I Nengah Muliarta dalam keteranganya usai acara FGD Evaluasi Kampanye Pemilu Presiden dan Wakil Presiden di Sanur Bali pada Jumat (27/6/2014).

 Muliarta mengatakan cukup banyak keluhan masyarakat terkait sikap partisan TV One dan Metro TV terhadap pasangan calon presiden. MetroTV memberikan porsi pemberitaan yang lebih banyak kepada pasangan calon Jokowi-JK dibandingkan pasangan calon Prabowo-Hatta. TVOne  memberikan porsi pemberitaan yang lebih banyak kepada pasangan calon Prabowo-Hatta dibandingkan pasangan calon Jokowi-JK. Begitu juga RCTI, MNC TV dan Global TV  memberikan porsi pemberitaan yang lebih banyak kepada pasangan calon Prabowo-Hatta dibandingkan pasangan calon Jokowi-JK. Lembaga penyiaran tersebut juga cenderung menempatkan diri sebagai humas. “sehingga tidak salah kemudian menjadi pameo di masyarakat bahwa sekarang telah muncul Prabowo TV dan Jokowi TV” kata I Nengah Muliarta

 Dalam pasal 36 Undang-Undang 32 tahun 2002 tentang penyiaran disebutkan bahwa lembaga penyiaran wajib menjaga netralitas dan tidak boleh mengutamakan golongan tertentu saja. Isi siaran juga dilarang bersifat memfitnah, menghasut, menyesatkan dan atau bohong. Selain itu, dalam Peraturan Komisi Penyiaran Indonesia nomor 02/P/KPI/03/2012 tentang standar program siaran dalam pasal 11 ayat (1) telah ditegaskan bahwa “program siaran wajib dimanfaatkan untuk kepentingan public dan tidak untuk kepentingan kelompok tertentu”. Pada ayat (2) juga telah ditegaskan bahwa “program siaran dilarang dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi pemilik lembaga penyiaran bersangkutan dan/atau kelompoknya”.

 Menurut Muliarta, sikap partisan membabi buta yang dilakukan lembaga penyiaran tentunya akan merugikan lembaga penyiaran sendiri. Lembaga penyiaran yang mengangkat satu pasangan calon presiden saja dan menguntungkan satu kelompok saja, tentu akan ditinggalkan masyarakat umum karena kebanyakan masyarakat tidak dari kelompok tersebut. Apalagi masyarakat merasa tidak mendapatkan informasi yang berimbang. “remote ada ditangan pemirsa, klau pemirsa tidak mendapatkan apa yang diingatkan maka dengan mudah pindah chanel” tutur Muliarta.

 Muliarta menegaskan akibat gerakan partisan yang membabi buta, lembaga penyiaran sampai lupa akan tugas dan tanggungjawab sosial untuk melakukan pendidikan politik. Pemberitaan proses tahapan pemilihan presiden dan permasalahannya tak mendapatkan porsi pemberitaan. Begitu juga proses persiapan logistic dan pendistribusian logistic ke daerah pedalaman terasa tenggelam ditengah promosi ketokohan para calon presiden. Lembaga penyiaran juga lupa untuk memberikan ruang bagi pesan layanan masyarakat. Padahal pesan layanan masyarakat tentang pemilu merupakan bagian dari pendidikan politik. Padahal lembaga penyiaran seharusnya membuat pesan layanan masyarakat yang pada intinya untuk mensosialisasikan proses pemilu dan mengajak masyarakat untuk menggunakan hak pilihnya. “lihat sekarang tayangan pesan layanan masyarakat sangat minim, apa ini kompensasi lembaga penyiaran terhadap frekuensi public yang digunakan” tegas Muliarta.

 Cukup banyak keluhan masyarakat yang menyalahkan KPI terkait sikap partisan lembaga penyiaran yang membabi-buta. Hal ini memang wajar karena masyarakat menunggu adanya tindakan tegas kepada lembaga penyiaran tersebut. Sedangkan KPI sendiri telah melayangkan teguran tertulis pada 5 lembaga penyiaran, diantaranya Metro TV, TVone , RCTI, MNC TV dan Global TV . Jika nantinya dari hasil evaluasi lembaga penyiaran tersebut belum mengubah format pemberitaan, KPI akan mengirim rekomendasi kepada Kementerian Kominfo untuk tidak memperpanjang izin penyiaran dua televisi berita tersebut. Selama masa kampanye bisa jadi akan ada ratusan teguran tertulis di buat oleh KPI dan kalaupun dilakukan gugatan hukum akan ada ratusan pemberkasan perkara-sesuatu yg sangat berat dan sulit dalam kapasitas KPI dan atau mekanisme hukum acara kita. Oleh sebab itu KPI kini terus berupaya memberikan masukan dalam pembahasan revisi UU Penyiaran yg baru, sehingga kewenangan KPI dalam melakukan pengawasan bisa dioptimalkan. Karena apa karena KPI adalah lembaga negara Independen, bukan NGO.

Muliarta memaparkan yang harus dipahami adalah KPI hadir atau ada karena produk UU 32/2002. Harapan publik dan juga harapan banyak komisioner di Indonesia sudah sejak lama mengharapkan adanya kewenangan yg lebih dari apa yg diatur dalam UU 32/2002 tentang  penyiaran. Perdebatan ini sudah terjadi tahun 2007 hingga ke Makamah Konstitusi. KPI hanya bisa memberikan saksi administrasi, itu pun dalam teknis pemberian sanksi 1 mata acara saja harus melalui beberapa tahapan yg dalam teknisnya bisa berbulan-bulan. Sementara pelanggaran hampir terjadi setiap saat.

Acuan utama KPI memberikan sanksi adalah menggunakan Peraturan KPI tentang “Pedoman Prilaku Penyiaran (P3) dan Standar Program Siaran (SPS)”. P3SPS dibuat atas perintah UU Penyiaran. Artinya KPI hanya bisa memberikan sanksi dalam ranah “Program Siaran” yg di dalamnya ada isi siaran dan tiak bertentangan dg UU penyiaran. KPI sangat menyadari pengertian “Program Siaran” dengan “Isi Siaran” dalam pelanggaraannya tidak selalu berbanding lurus. Maksudnya program siarannya bisa saja benar, namun isinya yang “salah”,misalnya dalam program berita (news) atau siaran politik lainnya yg sering menjadi keluhaan publik karena tidak berimbang, provokatif dan terkesan berafiliasi ke salah satu parpol/ pasangan tertentu. “Akan lebih mudah kalau yg salah adalah siaran Iklan Kampanye. Karena indikatornya lebih jelas. Sementara persepsi siaran politik sangat tergantung dari subyektifitas pemirsanya juga.” 

Sulitnya memberikan sanksi lebih dari kewenangan KPI yg ada saat ini,akhirnya KPI mendorong program LITERASI MEDIA yaitu: mengajak pemirsa kritis, cerdas, bertanggungjawab dan bijak dalam hal menonton/mendnegar siaran.

 Sedangkan Ketua KPU Bali I Dewa Kade Wiarsa Rakasandi menyampaikan masa kampanye tinggal 8 hari lagi. Berdasarkan evaluasi KPU Bali sampai hari ini kampanye masih berjalan dengan kondusif. Tim kampanye capres diharapkan dapat memanfaatkan waktu yang tersisa dengan baik, tentunya melakukan kampanye dengan tetap memperhatikan norma, etika dan aturan. Setelah itu menjelang masa tenang pada 6-8 Juli, tim kampanye atau pemenangan diharapkan untuk secara sadar membersihkan atribut kampanye.

 Pada sisi lain, Rakasandi juga berharap tim kampanye pasangan capres dan cawapres betul-betul mempersiapkan saksi. Saksi-saksi tersebut nantinya diharapkan dapat memberikan masukkan pada penyelenggara jika terdapat kekeliruan. Jika memungkinkan diselesaikan ditempat itu juga. “kita cegah adanya perbedaan persepsi terutama mengenai angka-angka itu, klau bisa kita selesaikan ditempat itu juga” tegas I Dewa Kade Wiarsa Rakasandi. RED-MB