Bumi Kita Bukan Untuk Dijual

Denpasar (Metrobali.com)-
Konferensi Tingka Tinggi Green Climtae Fund atau Badan Pembiayaan perubahan iklim Dunia diikuti oleh ratusan Negara. Forum ini berlangsung di BTDC Nusa Dua Bali, sejak 19 s/d 21 Februari 2014. Sayangnya, pertemuan ini  disinyalir tidak memihak kepada Negara-negara berkembang dan digelar secara tertutup.
Sesungguhnya pertemuan forum PBB yang menangani perubahan iklim dunia ini menjadi isu global dan melibatkan masyarakat. Sebab, perubahan iklim yang terjadi sat ini sangat massif dan memgakibatkan bencana di mana-mana.
Sebut saja misalnya, Philipina, topan melnda philipna beberapa tahun lalu mengorbankan 14 juta orang, 4 juta orang kehilangan tempat tinggal, sebanyak 6000 orndilaporkan hilang, sebanyak 5,6 juta jiwa penduduk kelaparan dan 63.234 lahan pertanian rusak.
Hal yang sama juga terjadi di Indonesia dan Afrika. Erupsi Gunung sinabung dan Gunung Kelud adalah contoh yang masih segar. Sayangnya, Kon PBB untuk Perubahan iklim yang digelar di Nusa Dua Bali berlangsung tertutup dan disinyalir lebih mementing kepentingan perusahaan swasta ketimbang Negara-negara berkembang.
Robert Muthani dari Pan Africa Climate Justice alliance (PACJA) dan Leo Christian Louzon dari Philipina kepada wartawan di Hotel Puri Dalem, 19 Februari 2014, menyesalkan sikap UFCCC di Bali kali ini.
Christian Louzon, dari Philipine Movement fot Climate Justice mengungkapkan, saat Angin Topan melanda wilayah Haiyan-Philipna, pemerintah Philipina tidak turun tangan untuk membantu tetapi memberikan kepada perusahaan swasta yang hanya mencari keuntungan.
Pengalaman ini, mesti menjadi evaluasi dan pertimbangan negosiasi Konevensi UFCCC di Bali 2014, agar begara-negara berkembang diberi dana tanpa kompensasi apapun dalam memperbaiki lingkungan diwilayahnya.
Akan tetapi harapan ini akan menjadi sia-sia, sebab proses negosiasi yang dilakukan dalam Konvensi PBB Perubahan Iklim Dunia lebih mementingkan perusahaan swasta dan menyepelekan kepetingan Negara-negara berkembang.
Hal senada juga disampaikan oleh perwakilan WALHI Indonesia, Oslan Purba. Dia menjelskan sebagai rangkaian Konvensi Perubahan Iklim, banyak pihak mengharapkan pertemuan di Bali menghasilkan konsep negosiasi yang matang soal komitmen penurunan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) dari negara maju.
”Termasuk komitmen bantuan dana, adaptasi, mitigasi dan pendanaan bagi negara berkembang sebagai negara yang terkena dampak perubahan iklim,” ungkap Oslan.
Pada pertemuan di Bali, negara-negara maju terkesan menghindari berkomitmen dalam pendanaan adaptasi dan mitigasi perubahan iklim.
“Penundaan pendanaan perubahan iklim oleh negara maju akan menghambat upaya negara berkembang dan negara miskin dalam menghadapi dampak perubahan iklim,” ungkap Oslan.
Tuntutan terhadap negara maju untuk membuktikan komitmen mereka tersebut tercantum dalam Konvensi (UNFCCC) dan juga sesuai dengan kesepakatan Bali Action Plan (BAP) yang dihasilkan KTT UNFCCC ke-13 di Indonesia akhir tahun 2007 lalu.
Akan tetapi, apabila Konvensi Negara-Negara PBB Untuk Perubahan Ikoim ini tidak mengedepankan kepentingan negara-negara berkembang, Lidy Nacpil dari Jubile South Asia Pacific Movement on Debt and Development, mengutarakan tiga langka selanjutnya.
Ketiga langkah yang akan diambil bila negoseiasi UFCCC lebih mementingkan perusahaan swasta, maka pertama  mendesak pemerintah negara masing masing untuk melakukan penolakan.
Kedua, mendesak pemerintah masing-masing negara berkembang untuk mengalokasikan dana untuk memperbaiki perubahan iklik di wilayah masing-masing.
Dan ketiga, melakukan provokasi ke seluruh dunia untuk menjadikan ancaman perubahan iklim menjadi isu global dan menjadi perjuangan seluruh umat manusia. sandrowangak-mb