Denpasar (Metrobali.com)-

Kekal Bali kembali turun ke jalan untuk menyatakan penolakan terhadap pengurugan laut dalam pembangunan proyek JDP dan juga menuntut pencabutan ijin PT TRB. Aksi yang diikuti oleh puluhan orang massa ini kembali menyatakan tantangannya kepada gubenur bali.

“Hari ini kami tantang Gubernur Bali untuk membuktikan semua tudingan itu. Silahkan Bapak Gubernur untuk membuktikan semua tudingannya secara terbuka ke publik,” ujar Wayan Gendo Suardana, Ketua Dewan Daerah Walhi Bali. Gendo mempersilahkan Gubernur Bali untuk melakukan audit terhadap Walhi dan personil-personil Walhi di Bali, baik itu audit komunikasi maupun audit rekening bank.

Tak hanya itu, Aliansi KEKAL (Komite Kerja Advokasi Lingkungan Hidup Bali) dan personelnya yang melakukan Advokasi Mangrove dimana Walhi Bali terlibat di dalamnya pun menyatakan siap diaudit.   “Silahkan kami diaudit, baik itu SMS, BBM, pembicaraan telpon, atau email. Juga audit rekening bank kami. Tapi setelah itu kami tantang balik juga. Ijinkan kami untuk mengaudit balik komunikasi dan keuangan Gubernur Bali sejak PT. TRB berdiri” tegas Gendo keitika berorasi

“Atas tudingan Gubernur tehadap WALHI Bali, WALHI Bali menantang Gubernur Bali untuk membuktikan tudingannnya tersebut serta menantang gubernur melakukan debat terbuka di depan publik terkait Ijin Pemanfaatan Hutan Mangrove dan dugaan pelanggaran AMDAL dalam proyek JDP berupa pengurugan batu kapur di laut untuk kepentingan pemasangan tiang pancang yang diduga illegal,” tantang Ketua Dewan Daerah Walhi Bali ini.

Kekal Bali memandang Ijin Pemanfaatan Tahura yang didapat PT TRB bertentangan dengan pasal 3 UU no. 28 tahun 1999 tentang penyelenggaan negara yang bersih dari korupsi, kolusi dan nepotisme terutama  asas-asas pemerintahan yang baik (good governance) asas kepatutan, asas keterbukaan, asas akuntabiltas. Tidak dilibatkannya masyarakat dan DPRD Bali dalam persoalan pemberian ijin pemanfaatan Tahura Ngurah Rai ini dipandang tidak sesuai dengan asas “good governance” yang menghargai asas transparansi dan partisipasi public atau asas keterbukaan.

Walaupun ijin itu sesuai dengan PP 36 tahun 2010, tapi ijin yang dikeluarkan Gubernur Bali bertentangan dengan asas kepatutan. Dengan kondisi luas hutan Bali yang kurang lebih 22 persen, kurang dari proporsi yang disyaratkan yakni 30%, “patutkah ijin pemanfaatan Tahura ini dikeluarkan. Apalagi pemanfaatan Tahura untuk akomodasi pariwisata juga berbenturan dengan kebijakan moratorium pembangunan akomodasi pariwisata yang dikeluarkan Pemprov Bali” ungkit Gendo. Menurutnya, sebagai seorang gubernur yang mempunyai kebijakan clean and green, Gubernur Bali seharusnya menjadikan kawasan Tahura sebagai kawasan terlarang untuk pembangunan akomodasi pariwisata dan cukup dijadikan destinasi wisata.

Pada beberapa media cetak, Gubernur Bali menyatakan bahwa pemberian ijin pengelolaan pariwisata alam Tahura Ngurah Rai sudah dikaji selama dua tahun. Namun, pada Keputusan Gubernur Nomor 1.051/03-L/HK/2012 tentang Pemberian Ijin Pengusahaan Pariwisata Alam Pada Blok Pemanfaatan Kawasan Tahura Ngurah Rai Provinsi Bali seluas 102,22ha kepada PT Tirta Rahmat Bahari disebutkan bahwa pengajuan pengusahaan pariwisata alam di Tahura Ngurah Rai tertuang dalam surat Direktur Utama PT Tirta Rahmat Bahari dengan nomor : 001/TRB/DPS/IV/2011 tanggal 27 april 2011. Berdasarkan hal tersebut maka pengajuan pengusahaan pariwisata alam di TAHURA pertama kali adalah tanggal 27 april 2011.

Tiga bulan sejak permohonan diajukan, Gubernur Bali akhirnya memberikan persetujuan ijin prinsip pengusahaan pariwisata alam Tahura Ngurah Rai melalui Surat Gubernur Bali nomor 523.33/873/dihut-4 tanggal 29 Juli 2011.  Surat tersebut diperkuat dengan Keputusan Gubernur Nomor 1.051/03-L/HK/2012 tentang Pemberian Ijin Pengusahaan Pariwisata Alam Pada Blok Pemanfaatan Kawasan Tahura Ngurah Rai Provinsi Bali seluas 102,22ha kepada PT Tirta Rahmat Bahari.

Suriadi, Deputy Direktur Walhi Bali Balik mempertanyakan dasar pernyataan Gubernur Bali yang menyatakan bahwa Keputusan Gubernur yang telah dikeluarkan telah melalui kajian selama dua tahun.  Sedangkan, fakta hukum menyebutkan bahwa keputusan yang dikeluarkan oleh Gubernur Bali hanya berjarak 14 bulan sejak pertama kali surat diajukan oleh PT TRB. “Dan bahkan Gubernur Bali justru telah memberikan ijin prinsip pengusahaan pariwisata alam kepada PT TRB terhitung 3 bulan sejak pertama kali surat pengajuan ijin pemanfaatan Tahura di ajukan” papar Suriadi.

Kekal Bali menganggap jaminan tidak adanya penebangan hanya angin surga belaka karena gubernur sendiri memberikan celah hukum untuk melakukan penebangan dalam keputusan persetujuannya. Dalam lampiran Keputusan Gubernur Nomor 1.051/03-L/HK/2012 tentang pemberian ijin pengusahaan pariwisata alam pada blok pemanfaatan kawasan Tahura Ngurah Rai Provinsi Bali seluas 102,22ha kepada PT Tirta Rahmat Bahari, Pada point bagian B, nomor 3 menyebutkan bahwa “Perusahaan dalam membangun dalam membangun sarana dan prasarana pariwisata alam didasarkan kepada design fisik dan site-plan yang telah disahkan dan dilarang menebang pohon tanpa izin yang dikeluarkan Dinas Kehutanan Provinsi Bali”.

“Siapa yang berani menjamin tidak akan ada penebangan pohon bagaimana konsistensi pernyataan dari instansi Pemprov Bali menyatakan bahwa ijin dicabut apabila melakukan penebangan pohon mengingat dalam melakukan penebangan pohon pihak investor hanya membutuhkan ijin khusus dari dinas kehutanan” gugat cetus suriadi selaku humas aksi.

Bergulirnya kasus demi kasus lingkungan di Bali, membuat Kekal Bali mempertanyakan konsistensi Pemerintah Provinsi Bali dalam penegakan hukum lingkungan atas pelanggaran-pelanggaran yang secara kasat mata. “Dugaan pelanggaran AMDAL yang kasat mata dilakukan dalam pembangunan jalan di atas perairan juga tidak mendapatkan peringatan sama sekali dari Gubernur Bali selaku pejabat yang berwenang sebagaimana mandat undang-undang PPLH 32/2009” ujarnya. WALHI-MB