jokowi-presiden

Jakarta (Metrobali.com)-

Sistem pemerintahan presidensial murni yang memposisikan pemerintah sebagai pemegang otoritas tertinggi, agaknya sulit diterapkan dalam kultur politik nasional.

Pasalnya, karena Indonesia kental dengan budaya gotong-royong, yang menyebabkan program-program eksekutif seringkali tersandera politik praktis parlemen.

Dalam konteks itu, mungkin saja muncul pertanyaan, di negeri ini siapa yang pegang kendali, pemerintahan Jokowi atau parlemen?.

Pengamat politik Lingkar Madani Indonesia (Lima) Ray Rangkuti mengatakan Indonesia sebenarnya tidak harus menerapkan sistem presidensial murni, terlebih dalam kultur demokrasi politik yang belum terbangun sempurna.

Yang terpenting, kata Ray, bagaimana kalangan legislatif dapat bersikap kritis, namun sehat terhadap program pemerintah.

“Indonesia tidak bisa menerapkan sistem pemerintahan presidensial murni, di mana ‘the winner takes all’ (pemenang mengambil segalanya), sebab kultur kita gotong-royong atau berbagi,” ucap Ray kepada Antara di Jakarta.

Ia menilai sistem paling proporsional yang bisa dianut Indonesia adalah presidensial yang berbagi. Sebut saja presiden berkuasa dalam sebuah kabinet, namun dia harus berbagi tugas pengawasan kepada parlemen.

“Tradisinya kita begitu. Memang repot, tapi itu memang kultur kita. Justru kalau ‘the winner takes all’, itu bisa memecah kebangsaan kita,” jelasnya.

Ray mengemukakan di Indonesia idealnya pemerintah menggagas program, sementara parlemen khususnya partai oposisi, memposisikan diri sebagai wakil rakyat, sekaligus mitra pemerintah yang kritis dan sehat yang bertugas memastikan program pemerintah dilakukan untuk kepentingan rakyat.

Oleh karenanya, parlemen menurut dia, tidak bisa lagi bermain dengan isu-isu simbolik terkait pemerintahan Jokowi.

“Kawan-kawan Koalisi Merah Putih (partai oposisi) tidak bisa lagi mengangkat isu-isu gembira, isu-isu simbolik, misalnya, pencitraan. Mereka harus mengangkat isu subtantif, misalnya, transparansi dan akuntabilitas anggaran negara,” tuturnya.

Dia mengingatkan, di tengah maraknya kasus korupsi di Tanah Air, publik mulai berkonsentrasi seputar alokasi anggaran negara.

Apabila partai oposisi bisa mengawal hal tersebut, Ray berpendapat mereka akan memperoleh dukungan dan kepercayaan publik.

“Kalau partai oposisi terus bermain dalam isu simbolik mereka akan tertinggal, apalagi secara politik peta dukungan politik sudah 50 persen berbanding 50 persen di DPR,” papar Ray.

Pengamat politik Universitas Pelita Harapan Victor Silaen berpandangan sistem presidensial di Indonesia dalam banyak hal memang masih berjalan separuh hati.

Misalnya saja, kata dia, terkait hak prerogatif presiden untuk memilih calon kapolri, yang faktanya kemudian perlu mendapat persetujuan dari parlemen.

“Dalam kasus (calon kapolri) Budi Gunawan, parlemen bahkan mengancam akan memakzulkan presiden karena calon kapolri yang sudah disetujui DPR tidak langsung dilantik dan bahkan dibatalkan oleh presiden. Jadi, di mana hak prerogatif presiden kalau begitu,” tanya dia.

Dia berpandangan apabila sistem presidensial ingin ditegakkan dengan sungguh-sungguh maka semua undang-undang, yang isinya membuat hak prerogatif presiden perlu mendapatkan persetujuan DPR, harus diamandemen, agar sistem presidensial dapat diimplementasikan sebagaimana seharusnya.

Di sisi lain, Victor memberikan catatan partai pengusung dan pendukung pemerintahan Jokowi pun harus solid memberikan dukungan penuh bagi presiden.

Apabila partai pengusung dan pendukung tidak sepenuh hati mendukung pemerintahan Jokowi, karut-marut politik terkait hubungan eksekutif-legislatif seperti yang terjadi beberapa bulan belakangan ini niscaya terus terulang.

“Partai pengusung dan partai-partai pendukung Jokowi jangan punya kepentingan sendiri-sendiri yang berbeda dengan Jokowi sebagai presiden, dan bahkan bertentangan dengan agenda nawacitanya,” imbuh Victor.

Baik partai pengusung maupun partai-partai pendukung Jokowi hendaknya sadar bahwa Jokowi adalah presiden yang sah untuk periode 2014-2019. Victor mengimbau partai koalisi tidak memandang Jokowi hanya sebagai politikus muda yang minim pengalaman dan bukan seorang tokoh.

“Berikanlah dukungan yang penuh kepada Jokowi untuk semua kebijakan dan agendanya yang baik. Mengkritisi Jokowi tentu boleh-boleh saja, bahkan harus, tapi jangan dengan niat busuk untuk mempermalukannya dan bahkan memakzulkannya,” tukas dia.

Parlemen Kian Terkendali Sementara itu berkaitan dengan peta dukungan parlemen ke depan, Ray dan Victor sama-sama meyakini, pemerintahan Jokowi berada di atas angin, pasca-pengesahan Menteri Hukum dan HAM atas kepemimpinan Golkar dibawah Agung Laksono yang kini mendukung pemerintahan Jokowi.

Ray menakar, dengan sendirinya posisi eksekutif bakal semakin kuat, dengan asumsi Agung Laksono akan membawa gerbong Golkar berpihak pada eksekutif.

Pada tingkat itu pemerintahan Jokowi secara politik di DPR jauh lebih aman, dan ketegangan eksekutif-legislatif kemungkinan besar akan berkurang.

Terlebih lagi, kata Ray, masuknya Golkar ke kubu Jokowi kemungkinan akan diikuti pula oleh PPP, dan juga PAN dibawah kepemimpinan Zulkifli Hasan yang belakangan ini dinilai cenderung mengutarakan pernyataan-pernyataan moderat jika menyangkut pemerintahan Jokowi.

“Zulkifli relatif lebih moderat dibanding Hatta Rajasa kalau berkaitan dengan Jokowi. Meskipun itu bukan jaminan, tapi dengan begitu mungkin ketegangan akan berangsur menurun,” paparnya.

Hal serupa diutarakan Victor Silaen yang menyebut bertambahnya kekuatan politik sebagai kunci membaiknya interaksi antara eksekutif dan legislatif.

Pada gilirannya, pemerintahan Jokowi diuntungkan karena proses dialog dengan parlemen tidak akan terlampau menguras energi.

“Sehingga komunikasi politik dengan parlemen pun semakin mudah dan cepat, tidak perlu harus menguras energi seperti yang terjadi selama ini,” terang dia.

Meskipun demikian, Victor tetap mengingatkan banyaknya dukungan politik di parlemen tidak menjamin 100 persen program-program pemerintahan Jokowi berjalan mulus. Ketika partai pendukung justru memiliki kepentingan sendiri maka banyaknya dukungan pun menjadi bumerang.

Sebelumnya, Ketua Umum DPP Partai Nasdem Surya Paloh mengatakan seluruh partai memiliki pertanggungjawaban moral terhadap negara.

Terlepas dari perdebatan koalisi atau oposisi, Paloh mengingatkan agar partai tidak melupakan permasalahan bangsa yang begitu besar, dan membutuhkan peran dari partai politik.

Di sisi lain, pemerintah menurut dia, senantiasa harus terus mendahulukan kepentingan pembangunan diatas kelompok partai pendukungnya. AN-MB