bbm

Jakarta (Metrobali.com)-

Koordinasi Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Hendrik Siregar mengatakan subsidi BBM menjadi jebakan rutin bagi setiap presiden baru, terutama terkait penaikkan harga bahan bakar fosil tersebut.

“Setiap periode, siapapun presidennya, kena jebakan subsidi BBM,” kata Hendrik di kawasan Tebet, Jakarta, Rabu (3/9).

Menurut dia, jebakan itu terus berlangsung sedari era pascareformasi hingga kini.

Lebih lanjut, dia mengatakan pemerintah tidak boleh serta merta menyesuaikan harga bahan bakar fosil bersubsidi mengikuti harga pasar.

“Perihal subsidi BBM ini terus menerus terjadi. Hal ini tidak hanya persoalan mendasar tentang minyak tapi tentang tanggung jawab pemerintah dalam menentukan harga BBM sesuai UU Nomor 22 Tahun 2001 yang berisi tentang harga BBM tidak boleh didasarkan pada harga pasar,” kata dia.

Maka dari itu, dia mendorong pemerintah agar memprioritaskan pembenahan di sektor hilir terlebih dahulu, daripada melakukan penaikan BBM.

Bagi dia, terdapat banyak persoalan migas di sektor hilir.

“Yang tak kalah penting itu pembenahan sektor hilirnya. Permasalahan hilir ini awalnya dibuka kepada pasar dan pengusaha-pengusaha swasta (selain Pertamina),” katanya.

“Hal itu menjadi awal mula kenaikan BBM terjadi. Ketika dibuka untuk publik, kewajiban Pertamina untuk menyediakan migas nasional jadi disunat tanggung jawabnya,” katanya lagi.

Hendrik mencontohkan sejumlah perusahaan migas global yang masuk ke Indonesia memberi pengaruh terhadap pasokan migas nasional.

“Petronas dan Shell misalnya, mereka berjualan di hilir. Saat itu BBM bersubsidi harganya dalam kisaran Rp1.400-Rp2.400 per liter. Sementara Petronas, Shell dan yang lainnya sudah menjual BBM yang hampir serupa jenisnya pada harga di atas Rp6 ribu-Rp8 ribu. Dengan begitu, harga BBM kita dipaksa naik biar mereka bisa jualan,” kata dia.

Menurut dia, banyak lifting minyak dari perusahaan asing justru mengurangi kemampuan produksi migas oleh Pertamina. Hal itu belum ditambah dengan minyak mentah dari Indonesia yang diekspor ke luar negeri dan diimpor kembali ke Indonesia sebagai BBM siap pakai.

“Sehingga pemerintah itu memeiliki kecenderungan mengalihkan isu sejatinya merupakan masalah hilir digeser kepada subsidi. Itu langkah singkat saja. Kalau itu terus terjadi maka BBM bersubsidi akan sering dinaikkan,” katanya. AN-MB