RATU ATUT 2

Jakarta (Metrobali.com)-

Jaksa Penuntut Umum KPK keberatan dengan putusan terhadap Gubernur Banten non-aktif Ratu Atut Chosiyah dalam perkara korupsi pemberian hadiah Rp1 miliar kepada mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar terkait dengan pengurusan sengketa Pilkada Kabupaten Lebak.

“Ada beberapa hal, satu lamanya masa pidana tidak sesuai, yang kedua ada pidana tambahan yang tidak dipenuhi tentunya kalau bagi kami itu kan berarti tidak sesuai dengan tuntutan, tapi kan harus kami laporkan dulu pada pimpinan,” kata Ketua Jaksa Penuntut Umum KPK Edy Hartoyo setelah sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di Jakarta, Senin (1/9).

Dalam perkara itu, Ratu Atut divonis bersalah dan dijatuhi hukuman penjara empat tahun penjara dan denda Rp200 juta subsider lima bulan kurungan.

Putusan itu, jauh lebih ringan daripada tuntutan jaksa KPK yang menuntut Ratu Atut Chosiyah selama 10 penjara ditambah denda Rp250 juta subsider lima bulan kurungan ditambah pidana pencabutan hak memilih dan dipilih dalam jabatan publik.

Putusan itu juga diwarnai dengan “dissenting opinion” (perbedaan pendapat) dari hakim anggota empat Alexander Marwata, dan menilai bahwa Atut tidak memberikan izin terhadap pemberian uang itu, hakim juga menilai bukti-bukti hanya berdasarkan asumi.

“Kami tidak sependapat kalau dikatakan kita berdasarkan asumsi-asumsi. Itu adalah fakta-fakta hukum yang dirangkaikan, ditafsirkan menjadi bahwa perbuatan itu dilakukan oleh terdakwa, jadi ya tidak sependapat, tapi kami laporkan dulu lah ya ke pimpinan,” kata Edy.

Dalam pertimbangannya, hakim anggota empat Alexander Marwata menyatakan perbedaan pendapat khususnya mengenai niat Atut untuk bekerja sama dengan Wawan memberikan uang kepada Akil.

“Yang jadi persoalan apakah terdakwa punya niat bekerja sama dengan Wawan untuk memberikan uang kepada Akil. Apakah pemberian Rp1 miliar kepada Akil akan tetap terlaksana meski tidak ada persetujuan terdakwa? Terdakwa tidak pernah diminta persetujuan baik lisan maupunn tulisan untuk mengajukan keberatan ke MK,” kata Alexander.

Mengenai pertemuan Ratu Atut, adiknya Tubagus Chaeri Wardhana alias Wawan, dan Akil Mochtar di Singapura, menurut Alexander, terjadi secara kebetulan, bukan disengaja.

“Menurut hakim anggota empat pertemuan dengan Akil bukan disengajakan dan direncanakan untuk mengurusi sengketa pilkada Lebak. Akil Mochtar-lah yang mengundang Wawan untuk melakukan pertemuan dua kali,” katanya.

Akil Mochtar yang memiliki asumsi bahwa Atut mengutus Wawan untuk mengurus sengketa Pilkada Lebak.

“Pernyataan bahwa terdakwa dan Akil sudah seperti saudara dekat bukan dari terdakwa tapi dari pembicaraan Susi dengan Akil dan Susi dan Amir Hamzah. Dalam keterangannya di persidangan, terdakwa tidak menugaskan Tubagus Chaeri Wardhana untuk berkoordinasi dengan Susi dalam pengurusan sengketa Kabupaten Lebak. Hal itu menunjukkan terdakwa tidak pernah memiliki niat dan memenangkan pihak berperkara,” kata Alexander.

Alexander bahkan menilai bahwa Jaksa Penuntut Umum KPK hanya berasumsi bahwa Wawan mau memberikan bantuan kepada Amir Hamzah karena Wawan hanya mau membantu sengketa Pilkada Kota Serang, tapi akhirnya Wawan membantu Amir karena takut berefek kepada persidangan sengketa Serang yang akan diajukan.

“Tidak ada alat bukti yang menunjukkan bahwa terdakwa mengetahui sudah adanya pemberian Rp1 miliar dari Wawan kepada Akil. Alat bukti rekaman antara terdkawa dan Wawan sudah direkayasa. Bukti yang sudah direkayasa sudah tidak bisa digunakan sebagai alat bukti,” kata Alexander.

Namun empat hakim lain menilai bahwa Atut terbukti bersalah.

“Meski terdakwa mengatakan bahwa namanya hanya diperjualbelikan, majelis setelah meneliti bukti dan keterangan saksi menilai terdakwa sudah mengetahui dari awal dan menyetujui pemberian uang Rp1 miliar kepada Akil Mochtar,” kata anggota majelis hakim Sutio Sumadi.

Hal tersebut ditunjukkan dengan pemanggilan Amir Hamzah dan Kasmin ke rumah dinas Atut. Di tempa itu, Atut meminta Amir dan Kasmin agar lebih sering turun ke masyarakat agar dapat meningkatkan elektabilitas keduanya, meski hal tersebut dibantah terdakwa.

“Terdakwa bertemu dengan Akil Mochtar ‘di-check point’ imigrasi Singapura dan meminta Akil Mochtar membantu untuk mengawal tiga perkara yang ada di Mahkamah Konstitusi, yaitu sengketa Pilkada Serang, Tangerang, dan Lebak, keesokan harinya, yaitu pada 22 September 2013, terdakwa bersama dengan saksi Tubagus Chaeri Wardana alias Wawan bertemu dengan Akil Mochtar di Hotel JW Marriott Singapura dan menanyakan bagaimana apakah pemilukada tetap bisa dilakukan,” kata hakim Sutio.

Atut pun menelepon Dirjen Otonomi Daerah Kementerian Dalam negeri Djohermansyah Johan untuk menanyakan apakah pada 2013 dapat dilakukan pilkada ulang.

“Amir Hamzah selanjutnya pada 26 September 2013 di kantor Gubernur Banten melaporkan kepada terdakwa bahwa komposisi hakim di MK ada lima orang yang mendukung Amir Hamzah dan empat orang mendukung Iti Jayabaya,” kata hakim.

Atut kemudian menyampaikan agar dilakukan pengurusan perkaranya melalui Akil Mochtar yang sudah dikenalnya seperti saudara sendiri sehingga Pemilihan Umum Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Lebak 2013 bisa dilakukan pemilihan suara ulang.

Pada 30 September, Wawan dan advokat Susi Tur Andayani bertemu di Hotel Ritz Carlton dan dalam pertemuan tersebut, Susi menyampaikan bahwa Akil meminta uang Rp3 miliar, namun Amir tidak punya uang sehingga Susi meminta Wawan untuk menyediakan dananya.

Atut kemudian menelepon Wawan yang dalam percakapan tersebut Wawan melaporkan, “… Lebak sama ini nih gimana nih? SMS-nya udah nggak enak ke Susi, Susi ngeliatin SMS ke Wawan”, “Iya wawan kan ngeberesin ini dulu teh. Mau gimana inih? Si Pak Akil sekarang justru nungguin ini nya”.

Atas pertanyaan Wawan, Atut menyetujui untuk memenuhi permintaan Akil dengan mengatakan, “bisa minjem berapa ibu”, “Enya sok atuh, ntar di ini-in”, “ya udah sok atuh Wawan ini nanti kabarin lagi ya!” “Meskipun terdakwa membantah menggunakan kata ‘ibu’ dalam pembicaraan di luar pembicaraan formal dengan adiknya dan ahli Profesor Tjipta Lesmana menyatakan bahwa kalimat itu tampak tidak berhubungan, tapi terdakwa sejak awal mula dirinya dinilai memang ikut meminta bantuan kepada Akil dan atas itu ada imbalan dan ucapan terima kasih sehingga unsur memberi kepada hakim telah terbukti terhadap terdakwa,” kata hakim.

Putusan Atut berdasarkan dakwaan primer, yaitu pasal 6 ayat 1 huruf a UU Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP mengenai perbuatan memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim dengan maksud untuk memengaruhi putusan perkara. AN-MB