harwanti1

Anak-anak ini justru menunggu hari senin, sebab bagi mereka, inilah saat bermain sesungguhnya. Berkumpul dengan teman sebaya, bermain dan yang tak kalah penting adalah belajar. Sekolah ini memang lebih tampak sebagai temat bermain ketimbang sekolah. Tapi di sini, potensi anak akan lebih berkembang melalui kurikulum berbasis anak dan berbasis bermain di lingkungan yang aman dan penuh perhatian.

“Jaman sudah berubah, yaitu jaman entertainment yang begitu memanjakan anak. Oleh karena itu, sekolah harus lebih menarik dari entertainment. Yaitu play-based learning dan integration, artinya selalu ada kejutan yang memicu keingintahuan para siswa. Dengan ini, akan memacu semangat anak untuk pergi sekolah” ujar pendiri  Trihita Alam M. Harwanti Siregar kepada MetroBali.com, Senin (29/5) di Denpasar.

Lebih lanjut Harwanti mengungkapkan, Trihita Alam telah mengambangkan konsep kurikulum pebelajaran anak focus dan berbasis bermain, yang memungkinkan setiap anak untuk belajar sesuai perkembangkan dan pertumbuhan mereka sendiri melalui imajinasi, keingintahuan dan kreativitas.

Harwanti2

Kurikulum pembelajaran berbasis bermain, berfokus untuk mengembangkan identitas diri positif anak saat mereka belajar menjadi pemimpin masa depan. Trihita Alam Eco School adalah sebuah kelompok bermain melalui sekolah TK hingga SD swasta, independen yang berada di Denpasar, Bali.

Dengan slogan ‘’Ayo membuat anak tersenyum dan bersemangat untuk belajar!

Dikatakan,  sekolah ini berdiri sejak tahun 2013, visi misinya untuk membuat anak-anak menjadi happy learner supaya  anak-anak belajar bukan karna mereka harus tetapi karena mereka menyukainya.

‘’Jadi belajar itu bukan hanya bisa sekadar menjawab ulangan atau mendapatkan nilai yang bagus, tetapi belajar itu adalah menjadi sesuatu yang menjadi lifestyle. Anak anak itu perlu mempunyai rasa cinta dan suka untuk belajar karena mereka ingin tahu , mereka menyukai apa yang disekeliling mereka, ujar Harawanti energik.

Dikatakan,  tujuan berdirinya Trihita Alam adalah untuk membawa keceriaan di dalam sekolah kembali. Karena kita tahu anak anak tidak suka sekolah mereka hanya datang untuk bermain-main. ‘’Tujuannya bukan untuk pendidikan itu sebenarnya. Jadi saya mau melalui ini kita bisa mempunyai generasi-generasi penerus yang pintar tetapi bukan karena dipaksa untuk pintar tetapi mereka sendiri yang ingin menjadi yang terbaik,’’ tandasnya.

harwanti3

‘’Saya mendirikan sekolah di Jakarta juga, saya mulai di Bali karena Bali punya energy green. Dan setelah saya di Bali memang saya kepinginnya kalau green itu berbicara bagaimana kita mereservasi apa yang ada, dan tentu kita semua mencintai Bali,’’ ujaranya menambahkan.

Dikatakan, yang bisa menjadi murid-murid disini adalah murid yang tau dan melestarikan segala sesuatu yang berharga, mulai dari kebudayaan semuanya yang ada di bali. Dan melalui pendidikan inilah yang bisa memelihara adat istiadat dan keindahan  dari pulai Bali ini, jadi 90% murid-murid di sekolah ini adalah orang Bali.

Jumlah kelas dan guru yang mengajar disekolah ini ada 5 kelas, satu kelas ada 2 guru jadi totalnya ada 10 orang guru. Satu kelas ada 15 murid. Murid sekarang ada 60 murid. Sekarang ada TK dan SD, semoga nanti kami bisa teruskan sampe jejang paling tinggi,’’ uajranya.

bermain

System pembelajaran ini adalah out door. Kalau kita membuat anak belajar di dalam kelas maka anak sekarang dia akan bosan, dia gak akan tertarik, akan ngantuk. Mereka tidak akan focus malah  akan focus ke sesuatu yang lain. Dan,  anak itu di cap anak bandel padahal anak itu tidak bermasalah tetapi masalah system pendidikan kita tidak berubah sesuai dengan perubahan jaman,’’ katanya.

Dikatakan, anak anak diberikan kebebasan. Jadi penting sekali supaya pendidikan itu juga berkembang dan mengikuti perubahan masyarakat. Sehingga anak-anak tidak harus merasa ganjil ketika masuk ke kelas.

‘’Saya harus duduk saya tidak boleh ngomong, begitu banyak sekali kata  tidak boleh yang diterima oleh anak-anak sehingga mereka akhirnya frustasi. Semua akhirnya yang diperbuat anak adalah serbasalah, akhirnya mereka menganggap ‘’ bodo amat’’  dan mereka kebanyakan anak-anak yang sudah tadinya berusaha jadi baik tapi karena tidak bisa akhirnya merek jadi jelek,’’ tandas Harwanti. SUT-MB