Prof Windia

Denpasar (Metrobali.com)-

Organisasi pengairan tradisional bidang pertanian (subak) di Bali dinilai masih menjadi yang terbaik di antara sistem pertanian di Indonesia maupun di berbagai negara dalam mengintensifkan pembangunan sektor pertanian.

Atas kondisi itu pula UNESCO telah mengukuhkan sepuluh subak di kawasan Catur Angga Batukaru Kabupaten Tabanan dan tiga subak di Daerah Aliran Sungai (DAS) Pakerisan, Kabupaten Gianyar dan kawasan Pura Taman Ayun, Kabupaten Badung menjadi satu kesatuan telah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Dunia (WBD).

Pada sisi lain organisasi pengairan tradisional bidang pertanian itu berada diambang kehancuran, karena sebagai petani telah menjual sawahnya sehingga luas sawah di Pulau Dewata semakin menyempit.

Sistem irigasi sawah khas Bali yang telah dianugerahi status Warisan Budaya Dunia untuk kategori lanskap budaya semakin menghadapi tantangan dan ujian berat, sementara pemerintah belum memberikan apresiasi terhadap petani khususnya yang terhimpun dalam subak, tutur Ketua Pusat Penelitian Subak Universitas Udayana Prof Dr I Wayan Windia yang juga Sekretaris Tim Penyusunan Proposal WBD tersebut.

Hamparan lahan sawah yang menghijau, dengan lokasi yang berundag-undang (terasering) di Jatiluwih, Kecamatan Penebel, daerah “gudang beras” di Kabupaten Tabanan memiliki pemandangan dan keindahan panorama alam.

Perpaduan lembah dan perbukitan di bagian hulu Gunung Batukaru itu dikitari lingkungan dan kawasan hutan yang lestari, menjadi satu kesatuan hamparan lahan sawah yang cukup luas.

Kertamasa yakni tradisi petani menanam padi secara serentak dalam satu kawasan subak di Bali belakangan ini mulai memudar, bahkan hilang. Petani tidak lagi melakukan penanaman padi secara serentak, sehingga dalam satu kawasan subak ada yang baru menanam, padi sedang menghijau, padi yang sudah menguning bahkan ada yang baru mengolah lahan.

Profesor Windia yang senantiasa memimpin mahasiswa Fakultas Pertanian Unud untuk mengadakan penelitian tentang subak di berbagai tempat di Bali menjelaskan, sistem irigasi untuk pengairah subak selalu mengalami proses transformasi, sesuai dengan perkembangan budaya dan teknologi yang berkembang di sekitarnya.

Hal itu akibat sistem pengairan yang umumnya rentan dipengaruhi oleh pihak eksternal, karena sistem irigasi sifatnya adaptif sehingga itu, hilangnya sistem kertamasa dapat mempengaruhi turunnya hasil produksi.

Tahun 1970-an awal pemerintahan orde baru (Orba) situasi pangan di Indonesia memang sangat rawan, sebagai warisan dari pemerintahan orde lama (Orla). Oleh sebab itu titik berat pembangunan nasional menekankan pada sektor pertanian dengan membangun sistem irigasi secara besar-besaran.

Menyusul diperkenalkan varietas unggul padi baru, yang dikenal dengan padi jenis PB-5 dan PB-8. Selain itu menggunakan saprodi yang sangat anorganik, umur padi unggul itu sangat pendek yakni 105 hari, hampir separuh dari umur padi lokal pada saat itu dikenal dengan nama “padi del”.

Dengan bibit padi unggul itu sangat memungkinkan petani menanam padi tiga kali dalam setahun. Begitu memanen padi, maka sawah segera dibajak lagi, dan kemudian ditanami kembali.

Kondisi yang demikian, sering disebut sebagai kegiatan implementasi revolusi hijau. Hal ini dimungkinkan, karena air irigasi tersedia dengan baik, input tersedia dengan subsidi yang besar, dan output dijamin dengan harga yang menguntungkan dengan adanya koperasi unit desa (KUD) dan Badan Logistik (Bulog).

Subsidi dan proteksi Prof I Wayan Windia (65) pria kelahiran Sukawati, Kabupaten Gianyar, 15 Desember 1949 menilai, pada pemerintahan orde baru itu berbagai subsidi dan proteksi diberikan kepada petani dan sektor pertanian.

Hal ini tercermin dari adanya program Bimbingan Massal (Bimas), Intensifikasi Massal (Inmas) dari pemerintah. Banyak petani yang masih merindukan kondisi seperti itu, di mana kegiatan bertani sangat menguntungkan bagi petani. Petani senang dan bangga sebagai petani.

Belum lagi berbagai insentif-lomba yang diadakan pemerintah saat itu, yang memungkinkan petani dapat bertemu dengan para pejabat negara, dan bahkan dengan Presiden.

Hal itu sangat menguntungkan bagi petani dan sektor pertanian di Bali dan juga di Indonesia. Produksi padi terus meningkat, dan Indonesia mencapai swasembada pangan pada tahun 1984.

Tidak ada yang sempurna dalam suatu kegiatan. Kegiatan revolusi hijau menyebabkan berbagai dampak negatif di sektor pertanian, di antaranya hilangnya sistem kertamasa yang secara tradisional dikembangkan pada sistem subak di Bali.

Karena semua petani berlomba-lomba menanam padi tiga kali dalam setahun, dan sekehendak hatinya, maka muncullah sistem tanam yang disebut dengan tulak-sumur. Yakni sistem tanam padi yang tidak serempak.

Hal itulah yang menyebabkan terjadinya eksplosi hama, dan hama yang terkenal mematikan tanaman padi karena selalu dapat menemukan sumber makanan dan tempat bersembunyi pada tanaman padi, yang selalu ada sepanjang tahun.

Sementara tanaman palawija nyaris tidak pernah ada, karena petani terangsang untuk terus menanam padi. Dengan demikian hilangnya tradisi kertamasa karena hal-hal yang bersifat internal dan eksternal usaha tani dari petani padi di kawasan subak.

Kondisi demikian dapat mempengaruhi eksistensi dan keberadaan subak di Bali, padahal subak yang diwarisi secara turun temurun dan menjadi bemper kebudayaan Bali, memiliki identitas, sosio-kultural atau sosio-religius yang unik, unggul, dan kaya terhadap kearifan lokal.

Kearifan lokal dengan berbagai kecerdasan yang dimiliki, merupakan bagian dari kebudayaan Bali yang selama ini menjadi salah satu daya tarik wisatawan dalam dan luar negeri berkunjung ke Pulau Dewata.

Kearifan lokal dalam organisasi subak memperoleh keunikan lokal berbasis konsepsi Tri Hita Karana yakni hubungan yang harmonis dan serasi sesama umat manusia, manusia dengan lingkungan dan manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa.

Hal lain yang tidak kalah penting mendapat apresiasi universal terkait dengan kandungan filosofi dan esensi kearifan lokal adalah komitmen yang tinggi terhadap kelestarian alam, relegiusitas dan konstruksi penalaran yang berempati pada persembahan, harmoni, kebersamaan, dan keseimbangan untuk jagadhita secara berkelanjutan.

Dalam rentangan panjang kebudayaan agraris, organisasi subak yang diperkirakan telah berkembang sekitar sepuluh abad (sejak abad XI) telah membangun jaringan struktural dan fungsional yang kokoh.

Kearifan lokal subak terhadap anggota petani telah menembus lintas wilayah, lintas sektor dan lintas generasi, sehingga telah eksis di tengah hiruk-pikuk keluasan dampak sekuler, modernisasi dan globalisasi.

Oleh sebab itu masyarakat kembali menoleh potensi kearifan subak yang dibangun melalui kedalaman mitologi dalam sinergi nilai-nilai luhur kebudayaan seperti religius, harmoni, kebersamaan, dan keseimbangan yang dinamik memperoleh roh dan basis modal spiritualitas.

Etos kebangkitan kearifan lokal mendapat momentum terkait dengan kebutuhan dan harapan masyarakat yang kaya akan fungsi dan makna akan kebersamaan, tutur Prof Windia. AN-MB