hukuman mati

 Oleh : Humphrey Djemat, SH, LL.M.

 

Jakarta (Metrobali.com)-

Humphrey Djemat mantan Juru Bicara Satgas TKI Yang Terancam Hukuman Mati menyatakan kerisauannya setelah Pemerintah melalui Jaksa Agung telah melakukan Eksekusi  mati terhadap 6 (enam) orang yaitu  Marco Archer Cardoso Moreira (Brasil), Namaona Denis (Malawi), Daniel Enemuo alias Diarrassouba Mamadou (Nigeria), Ang Kiem Soei alias Kim Ho alias Ance Tahir alias Tommi Wijaya (Belanda), Tran Thi Bich Hanh (Vietnam), dan Rani Andriani alias Melisa Aprilia (WNI). Dimana eksekusi tersebut telah dilakukan pada tanggal 18 Januari 2015, jam 00.00 WIB di Nusakambangan, Cilacap dan Boyolali, Jawa Tengah. Pemerintah menyatakan alasan untuk melakukan ekesekusi mati terhadap 6 (enam) orang tersebut sebagai bentuk peringatan bagi penjahat narkoba di Indonesia. Dimana kejahatan narkoba telah menjadi kejahatan yang sangat membahayakan bagi bangsa dan negara kita khususnya generasi muda baik sekarang maupun masa mendatang.

Namun Humphrey masih mempertanyakan efektifitas hukuman mati tersebut dalam mengurangi kejahatan narkoba di Indonesia. Mengingat masih banyaknya kelemahan dalam penegakkan hukum di Indonesia baik yang menyangkut kelembagaan yang menanganinya maupun personilnya. Disamping itu belum adanya koordinasi yang sangat kuat dalam penanganan masalah kejahatan narkoba di Indonesia.

Sebagai mantan Juru Bicara Satgas Humphrey ingin mengingatkan Pemerintah bahwa eksekusi  mati yang dilakukan saat ini akan mempunyai dampak terhadap sikap negara di luar negeri, seperti Arab Saudi, Malaysia dan China yang WNI/TKI kita banyak yang terancam hukuman mati bahkan ada yang tinggal menunggu eksekusinya. Bahkan saat ini sudah ada reaksi keras dari pemerintah Belanda dan Brazil kepada pemerintah RI karena warga negaranya dieksekusi mati. Dimana menarik Duta Besarnya. Berdasarkan pengalaman saat menjadi Satgas TKI sangat sulit meyakinkan negara asing untuk tidak menjatuhkan eksekusi mati terhadap WNI/TKI kita yang telah dijatuhi hukuman mati oleh Pengadilan di negara tersebut. Bahkan di Arab Saudi pada saat pertemuan dengan Menteri Kehakimannya mempertanyakan : “Mengapa Pemerintah dan masyarakat Indonesia mempersoalkan hukuman mati yang diberlakukan di Arab Saudi terhadap WNI/TKI yang telah melakukan kesalahan berat seperti membunuh, bukankah di Indonesia berlaku hukuman mati”. Pertanyaan ini tentu tidak mudah  menjawabnya. Namun dengan pendekatan diplomasi termasuk surat-surat yang disampaikan Presiden SBY saat itu kepada Raja Arab Saudi dan juga usaha-usaha intensif yang dilakukan oleh Satgas TKI selama Satgas bertugas telah berhasil membebaskan 76 (tujuh puluh enam) WNI/TKI yang berhasil dibebaskan atau dilepaskan dari ancaman hukuman mati. Sebenarnya ada 3 (tiga) TKI kita yang seharusnya sudah dipancung oleh Pemerintah Arab Saudi yaitu Satinah binti Jumadi Ahmad, Tuti Tursilawati binti Warjuki dan Siti Zainab binti Duhri Rupa. Namun sampai saat ini masih tetap tidak diberlakukan eksekusinya oleh pihak Kerajaan Arab Saudi walaupun sebenarnya membunuh orang hukumannya adalah dipancung dan tidak ada ampun sama sekali kecuali mendapatkan tanazul/pemaafan dari keluarga korban.

 

Pemerintahan Presiden Jokowi harus menyadari bahwa pada saat ini masih ada ratusan WNI/TKI kita di luar negeri yang terancam hukuman mati. Dengan adanya kebijakan pemerintah yang melakukan eksekusi mati saat ini maka jalan atau upaya untuk mendapatkan keringanan atau membebaskan WNI/TKI yang terancam hukuman mati atau mau dieksekusi menjadi sangat sulit. Siapkah Presiden Jokowi menghadapi situasi yang dilematis ini? Bukankah tekanan masyarakat akan muncul pada saat ada WNI/TKI kita yang mau dieksekusi mati. Apakah  Presiden Jokowi tetap konsisten dengan sikapnya untuk hukuman mati tersebut tetap berjalan atau bersikap ambivalen? Kita lihat saja apa yang akan terjadi? RED-MB