Urumqi, China (Metrobali.com) –

Di jalan kotor di wilayah suku Uighur di Ibu Kota Xinjiang, Urumqi, China Barat-jauh, Abuduwahapu mengernyitkan dahi saat ditanya apa menurut dia pangkal masalah yang membuat wilayah itu dirongrong kerusuhan dan kekacauan.

“Orang China Han tak memiliki kepercayaan, dan orang Uighur punya. Jadi, mereka benar-benar tidak saling memahami satu dengan yang lain,” katanya. Ia merujuk kepada Agama Islam, yang dianut orang Uighur –yang Berbahasa Turki, kondisi yang bertolak-belakang dengan konsep atheisme Partai Komunis, yang berkuasa.

Namun buat remaja pengantar roti tersebut, bukan Islam yang membuat orang melakukan aksi kekerasan, seperti serangan mobil mematikan pekan sebelumnya di Lapangan Tiananmen di Beijing. Pemerintah menuding orang Uighur pengikut garis keras yang mengingini kemerdekaan sebagai pelakunya.

“Sebagian orang mendukung kemerdekaan dan sebagian lagi tidak. Kebanyakan, mereka yang mendukung kemerdekaan merasa tidak puas sebab mereka miskin,” kata Abuduwahapu, yang datang di Urumqi dua tahun lalu dari Kota Kashgar, yang berada di Jalur Sutra Kuno dan banyak dihuni oleh orang Uighur di Xinjiang Barat-daya, dekat perbatasan Pakistan dan Afghanistan.

“Orang Han takut terhadap orang Uighur. Mereka takut kalau kami memiliki senjata, kami akan membunuh mereka,” kata Abuduwahapu, sebagaimana dikutip Reuters –yang dipantau Antara di Jakarta, Selasa pagi. Ia berdiri di samping tumpukan sampah di lahan tempat bangunan telah dihancurkan.

Klaim China bahwa negara tersebut memerangi aksi perlawanan orang Muslim di Xinjiang, daerah gurun, pegunungan dan hutan yang kaya akan energi dan secara geografis berada di Asia Tengah, bukan sesuatu yang baru.

Satu dasawarsa lalu, China memanfaatkan serangan 11/9 di Amerika Serikat untuk membenarkan tindakan keras terhadap apa yang dikatakannya sebagai “kaum fanatik dukungan Al Qaida yang ingin melancarkan serangan serupa di Xinjiang”.

Buat banyak orang China, pemandangan yang agak jinak mengenai Xinjiang yang ada di China sebelum 11 September 2001 sebagai perbatasan menawan dengan warna-warni suku minoritas yang menyukai tarian dan nyanyian telah berganti dengan kecurigaan.

China menyatakan Al Qaida dan kelompok lain bekerjasama dengan Gerakan Islam Turkistan Timur, di mata Beijing adalah kelompok teror paling utama di Xinjiang, dan peringatan melalui semprotan cat di tempat untuk melawan Hizb-ut-Tahrir, kelompok supranasional yang menyatakan tujuannya ialah “mendirikan Negara Muslim pan-nasional”.

Peristiwa di Lapangan Tiananmen hanya menambah kegelisahan China.

“Orang Han tampaknya takut terhadap kami. Saya tidak tahu kepana. Mereka tak mau memberitahu kami,” kata seorang pria Uighur yang berusia 22 tahun dan mengelola toko sepatu dan pakaian dalam jarak sangat dekat dengan tempat pelatihan polisi bersenjata di Urumqi.

Sejak 2001 China telah melancarkan aksi pembersihan penindasan keamanan di Xinjiang, sehingga makin menekan kebudayaan Uighur, tradisi agama dan bahasa, kata kelompok hak asasi. Namun Pemerintah China menyatakan telah menawarkan kebebasan luas kepada orang Uighur.

Sebagian orang Uighur percaya satu-satunya pilihan bagi mereka ialah makin dekat ke Agama Islam. Tapi dengan melakukan itu, mereka makin menjauhkan diri mereka dari Partai Komunis dan orang China Han.

Meskipun banyak perempuan Uighur di Urumqi mengenakan pakaian seperti timpalan mereka dari suku Han, sebagian lagi telah mulai memakai penutup tubuh menyeluruh, praktek yang lebih umum di Pakistan atau Afghanistan dibandingkan dengan di Xinjiang.

“Penindasan keras di Xinjiang lah yang justru membuat Muslim Uighur kembali ke konsep tradisional, lebih Islami dengan sangat cepat,” kata Joanne Smith Finley, pengajar dalam kajian mengenai China yang mempelajari Xinjiang di Newcastle University di Inggris.

“Tak ada tradisi mengenai konsep Islam radikal di Xinjiang,” katanya.

Pemerintah China sendiri telah mengakui ekonomi menjadi sebagian pangkal masalah di Xinjiang, dan telah mengalirkan uang ke sektor pembangunan dalam bentuk gedung sekolah, rumah sakit dan jalan.

Sementara itu, diskriminasi terhadap orang Uighur di pasar tenaga kerja –termasuk iklan lowongan kerja yang mengatakan “tak menerima orang Uighur”– adalah masalah lain, meskipun pemerintah berusaha mengakhiri itu.

Ilham Tohti, ahli ekonomi suku Uighur yang berpusat di China dan pengeritik lama kebijakan China terhadap Xinjiang, mengatakan kepada Reuters ia khawatir peristiwa Tiananmen hanya akan menghasilkan lebih banyak penindasan dan diskriminasi, makin mengobarkan api.

“Apa pun yang terjadi, ini akan memiliki dampak jangka panjang yang berjangkauan jauh terhadap orang Uighur dan akan mengakibatkan kerugian besar. Itu hanya akan menambah berart penghalang yang dihadapi orang Uighur di dalam masyarakat yang didominasi orang Han,” katanya. (Ant/Reuters)