baliho-2
 Baliho Larang Operasional Grab dan Uber‎ di Wilayah  Desa Adat Kuta
Kuta, (Metrobali.com) –
Penolakan beroperasionalnya Grab dan Uber Taksi di Bali seiring waktu semakin meluas. Penolakan transportasi angkutan berbasis aplikasi impor kali ini disuarakan para sopir angkutan lokal Bali dari Paguyuban Transport Desa Adat Kuta yang sepakat menolak beroperasionalnya angkutan online Grab dan Uber di wilayah Desa Adat Kuta.
Bendesa Adat Kuta Wayan Suarsa menyatakan imbauan penolakan secara tegas terhadap beroperasinya angkutan online Grab dan Uber untuk memasuki setiap wilayah Desa Adat Kuta dilakukan untuk membela dan melindungi warga Desa Adat Kuta dari rongrongan investasi asing berupa angkutan aplikasi online tersebut.
“Jadi sebelumnya beberapa hari sebelum keluarnya imbauan pelarangan angkutan online Grab dan Uber beroperasi di wilayah Desa Adat Kuta, sebagian besar warga yang bekerja dalam sektor transportasi secara bulat menyuarakan dampak adanya transportasi online sehingga akhirnya diputuskan dilarang beroperasi di seluruh wilayah Desa Adat Kuta,” Suarsa di Kantor Bendesa Adat Kuta, Senin 7 November 2016.
Suarsa mengungkapkan dalam pertemuan dengan warga Desa Adat Kuta yang berkecimpung dalam bisnis transportasi mengeluhkan banyak hal terkait adanya angkutan online Grab dan Uber beroperasi di wilayah Desa Adat Kuta. Keluhan warga Desa Adat Kuta, kata Suarsa, intinya adanya persaingan yang tidak sehat dilakukan angkutan aplikasi online terhadap bisnis transportasi milik warga lokal Desa Adat Kuta.
Warga Desa Adat Kuta, lanjut Suarsa, ingin agar pihak Desa Adat bisa melindungi warganya sehingga pihaknya menyetujui keputusan mengeluarkan himbauan pelarangan angkutan online beroperasi dan memasuki seluruh wilayah Desa Adat Kuta.
“Intinya ada beberapa keluhan warga kami yakni terkait rate atau tarif harga yang tidak wajar yang dilakukan angkutan online. Sikap Desa Adat Kuta sangat aspiratif yakni membela dan melindungi warga adatnya. Dharma ning tetimbang, ada sesuatu yang kita lindungi yakni warga Adat Desa Adat Kuta,” ungkapnya.
Suarsa mengakui baliho himbauan penolakan angkutan online Grab dan Uber memasuki dan beroperasi di seluruh Desa Adat Kuta telah dipasang sejak 2 minggu lalu. Selain memasang baliho penolakan angkutan Grab dan Uber di seluruh tempat strategis dan pintu masuk Desa Adat Kuta, sambung Suarsa, selaku Bendesa Adat pihaknya juga mengarahkan warga Desa Adat Kuta mengarahkan dan mejalin komunikasi dengan seluruh pihak managemen hotel di wilayah Desa Adat Kuta agar pelarangan ini diketahui dan juga diberlakukan pihak hotel di wilayah Desa Adat Kuta.
“Himbauan pelarangan angkutan online Grab dan Uber di seluruh wilayah Desa Adat Kuta ini juga harus diketahui seluruh pihak managemen hotel di Kuta dan ikut menerapkannya. Makanya kita minta warga Desa Adat menjalin komunikasi dengan seluruh pihak hotel di wilayah Desa Adat Kuta,” tandasnya.
Terkait ungkapan segelintir pihak yang menyatakan sopir lokal Bali berlindung dan dibackup Desa Adat, Suara secara tegas menyatakan bahwa sudah sewajarnya Desa Adat melindungi warganya disaat ada permasalahan yang dihadapi warganya. Suarsa mengaku jika aspirasi kuat dari warga di Desa Adat tidak diindahkan dan dilindungi maka hal itu justru akan menimbulkan masalah baru dimasyarakat.
Suarsa mengakui jika angkutan online Grab dan Uber tidak dilarang dan aspirasi warganya diabaikan maka dirinya yakin akan menimbulkan kegunjangan masyarakat dan merugikan transportasi lokal warga di Desa Adat Kuta. Ia menegaskan jika Desa Adat adat membackup warganya untuk mengendalikan massa agar tidak bergejolak dan terjadi letupan sosial.
“Kalau bukan Desa Adat yang membackup siapa lagi coba? Jadi wajar-wajar saja Desa Adat membela warganya. Desa Adatlah yang bisa mengendalikan investasi yang masuk ke wilayah masing-masing wilayahnya. Kita Desa Adat membela yang benar dan bukan backup yang salah. Kalau ini dibiarkan akan menimbulkan potensi penjajahan oleh investasi asing. Perasaan cemas warga kami kini ini juga perasaan terjajah,” tegasnya.
“Angkutan online Grab dan Uber ini masuk dan berbisnis tidak menggunakan aturan main yang berlaku. Rate atau tarif seenaknya saja, coba bayangkan dari airport Ngurah Rai menuju Kuta kok harganya hanya 20 ribu saja, dari Kuta ke Ubud juga tarifnya murah sekali dan tidak masuk akal. Strategi bisnis kok mematikan yang lain,” imbunya.
Penolakan yang tidak jauh berbeda juga disampaikan oleh Kelian Banjar Pengabetan Kuta, Sukadana Mangku yang juga mengaku kehadiran angkutan online Grab dab Uber merugikan sopir lokal Bali termasuk sopir lokal warga Desa Adat Kuta. Parahnya, kata Sukadana Mangku, angkutan online Grab dan Uber juga menambah panjang kemacetan dan kekroditan lalu lintas dikampung turis Kuta.
“Selaku warga yang juga berbisnis transportasi, angkutan online Grab dan Uber ini sangat menjatuhkan harga transportasi di Bali. Bagaimana tidak, harga yang dikenakan angkutan online tidak sesuai pasaran atau dibawah standar harga. Sudah taksi Grab dan Uber ini menambah overload taksi yang sudah banyak ada di Kuta. Parahnya, adanya angkutan online justru mengadu domba antar sopir,” pungkasnya. JAK-MB