Kuta (Metrobali.com)-

Kebijakan pemerintah yang melarang kendaraan dinas mengkonsumsi bahan bakar minyak (BBM) bersubdisi mulai berdampak pada tingkat pelayanan birokasi kepada masyarakat.
Berdasar pengamatan Sub Tim Analisis Sosial Pengendalian BBM Subsidi Kementerian ESDM, pascapemberlakuan kebijakan pelarangan kendaraan plat merah atau mobil dinas per 1 Agustus mengkonsumsi BBM bersubsidi, kini dampaknya dirasakan aparat birokrat di bawah.
Menurut Fathnan Harun dari Tim Analisis Sosial Pengendalian BBM, dari beberapa daerah di Indonesia yang dimintakan tanggapannya menunjukkan bahwa kebijakan tersebut sangat berpengaruh terhadap aktivitas pelayanan birokrasi.
“Secara umum pengendalian BBM subdisi ini telah berjalan cukup baik, aparat birokrat mulai melaksanakan kebijakan tersebut meskipun ada kendala misalnya karena ini harus merubah kultur,” kata Fathnan yang juga Asisten Deputi Koordinasi Informasi Publik dan Kehumasan Kementerian Polkam, di Kuta, Selasa (11/9).
Tim telah mengunjungi beberapa daerah seperti Yogyakarta, Bandung, Semarang, Kupang, Sumatera Utara, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Bali dan Sulawesi Tenggara, guna menjaring masukan dan aspirasi mereka terkait pengendalian BBM.
Intinya, mereka siap melaksanakannya, meskipun dengan beberapa konsekuensi seperti pengaruhnya terhadap aktivitas di lapangan.
Di mata anggota tim, Paulus Wirutomo, perubahan budaya beralih ke non subsidi ini tidaklah mudah. Apalagi, yang terkena dampak pertama dari kebijakan ini adalah aparat birokrasi hingga ke tingkat bawah.
Sebab itu merupakan proses yang membutuhkan waktu untuk membuka kesadaran, yang sebelumnya menggunakan BBM murah beralih non subdisi yang memiliki disparitas cukup tinggi.
Sejauh ini, kata dia memang hasilnya cukup menggembirakan, penggunaan Pertamax terjadi kenaikan di sejumlah daerah.
Hanya saja, pemerintah harus membuka komunikasi dengan aparat di bawah dalam mengatasi persoalan yang dihadapi di bawah.
Sebut saja soal pengendalian BBM bersubsidi untuk perkebunan di Jawa, mesti diperhatikan dengan baik, angan sampai justru merugikan petani atau masyarakat bawah.
Sementara JB Kristiadi anggota tim lainnya, mempertanyakan apakah pembatasan BBM untuk aparat di bawah bisa berjalan efisen dan tidak mengganggu kelancaran pelayanan.
Dia mencontohkan, kebijakan yang datangnya secara mendadak itu harus mengubah bagaimana pejabat yang harus mengunjungi lokasi pelayanan di desa, kini bisa melaksanakannya karena tidak ada anggaran akibat pengendalian BBM subdisi.
“Kalau ditambah anggarannya akan menelan dana cukup besar karena harus menyediakan budget untuk 524 daerah otonom,” imbuhnya.
Dia mempertanyakan apakah pemanfaatan Pertamax yang digunakan untuk aparat tersebut sampai ke sasaran dan punya tingkat efiiseni yang signifikan.
“Karena kenaikan BBM, harus dibayar atau ditomboki APBD, apakah ini cukup efisen,” tandas peneliti CSIS. BOB-MB