MetroBali

Selangkah Lebih Awal

Artikel – Transformasi media China di tengah gempuran konvergensi

Media Online – (Wikimedia Commons/Sollok29)

Shanghai (Metrobali.com)-
Semakin akrabnya masyarakat berinteraksi di depan layar menandakan digitalisasi di era modern ini semakin merasuk di setiap lini kehidupan.

Hampir setiap kegiatan bisa dilakukan dengan hanya menekan tombol di layar sentuh ponsel pintar yang hampir pasti dimiliki setiap orang, mulai dari pemesanan tiket pesawat, hotel, makanan bahkan jasa pijat.

Kondisi demikian juga menuntut media untuk bertransformasi dari media konvensional atau tradisional ke media digital dalam menjawab tantangan dan kebutuhan masyarakat yang disebut “jaman now”.

Tantangan serupa bukan hanya terjadi di Indonesia, tetapi hampir di seluruh negara mengingat banyaknya media cetak yang terpaksa harus gulung tikar atau bertransformasi menjadi media daring.

Wakil Pemimpin Redaksi Koran Sore Xin Min Ji Ying menjelaskan bahwa pihaknya mau tidak mau harus melakukan perubahan guna memenuhi tuntutan zaman.

Sejak berdirinya Xinmin Evening Newspaper pada 1929, surat kabar tersebut menjadi andalan bagia warga Shanghai dalam mendapatkan informasi.

“Kemudian kami dihadapkan antara dilema atau realita di mana harus melakukan transformasi dari media cetak ke media daring, maka dibuatlah kanal xinmin.com,” katanya.

Akhirnya, pada Agustus tahun lalu, Koran Sore Xinmin resmi membuat kanal digital di mana seluruh media berita terkonvergensi, baik itu tulis, foto maupun video.

“Kami juga menyediakan video `live streaming’ untuk acara-acara tertentu dan saat ini sudah ada aplikasinya dan sudah diunduh sebanyak lima juta unduhan,” ujarnya.

Ji menyebutkan pada mulanya konvergensi media dibuat, pihaknya bisa memproduksi 50-60 video per bulan dan saat ini meningkat dari 60-80 video setiap bulan, sementara itu untuk video “live streaming” bisa sampai 30 siaran per bulan melalui aplikasi mobile.

Upaya tersebut dilakukan untuk lebih menyesuaikan karakter pembaca yang saat ini ditargetkan adalah anak-anak muda yang cenderung malas membaca koran dan memilih mengakses lewat ponsel pintar.

Di samping itu, Ji juga harus lebih merangkul pembaca dari kalangan pemuda lewat sosial media, di mana ia juga telah melakukan kerja sama dengan sejumlah kanal yang populer di China seperti mesin pencarian Baidu dan aplikasi WeChat.

Jurnalis Serba bisa

Tantangan yang dihadapi oleh Koran Sore Xinmin bukan hanya mengubah “platform” media dari cetak ke daring, tetapi juga melatih pada sumber daya manusia (SDM) untuk dituntut serba bisa dalam meaporkan kejadian di lapangan, baik dalam bentuk tulisan, foto maupun video.

“Saya rasa di sini kami juga menghadapi masalah yang sama, yaitu bagaimana jurnalis dituntut harus bisa beradaptasi dari media konvensional menjadi media digital,” ujar dia.

Ji menambahkan terutama untuk jurnalis muda yang harus dituntut serbabisa dalam membuat laporan berita, untuk itu pihaknya menyelenggarakan pelatihan dan melengkapinya dengan berbagai fasilitas liputan.

“Kami melatih para jurnalis sesuai dengan karakternya, jadi kami tidak memaksakan apabila jurnalis menganggap bidang tertentu bukan ahlinya atau ketertarikannya,” katanya.

Artinya, masing-masing jurnalis dibekali sesuai dengan keahlian dan minat sendiri, contohnya untuk yang berminat di bidang foto, maka akan difokuskan ke situ, begitu pula dengan foto dan video.

Selain itu, lanjut dia, para redaktur siap membantu dalam penyuntingan baik itu tulisan, foto dan video sesuai yang ahli di bidangnya.

“Saling melengkapi apa yang jurnalis belum bisa lakukan, misalnya dia lebih kepada mengisi konten aplikasi mobile, untuk video dan fotonya kami lakukan,” katanya.

Jin mengaku bahwa sangat mudah untuk membuat konten berita yang lengkap dalam media digital, tetapi untuk penyesuaian model bisnisnya dirasa cukup sulit.

Koran Sore Xinmin adalah media independen yang tidak dibiayai pemerintah, jadi pihaknya harus mengincar pundi-pundi sumber pembiayaan melalui iklan.

Dia menambahkan media cetak sangat mudah menarik berbagai iklan, namun tidak dengan media daring.

Seiring berjalan waktu, lanjut dia, pihaknya bisa meraup pedapatan lewat hak cipta berita yang tayang di medianya dan untuk iklan sendiri bisa menyesuaikan.

“Pendapatan terbaik yang pernah kita dapat adalah lebih dari lebih 200 juta yuan, dan kami juga dapat iklan dari program `live streaming’,” katanya.

Pergeseran Karakter Pembaca

Direktur Departemen Berita Internasional Koran Sore Xinmin Wei Wei menjelaskan bahwa transformasi berita konvensional ke berita digital didorong karena adanya pergeseran karakter pembaca, terutama anak muda.

Bukan hanya sekadar ‘platform’ atau media yang dipilih untuk mengkases berita saja, tetapi juga gaya bahasa berita di China saat ini menyesuaikan dengan bahasa anak-anak muda.

“Ada perubahan di pembaca, mereka memiliki bahasanya sendiri yang terkadang tidak dimengerti oleh kalangan senior, karena itu kami membuat program yang mana agar para anak muda mau membaca berita kami,” katanya.

Meskipun saat ini para pembaca Xinmin masih didominasi kalangan senior, yaitu 60 persen, menurut Wei perubahan tersebut perlu dilakukan karena anak muda adalah generasi penerus.

“Karena itu, kami lengkapi kanal kami dengan video singkat, mereka juga bisa membaca tentang artis atau selebritas yang saat ini tengah naik daun,” katanya.

Transformasi media digital juga terjaadi di Majalah China Report yang mulai membuat kanal daring setahun yang lalu, kata penerjemah yang bekerja untuk China Report Xia Hailin.

Menurut dia, perubahan mesti di lakukan, meskipun untuk media cetak yang dikendalikan oleh pemerintah masih tetap bertahan karena mendapatkan sokongan dana.

“Untuk terhubung dengan seluruh masyarakat dunia, kami juga tersambung dengan Facebook dan WeChat,” katanya.

Namun, menurut dia, di China juga mengalami hal yang sama yang terjadi di media sosial, meskipun tidak semasif di Indonesia, yaitu adanya rumor serta ujaran kebencian (hate speech) oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab.

Pakar Jurnalisme Fudan University Guolin Shen mengatakan saat ini China berhasil menggeser media sebagai alat propaganda menjadi alat komunikasi internasional.

“Pemerintah menyesuaikan dengan menggunakan Bahasa Inggris dalam berita, mengganti ‘nada’ berita yang bisa diterima oleh kancah internasional tetapi tetap menyebarkan berita baik tentang China itu sendiri,” katanya. Sumber : Antara