Tangkapan Layar : Wisatawan sedang berkunjung ke Bali

 

Denpasar, (Metrobali.com)-

Koster Akan Wajibkan Wisatawan Asing Masuk Bali Bayar Rp150 Ribu. Gubernur Bali Wayan Koster akan mengenakan pungutan kepada wisatawan asing yang masuk ke Pulau Dewata sebesar Rp150 ribu.

Gubernur Bali I Wayan Koster mengatakan bahwa pungutan ini berlaku bagi wisatawan asing yang masuk ke Bali secara langsung dari luar negeri atau secara tidak langsung melalui wilayah lain di Indonesia.

“Pembayaran pungutan oleh wisatawan asing berlaku hanya satu kali selama berwisata di Bali. Pungutan yang wajib dibayar melalui pembayaran secara elektronik atau e-payment sebesar Rp150 ribu, atau kalau disetarakan kurs ini 10 dollar,” kata Koster dalam Rapat Paripurna DPRD ke-26 di Kantor DPRD Provinsi Bali, yang membahas Rancangan Peraturan Daerah (Raperda), di Kantor DPRD Bali, Rabu (12/7).

Menurut Jro Gde Sudibya, anggota MPR RI, Utusan Daerah Bali 1999 – 2004, Kamis 13 Juli 2023 tambahan pendapatan ini bisa menjadi “ladang” baru korupsi, akibat lemahnya pengawasan parlemen, kemungkinan kolusi dengan parlemen dalam pembahasan kebijakan fiscal, kontrol media dan gerakan masyarakat sipil yang lemah, serta pengawasan internal yang mungkin TST.

“Seharusnya sumber pendapatan yang ada sesuai aturan yang berlaku dimaksimalkan, sebut saja efektifitas pungutan PHR dan pungutan pajak lainnya. Publik tidak tahu berapa tingkat efektifitas pajak ini dan berapa kebocorannya. Kebocoran ini sudah tentu mengindikasikan dugaan prilaku korupsi. Penutupan kebocoran ini, akan menaikkan pendapatan daerah, provinsi, kabupaten dan kodya,” kata pengamat ekonomi dan politik itu kepada Metrobali.com.

Dikatakan, semestinya tidak lahir kebijakan, memberikan beban ke wisatawan dan atau para pelaku wisata, dengan alasan penambahan pendapatan, tetapi kebocoran pendapatan tidak dikoreksi, tetapi justru “dipelihara” untuk kepentingan kelompok atau orang per orang.

“Banyak pakar ekonomi, pakar yang “beneran”, karena sekarang banyak beredar “pakar” palsu, yang memberikan semacam “pembenaran” terhadap keputusan politik yang tidak didukung oleh landasan keilmuan yang jelas, agaknya kurang paham filsafat ilmu, melanggar etika keilmuan dan etika komunikasi publik, agaknya sebatas untuk memperoleh kecipratan “uang receh” Kelompok yang disebut oleh Perdana Menteri pertama negeri ini Soetan Sjahrir dengan nada sinis: “barisan orang-orang bertitel”.” ujar Jro Gde Sudibya pengamat kebijakan publik itu.

Dikatakan, merujuk pemikiran intelektual ternama negeri ini, intelektual pejuang, mantan Dubes Indonesia di AS, dan pernah menjadi Rektor riset university PBB Soedjatmoko, mereka yang pantas disebutkan sebagai (maaf) para pelacur intelektual.

Gelising cerite para pakar ekonomi, kata Jro Gde Sudibya termasuk ekonom senior Prof.Soemitro dalam banyak tulisannya mengatakan, kegagalan dalam pengelolaan kebijakan ekonomi yang sehat, akan diikuti dengan apa yang disebut oleh ekonom senior ini, pendiri FEUI tahun 1950 sebagai EKONOMI PERATURAN, yang membuat kebijakan ekonomi semakin ribet, menaikkan biaya ekonomi, yang oleh para ekonom disebut “high cost economy”, yang menjadi pangkal penyebab kegagalan kebijakan ekonomi pembangunan.

Menurutnya, Rencana Perda untuk “memunguti” biaya bagi para turis ini, akan melahirkan ekonomi peraturan berkelanjutan, tanpa henti, dan kemudian “merubuhkan” perekonomian.
Masih segar dalam ingatan sejarah ekonomi Indonesia, di tahun-tahun awal 1960’an, ekonomi peraturan menguasai negeri ini, penegak hukum masuk ke pasar memeriksa harga-harga, bagian dari kebijakan kontrol harga. Akhirnya apa yang terjadi?

“Saat itu, Inflasi Indonesia tahun 1965 – 1966 sekitar 500 – 600 persen, dan dengan sedih harus dikatakan Pemerintahan Presiden Soekarno jatuh, melalui Tap MPRS No.XXXIII/1967. Pengalaman perjalanan sejarah bangsa yang sangat pahit, meninggalkan trauma dan “luka lama” bagi kalangan murni kebangsaan sampai di hari-hari ini,” kata Jro Gde Sudibya
juru bicara” spiritualisme intelektualitas Sang Putra Fajar. (Adi Putra)