Denpasar (Metrobali.com)-

 

 

Hari ini, Jum’at, 8 September 2023 diberitakan di medsos, direncanakan berlangsung serah terima jabatan Gubernur Bali dari Wayan Koster ke PJ Gubernur Irjen Pol Sang Made Mahendra Jaya.
Menyongsong pelepasan jabatan ini, patut diberikan catatan sebut saja warisan kontroversial Wayan Koster selama kepemimpinannya, menyebut beberapa, pertama, polarisasi sosial yang ditinggalkannya. Polarisasi, pengepingan dan atau “pembelahan” sosial akibat “produksi” wacana dan konsekuensinya tentang Drestha Bali dan Non Drestha Bali, tanpa pernah memberikan rumusan tegas dalam: teologi, filsafat dan sosiologi agama. Akibatnya, muncul sebut saja “kekacauan” wacana tentang: keyakinan dan ikutannya, karena hampir semua orang memberikan tafsir sendiri, menurut kepentingannya, terhadap lontar dan “lontar” , yang merujuk pemikiran Pak Mantra sudah sepantasnya “lontar-lontar” tsb. “dimusiumkan”. Kedua, politisasi Desa Pakraman yang kebablasan melalui Perda Desa Adat 4/2019, yang dari sisi prinsip konstitusiobalitas amat lemah, karena menintervensi Desa Adat yang memperoleh otonomi langsung dari Pasal 18 UUD 1945. Bertentangan dengan prinsip dasar Desa Pakraman yang bercirikan kemandirian, dan bertumbuh melalui swadayanya sendiri tanpa intervensi. Ketiga, membangun pusat kebudayaan, dengan merusak lingkungan, membebani APBD Bali untuk lima sampai sepuluh tahun ke depan, dengan mengorbakan program peningkatan kesejahteraan sosial.Seperti: penanggulan kemiskinan, penanganan stunting, peningkatan kesejahteraan petani, peningkatan kualitas pendidikan dan penyelamatan lingkungan. Keempat, proyek jalan tol Gilimanuk – Megwi yang tidak jelas keberlanjutannya, diperkirakan akan “menerjang” sawah nan subur 480 ha, “mematikan” sekitar 80 Subak, menutup permukaan tanah Bali seluas 1,300 ha. Jalan tol yang “bersambungan” dengan tol Probowangi, Probolinggo – Banyiwangi, mempercepat migrasi penduduk masuk Bali, dengan semua konsekuensi ekonomi, politik dan sosial kultural yang menyertainya. Kelima, “komersialisasi” Besakih, akibat pembangunan gedung bertingkat yang “ngungkulin” Pura Titi Gonggang, berjarak sekitar 100 meter dari Pura Manik Mas. Merujuk Bhisama Kesucian Pura PHDI, seharusnya jarak pura Kahyangan Jagat dengan proyek ekonomi komersiil a peneleng agung sekitar 5 km, yang dalam konteks Besakih, dihitung dari jaba sisi Pura Dalem Puri. Gedung parkir ini, “ngungkulin” Pura Dalem Puri.
Besakih adalah “sesuduk kayun krama Bali”, pencemaran terhadapnya mengacaukan tata pikir krama Bali yang “ten eling”, “lepia” dan jauh dari kesadaran “jagra”.
Disertai dengan kalimat penutup, Mungkin kebetulan saja, bersamaan dengan serah terima jabatan Gubernur Bali ini, beredar di medsos, dasar pelinggih ring Pura Luur Uluwatu, pemujaan Tuhan Rudra, ring Nreti (Barat Daya) Pulau Bali, mengalami keretakan yang serius. “Sasmita” yang semestinya membuat krama Bali ke depan lebih mawas diri, para pemimpin “manggeh ring sesana”, “pageh ngelimbakang swadharma tur satya wacana”.

Penulis : Jro Gde Sudibya, Ketua FPD (Forum Penyadaran Dharma) kelompok diskusi intelektual Hindu, banyak memberikan masukan bagi kebijakan pembangunan Bali semenjak dasa warsa 1990’an.