Bangli (Metrobali.com)

 

Wakil Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif/Wakil Kepala Badan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Wamenparekraf/Wakabaparekraf) Angela Tanoesoedibjo mendorong penguatan keberlangsungan lingkungan dalam mengembangkan sektor pariwisata di kawasan Kintamani, Kabupaten Bangli, Bali.

Wamenparekraf Angela Tanoesoedibjo mendorong penguatan keberlangsungan lingkungan dalam mengembangkan pariwisata di kawasan Kintamani, Bali, dalam diskusi di Toya Devasya Resort, Selasa (25/7/2023).

Dalam diskusi pengembangan pariwisata di Kintamani di Toya Devasya Resort, Selasa (25/7/2023), Angela mengatakan Kemenparekraf berkomitmen untuk mengembangkan pariwisata berkelanjutan di Indonesia. Sehingga, Angela pun mendorong agar para stakeholder terkait berkolaborasi dengan Kemenparekraf untuk meningkatkan keberlanjutan lingkungan di Kintamani.

“Kita melihat ini ada potensi pengembangan pariwisata Bali dan ini adalah momentum yang pas, wisatawan sudah mulai pulih. Jadi kita ingin menunjukkan pariwisata di Indonesia, terutama di Bali ini semakin bisa memberikan kenyamanan terutama dari sisi CHSE (Cleanliness, Health, Safety, and Environmental Sustainability),” kata Angela.

Salah satu upaya yang ditempuh Kemenparekraf untuk meningkatkan dan menciptakan pariwisata berkelanjutan adalah dengan berkolaborasi bersama aksi corporate social responsibility (CSR) yang dilakukan berbagai perusahaan di Indonesia.

“Kami juga banyak bekerja sama dengan sektor swasta termasuk dalam waste management. Tentunya ini dapat kita dorong untuk lebih berperan di Kintamani,” katanya.

Dalam kesempatan yang sama, Staf Ahli Menparekraf Bidang Manajemen Krisis Fadjar Hutomo menambahkan Kemenparekraf menjunjung tinggi semangat inovasi, adaptasi, dan kolaborasi. Sehingga, pemanfaatan CSR ini dinilai tepat untuk mengembangkan pariwisata berkelanjutan di Kintamani.

“Jadi kami mendorong pemanfaatan CSR sebagai bentuk kolaborasi. Di kita itu ada semangat kolaborasi, inovasi, dan adaptasi, memang tiga hal ini harus kita lakukan,” kata Fadjar.

Dalam diskusi ini Wamenparekraf Angela didampingi Sekretaris Deputi Bidang Pengembangan Destinasi dan Infrastruktur Kemenparekraf/Baparekraf, Oneng Setya Harini; Direktur Pengembangan Destinasi Regional I Kemenparekraf/Baparekraf, S. Utari Widyastuti; dan Direktur Manajemen Investasi Kemenparekraf/Baparekraf, Zulkifli Harahap. Diskusi ini juga dihadiri oleh perwakilan stakeholder pariwisata dan Pemerintah Kabupaten Bangli.

Sementara itu, GM Toya Devasya Dr. I Ketut Mardjana (IKM) mengemukakan bahwa dalam rangka menindaklanjuti keluhan para pelaku industri mengenai isu meningkatnya populasi lalat di Kawasan Wisata Kintamani, Kabupaten Bangli, Provinsi Bali, Wakil Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif bermaksud melaksanakan rapat koordinasi kepada seluruh stakeholder kepariwisata yang ada di Provinsi Bali dan memitigasi serta mencarikan solusi agar populasi lalat.

Menurut IKM yang juga Ketua PHRI Bangli ini, Permasalahan lalat di Kawasan Kintamani sudah berlangsung lama dan belum ada langkah penyelesaian secara komprehensif. Hal ini dikarenakan tindakan dilakukan sampai saat ini masih bersifat parsial oleh masing masing perusahaan pariwisata, dan cenderung menimbulkan biaya tinggi (high cost) Apabila masalah lalat tidak dicarikan solusi yang konfrehebsif niscaya pariwisata Kintamani akan mengalami degradasi.

“Perlu tindakan kolaboratif antar semua pihak untuk bersama-sama mengatasi meningkatnya populasi lalat ini atau perlu diadakan Kampanye Kebersihan secara besar-besaran dengan melibatkan pemerintahdan Komunitas dan Penyediaan Fasilitas Publik seperti tempat pembuangan sampah, truk sampah dan sarana Kebersihan,” kata IKM.

Seperti diketahui bahwa Kecamatan Kintamani merupakan daerah pertanian maka meningkatnya populasi lalat bisa juga disebabkan oleh Penggunaan Pupuk Organik/Kandang, Pengelolaan sampah yang belum baik, Ikan mati di danau tidak ditimbun atau dibakar, Pengelolaan sanitasi limbah belum optimal dan Hasil pertanian yang tidak tertata pembuangannya.

Intinya, Permasalahan lalat di Kawasan Kintamani sudah berlangsung lama dan belum ada langkah penyelesaian secara komprehensif. Hal ini dikarenakan tindakan dilakukan sampai saat ini masih bersifat parsial oleh masing masing perusahaan pariwisata, dan cenderung menimbulkan biaya tinggi (high cost) Apabila masalah lalat tidak dicarikan solusi yang konfrehebsif niscaya pariwisata Kintamani akan mengalami degradasi. (hd)