Pertemuan antara Komisi B DPRD Jembrana, ADM PT CIPL dan karyawan CIPL, dan lokasi perkebunan karet.

Pertemuan antara Komisi B DPRD Jembrana, ADM PT CIPL dan karyawan CIPL, dan lokasi perkebunan karet.

Jembrana (Metrobali.com)-

Komisi B DPRD Jembrana mendesak pihak PT Citra Indah Prayasa Lestari (CIPL) untuk membayar upah atau gaji karyawannya sesuai dengan upah minimum kabupaten (UMK).

“Saya minta karyawan diberi upah sesuai UMK. Kalau tidak mampu silahkan ajukan penangguhan. Jangan ditunda-tunda” ujar Ketua Komisi B DPRD Jembrana Nyoman Sutengsu Kusumayasa, saat sidak yang dilanjutkan dengan menggelar pertemuan dengan pihak ADM PT CIPL dan sejumlah karyawan, Kamis (26/5).

Didampingi sejumlah anggota Komisi B DPRD Jembrana lainnya, PT CIPL yang mengelola perkebunan karet di Desa Pekutatan, Kecamatan Pekutatan, Kabupaten Jembrana, Bali, ini juga diminta untuk memperhatikan fasilitas dan akses jalan seputaran perkebunan milik Perusda Bali tersebut.

Selain mendesak PT CIPL, Ketua Komisi B DPRD Jembrana yang kerap dipanggil Suheng ini juga meminta agar pihak Perusda Bali turun tangan dan ikut serta memfasilitasi permasalahan yang dialami karyawan termasuk masalah upah.

“Saya mendapat informasi kalau upah karyawan disini setiap bulannya selalu telat dibayakan. Ini seharusnya tidak boleh terjadi. Karena upah nerupakan hak karyawan” tandas Suheng.

Pada pertemuan tersebut Suheng sempat menanyakan dan meminta kopian bentuk kontrak kerja antara PT CIPL dengan Perusda Bali. Namun ADM PT CIPL, Selamet Sugiyono dan Kabag TU, Yohanes Setia Adi yang hadir pada pertemuan tersebut belum bisa memberikan, dan dikatakan akan dikirim menyusul.

Sementara itu, salah seorang karyawan Ketut Sudarma dari Desa Manistutu, Kecamatan Melaya membenarkan jika upah yang diterima masih dibawah UMK. Padahal dirinya dan beberapa karyawan lainnya sudah bekerja selama 10 tahun lebih.

Di sisi lain, ADM PT CIPL Selamet Sugiyono mengakui adanya keterlambatan pembayaran upah karyawan. Karena perusahaan yang dipimpinnya kini sedang mengalami kesulitan keuangan.

“Semua permasalahan sudah disampaikan kepada atasan. Karena semua keputusan ada di Jakarta. Sistem pengupahan juga sudah jelas karena dihitung dengan jam kerja” ujarnya.

Ia menjelaskan setiap bulannya perusahaan hanya mampu menghasilkan 5 sampai 6 ton karet atau sekitar Rp.100 juta, sedangkan upah atau gaji yang harus dibayarkan setiap bulannya mencapai Rp.300 juta lebih. MT-MB