petani membajak sawah dengan kerbau

Tanaman jagung, kacang tanah dan sayur mayur tumbuh subur di sela-sela tanaman jeruk di kawasan Kintamani, Kabupaten Bangli, padahal daerah itu sebelumnya dikenal gersang dan tandus.

Lahan kritis itu terjadi akibat sebagian besar areal ditutupi lahar dingin muntahan Gunung Batur yang meletus hampir bersamaan dengan Gunung Agung pada tahun 1963.

Kesan tandus dan gersang itu kini hampir tidak kentara, karena lingkungannya mulai menghijau dan produktif berkat tumbuhnya berbagai jenis komoditas pertanian, termasuk pembibitan dan pengembangan peternakan sapi yang mempunyai nilai ekonomis tinggi dalam menopang kehidupan masyarakat setempat.

Upaya mengubah lahan tandus menjadi produktif itu berkat sentuhan proyek sistem pertanian terintegrasi (Simantri) yang digagas Gubernur Bali Made Mangku Pastika sejak dipercaya masyarakat “mengendalikan” Bali pada 28 Agustus 2008. Kini, jumlahnya mencapai lebih dari 500 unit simantri yang tersebar di delapan kabupaten dan satu kota di Bali.

“Pembangunan Simantri secara berkesinambungan itu merupakan aktualisasi dari kegiatan ritual Tumpek Kandang yang digelar setiap 210 hari yang kali ini jatuh pada hari Sabtu (7/3) Saniscara Keliwon Uku Uye,” tutur Direktur Program Doktor Ilmu Agama Pascasarjana Institut Hindu Dharma Indonesia Negeri (IHDN) Denpasar, Dr I Ketut Sumadi.

Selain itu juga mendukung Pulau Dewata yang telah dicanangkan sebagai provinsi bersih dan hijau (Bali Green Province), kearifan lokal itu perlu terus disosialisasikan, sekaligus untuk meningkatkan kesadaran akan perilaku bersih dan hidup sehat.

Lingkungan yang hijau, termasuk pepohonan, hijauan makanan ternak, dan rerumputan sangat mendukung kegiatan Simantri serta limbahnya dapat diolah menjadi pupuk organik serta menghasilkan energi biogas untuk lampu penerangan dan memasak.

Energi terbarukan yang dikelola secara mandiri oleh masing-masing keluarga peternak itu diharapkan secara bertahap mampu menghilangkan ketergantungan dari energi listrik PLN.

Menurut alumnus S-3 Kajian Budaya Universitas Udayana itu, dengan adanya kucuran dana dari Pemprov Bali maupun kabupaten/kota di daerah ini yang mencapai ratusan juta rupiah per tahun untuk setiap desa adat (pekraman) dapat diarahkan untuk alih teknologi mendukung kegiatan Simantri dan mengolah limbah pertanian menjadi pupuk organik.

Simantri yang jumlahnya kini lebih dari 500 unit mengusahakan sektor pertanian, peternakan, perkebunan dan perikanan secara terpadu dalam satu kawasan itu.

Mereka juga mengolah limbah menjadi pupuk organik, yang mutunya jauh lebih baik dibandingkan dengan pupuk produksi pabrik yang mengandung zat kimia.

Simantri, pionir kelompok tani dan usaha pupuk ramah lingkungan diharapkan terus bertambah, sebagai modal menjadikan Bali sebagai Pulau Organik, bebas sampah sekaligus mewujudkan Bali menjadi provinsi hijau dan bersih (Green Province).

Gubernur Bali Made Mangku Pastika memang telah bertekad untuk terus memperbanyak pembangunan simantri, sebagai upaya memacu pembangunan sektor pertanian, yang berbasis pada kelestarian lingkungan, karena petani menghindari penggunaan pupuk produksi pabrik maupun pestisida dalam proses pertanian.

Pengembangan pola pertanian terintegrasi itu dinilai sangat penting dalam memberikan kemudahan kepada petani, sekaligus meningkatkan pendapatan kesejahteraan petani Bali yang umumnya masih di bawah garis kemiskinan.

Persembahan Umat Hindu di Bali menggelar kegiatan ritual Tumpek Kandang dengan mempersembahkan rangkaian janur (banten) kombinasi bunga, kue dan buah-buahan yang ditujukan khusus untuk binatang piaraan yang selama ini mampu meningkatkan pendapatan keluarga.

Kegiatan ritual itu untuk memuja Ida Betara Siwa dalam manifestasi sebagai Rare Angon. Kegiatan kurban suci ditujukan untuk semua jenis binatang yang hidup di alam semesta, umumnya ditujukan terhadap binatang piaraan, seperti sapi, babi, ayam dan usaha ternak kreatif lainnya.

Tradisi Tumpek Kandang itu bermakna memberikan kesucian terhadap binatang, yang dipelihara masyarakat itu agar mampu memberikan kesejahteraan bagi umat manusia.

Oleh sebab itu hampir semua kandang sapi, kerbau, ayam maupun babi milik petani di Bali, terutama di daerah “gudang beras” Kabupaten Tabanan pada hari Tumpak Kandang atau tampak lain dari hari-hari biasanya.

Masyarakat Bali mewarisi Tumpak Kandang untuk menjaga tradisi memelihara kelestarian alam, keseimbangan ekosistem dalam mewujudkan hubungan yang harmonis sesama umat manusia, lingkungan dan Tuhan Yang Maha Esa (Tri Hita Karana).

Dalam kehidupan sehari-hari, menurut Ketut Sumadi manusia kerap kali mengonsumsi daging yang bersumber dari hewan dan binatang. Mengkonsumsi daging hewan atau binatang sedikit banyak membawa pengaruh terhadap tabiat, sifat dan karakter manusia.

Oleh sebab itu, pada Hari Tumpek Kandang, umat manusia hendaknya dapat menyucikan diri, untuk menetralisir kekuatan-kekuatan binatang dalam diri. Perayaan Tumpek Kandang yang umumnya dilakukan di masing-masing kandang tempat piaraan hewan.

Hal itu juga dapat dipandang sebagai rasa terima kasih dan rasa syukur manusia Bali kepada Tuhan yang telah menciptakan flora dan fauna untuk kesejahteraan umat manusia.

Tumbuh-tumbuhan, hewan dan binatang memiliki andil dan jasa yang tidak terbilang besarnya untuk menopang kehidupan manusia. Sapi dan kerbau, misalnya, digunakan oleh petani untuk membantu membajak sawah.

Petani meski kini sudah mengenal teknologi traktor, tenaga sapi dan kerbau tetap menjadi andalan untuk mengolah lahan pertanian, disamping mempunyai nilai ekonomis tinggi.

Kasih sayang Selain sapi dan kerbau yang tidak “melumpur” pada hari Tumpek Kandang yang dirayakan setiap 210 hari sekali, ayam adu juga tidak dipertandingkan, kuda tidak dipakai menarik delman, namun diistirahatkan di dalam kandang, atau tidak harus menarik gerobak pedati.

Tidak hanya itu, atraksi “Makepung” yakni pedati yang ditarik dua ekor kerbau yang merupakan tradisi masyarakat tani di Kabupaten Jembrana, Bali Barat, yang biasa dilakukan petani selesai panen di sawah dan beberapa tahun terakhir mulai disuguhkan kepada pelancong dan sangat digemari wisatawan mancanegara, sama sekali tidak boleh diselenggarakan pada hari “baik” bagi satwa tersebut.

Menurut beberapa warga Jembrana, pernah ada kelompok yang tergiur “dolar” dan tidak mengindahkan ritual “Tumpek Kandang”, ternyata belakangan berakibat fatal.

Seluruh kerbau yang dilibatkan dalam atraksi wisata “Makepung” hari itu, satu demi satu dalam waktu kurang dari dua pekan telah mati tanpa sebab, ujar warga yang aktif dalam kegiatan “balap” satwa itu.

Demikian pula sejumlah desa adat di Bali yang mengelola objek wisata dengan koleksi kera sebagai daya tariknya, pada hari tumpek kandang itu biasanya menggelar kegiatan ritual secara khusus untuk menghormati kera yang selama ini mampu memberikan kesejahteraan kepada masyarakat setempat dan sekitarnya.

Sejumlah objek wisata di Bali yang mengandalkan kera sebagai daya tariknya antara lain objek wisata Sangeh, Uluwatu (Kabupaten Badung), Alas Kedaton, Bedugul (Kabupaten Tabanan), Pulaki (Buleleng) dan Objek Wisata Mandala Wanara Wana Monkey Forest Ubud, Kabupaten Gianyar.

Pengelola objek Wisata Monkey Forest Perkampungan seniman Ubud secara berkesinambungan melaksanakan kegiatan ritual khusus ditunjukan 600 ekor kera yang menghuni kawasan tersebut.

Kegiatan tersebut bertujuan untuk memuliakan segala jenis hewan sebagai bagian penting dari ekosistem penopang kehidupan masyarakat. Ritual itu dilaksanakan secara sederhana di bundaran atau kolam yang terletak di tengah hutan objek Wisata Monkey Forest.

Kegiatan ritual itu dipimpin oleh pemangku Desa Adat setempat dengan persembahan sesajen yang ditujukan secara simbolik terhadap 600 ekor kera yang ditandai dengan percikan air suci (tirta) sebagai tanda upacara telah selesai dilakukan.

Jadi, ritual Tumpek Kandang itu memberikan kesucian terhadap binatang, yang akhirnya juga akan memberikan kesejahteraan bagi umat manusia. AN-MB