Oleh: I Gde Sudibya

BPS (Badan Pusat Statistik) Kamis ( 5/11 ) telah merilis data ekonomi mutakhir, dikemukakan  pertumbuhan ekonomi triwulan ke dua tahun 2020 dibandingkan dengan triwulan yang sama tahun 2019 tumbuh negatif 5,32 persen, triwulan ke tiga kembali tumbuh negatif 3,49 persen. Pertumbuhan negatif selama dua triwulan berturutan, secara ilmu ekonomi, perekonomian memasuki masa resesi.

Sebagaimana pernah diulas, ada 10 sektor usaha yang mengalami kontraksi paling dalam, antara lain: akomodasi, makanan-minuman, transportasi, pergudangan, perdagangan, konstruksi dan industri pengolahan.
Anatomi ekonomi Bali
Data CNBC Indonesia yang beredar di media sosial, ada sembilan provinsi yang pertumbuhan ekonominya  berdasarkan pertumbuhan kuartal III 2020 ( Y o Y), mengalami pertumbuhan negatif tinggi, mengalami kontraksi terdalam dari pusaran -4 persen – 12 persen, yakni: 1. Bali – 12,28 persen. 2. Kepulauan Riau – 5,81 persen. 3. Banten -5,77 persen. 4. Sulawesi Barat – 5,26 persen. 5.Kalimantan Selatan – 4,68 persen. 6. Kalimantan Timur – 4,61 persen.7. Kalimantan Barat- 4,46 persen. 8. Bangka – Belitung 4,38 persen. 9. Jawa Barat – 4,08 persen.
Kontraksi ekonomi Bali yang tertinggi – 12,28 persen, merupakan akibat dari perekonomian yang nyaris tergantung penuh pada industri pariwisata dalam artian luas. Industri yang mencakup: perdagangan, hotel, restoran, dan sektor ekonomi lainnya yang tingkat pertumbuhannya sangat tergantung pada jasa pariwisata: transportasi, komunikasi, jasa lainnya termasuk sewa rumah.
 Di susul oleh sektor ekonomi: perbankan, konstruksi dan sektor pengolahan yang produknya ekspor dan atau permintaannya sangat tergantung dari kedatangan wisatawan. Pada sisinya yang lain, industri pariwisata dalam artian luas ini, mempunyai dampak penciptaan pendapatan ( multiplier effect ) yang tinggi, plus angka penciptaan kesempatan kerja, NE ( employment elasticity ) yang juga tinggi.
Dalam industri ini, begitu mudah pelaku ekonomi memasukinya ( entry ), demikian juga keluarnya ( exit ). Sehingga tekanan keras pada industri pariwisata, berdampak sangat serius terhadap: tingkat pendapatan, peluang usaha, dan besaran angka pengangguran. Kondisi ini merupakan “mimpi buruk” bagi ekonomi Bali, yang beberapa dasa warsa terakhir secara umum bertumbuh gilang gemilang dibandingkan dengan rata-rata pertumbuhan ekonomi nasional.

Kecerdasan merespons tantangan
Kondisi yang ada bukan untuk ditangisi, dalam masyarakat dengan kearifan kehidupan ” pekebeh mraga guru ” – tekanan dan bahkan krisis merupakan guru kehidupan -, sudah waktunya segera dan tidak lagi mengulur waktu untuk gotong royong bersama mencari, merumuskan pilihan solusi menghadapi tekanan krisis ekonomi tersebut. Pilihan solusi yang merupakan agenda penyelamatan ekonomi Bali, untuk mampu segera keluar dari titik nadirnya.
Kerja bersama, gotong royong, ” paras-paros sarpanaya, sagilik-saguluk, salunglung sabayantaka” yang bermakna filosofi tinggi, diwujudkan melalui inisiatif Pemda ( Provinsi, Kabupaten, Kodya ) untuk mengundang seluruh stake holders, menyebut beberapa diantaranya: Kadin, PHRI, Asosiasi prefesi, Organisasi yang mewadahi Koperasi, LPD untuk menyusun agenda penyelamatan ekonomi Bali.
Mereka yang berpengalaman puluhan tahun menjalankan dharma prefesinya dan sangat mencintai Bali  ( Most Bali Lovers ), akan bangkit jengah, dan kemudian  melahirkan trobosan dan karya-karya metaksu. Inilah waktunya, kita menunjukkan kebesaran ( greatness ) dari karya-karya sastra yang selalu disimak-kidungkan oleh para pengawi sejak ribuan tahun sampai di hari-hari ini.
Inilah waktunya “melahirkan trobosan dan karya-karya metaksu”. Kerja gotong royong dalam penyusunan program penyelamatan ekonomi Bali, sesana manut linggih, etika sesuai dengan peran, dapat mencakup sejumlah isu strategis:
1. Pemerintah memaksimalkan pelaksamaan fungsi anggaran: kebijakan jaring pengaman sosial, belanja barang dan program penyelamatan usaha, karena berperanan penting untuk mengerem kemerosotan ekonomi.
2. PHRI semestinya memberikan masukan pada sejumlah isu: upaya meminimalkan penutupan usaha,  prlaku baru dan inovasi promosi di era baru.
3. Kadin dan asosiasi usaha lainnya semestinya memberikan masukan untuk: peningkatan daya beli masyarakat , pertumbuhan konsumsi masyarakat, rintisan penambahan investasi sektor swasta, langkah strategis untuk penyelamatan UMKM.
4. Kalangan akademisi dan kelompok profesional lainnya, menyiapkan simulasi dan atau model pariwisata baru pasca pandemi, sementara pengamat menyebutnya gelembung pariwisata dengan ciri: berbasis kesehatan, bersifat sementara,  G to G dalam lingkup kawasan.
Tentang Penulis
I Gde Sudibya, ekonom, pengamat ekonomi, penulis epilog dalam buku: Baliku Tersayang, Baliku Malang, Potret Otokritik Pembangunan Bali Satu Dasa Warsa  ( Dasa warsa 90’an ).