BPJS KESEHATAN

Jakarta (Metrobali.com)-

Pusat Studi Nusantara (Pustara) mengingatkan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan agar memberikan perlindungan dan kesejahteraan sosial bagi rakyat sebagaimana mandat UU No 24 Tahun 2011 tentang BPJS.

“Sebabnya, dalam implementasi di lapangan, masih banyak ditemukan keluhan baik dari pasien, pihak rumah sakit, LSM, politisi DPR, maupun kelompok lain. Perjalanan setahun BPJS Kesehatan masih jauh dari harapan masyarakat,” kata Direktur Eksekutif Pustara, Imam Ghazali dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Selasa (30/12).

Imam Ghazali mengungkapkan hal tersebut saat memaparkan catatan akhir tahun terkait pelaksanaan BPJS Kesehatan.

Selama setahun, Pustara mencatat beberapa permasalahan BPJS Kesehatan. Catatan pertama, lanjutnya, Peraturan Direksi BPJS Kesehatan No 211 Tahun 2014 yang mengharuskan bayi baru lahir dari orangtua kelas 3 harus mendapatkan surat rekomendasi Dinas Sosial sangat menyulitkan masyarakat.

“Aturan ini diskriminatif, karena hanya berlaku untuk pasien kelas 3. Seharusnya, pasien kelas 2 dan 1 juga bisa mendapatkan rekomendasi karena pada dasarnya tidak ada warga negara kelas 1, kelas 2 maupun kelas 3,” ujarnya.

Kedua, Peraturan BPJS Kesehatan yang menetapkan masa tunggu kartu aktif selama 7 (tujuh) hari untuk peserta mandiri menyebabkan masyarakat tidak bisa langsung mendapatkan akses fasilitas kesehatan meskipun dalam keadaan sakit parah.

“Padahal, asuransi swasta sendiri memberlakukan masa tunggu (waiting period) itu hanya untuk penyakit-penyakit tertentu saja,” katanya.

Catatan ketiga, pemberlakuan pengurusan kartu 3×24 jam kepada peserta menyebabkan pihak RS dengan masyarakat terjadi konflik. Pasalnya, peserta dari PNS dan pegawai swasta yang notabene melahirkan di RS harus mengurus kartu bayinya dalam waktu 3×24 jam. Jika tidak, maka tidak akan dijamin BPJS.

“Aturan ini kurang disosialisasikan pihak BPJS ke PNS dan perusahaan, akibatnya petugas RS selalu terlibat konflik dengan peserta yang merasa sudah dipotong gajinya tiap bulan untuk premi,” ujarnya.

Keempat, adanya aturan dan kebijakan yang berbeda-beda di tiap wilayah, misalnya, BPJS cabang Jakarta Pusat dengan BPJS cabang Jakarta Barat. Untuk pengurusan kartu peserta bayi baru lahir di Jakarta Pusat tidak memerlukan NIK dan dapat dimaklumi, sementara untuk wilayah Jakarta Barat harus ada jika ingin kartu keluar.

“Pengurusan NIK sendiri di tiap-tiap wilayah juga berbeda-beda,” ucapnya.

Kelima, BPJS Kesehatan tidak ada sosialisasi ke masyarakat atas manfaat apa saja yang akan diperoleh dengan menjadi peserta, khususnya peserta mandiri.

Akibatnya, ekspektasi masyarakat yang sangat tinggi seringkali jadi masalah, dimana peserta datang langsung ke RS tanpa rujukan puskesmas/ klinik pratama.

Keenam, petugas BPJS Kesehatan yang tidak standby di RS menyebabkan terhambatnya pasien jika harus dirujuk ke RS yang lebih tinggi. Dimana untuk surat rujukan harus ditandatangani dan stempel dari petugas BPJS.

“Padahal, hari kerja pegawai BPJS hanya Senin- Jumat, sementara operasional RS itu 24 jam selama 7 hari penuh,” ujarnya.

Ketujuh, meminta Direksi BPJS Kesehatan untuk membatalkan Peraturan Direksi BPJS No 211 Tahun 2014 dan juga aturan tentang masa tunggu kartu aktif 7 hari.

“Peraturan itu menimbulkan banyak masalah di masyarakat, maka sudah selayaknya Peraturan BPJS Kesehatan dan Peraturan Direksi BPJS Kesehatan tersebut dicabut,” kata Imam.

Kedelapan, BPJS diperuntukkan untuk WNI agar bisa menjaga kesehatannya supaya tidak jatuh miskin ketika sakit. Banyaknya masalah BPJS, seharusnya Direksi BPJS melakukan blusukan ke lapangan agar tahu langsung permasalahan masyarakat.

“Kalau Presiden Jokowi saja blusukan untuk mengetahui fakta yang terjadi di lapangan, kenapa Direksi BPJS tidak blusukan juga?” ujarnya.

Karena itu, Pustara meminta Presiden Jokowi mengevaluasi kinerja Direksi BPJS Kesehatan. Bila perlu, ganti Direksi yang dinilai gagal tunaikan mandatnya.

“Jokowi harus buktikan bahwa program pelayanan kesehatan itu diperuntukkan untuk rakyat,” kata dia. AN-MB