Presiden terpilih Joko Widodo (kiri) dan anak sulungnya Gibran Rakabuming Raka (kanan) menjawab sejumlah pertanyaan wartawan sebelum menuju Gedung MPR di Rumah Dinas Gubernur DKI Jakarta, Senin (20/10). Presiden terpilih Joko Widodo dan Wapres terpilih Jusuf Kalla dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden periode 2014-2019 hari ini Senin (20/10) di Gedung Parlemen. ANTARA FOTO/Widodo S. Jusuf/Rei/mes/14.

Presiden Jokowi/MB
Jakarta (Metrobali.com)-
Presiden Jokowi dalam berbagai kesempatan menyampaikan visi Indonesia sebagai negara maritim. Bahkan dalam pidatonya di COP 21, secara tegas Presiden menyampaikan bahwa Indonesia merupakan negara dengan garis pantai terpanjang serta negara kepulauan dan sebagian besar diantaranya adalah pulau-pulau kecil dengan tingkat kerentanan yang lebih tinggi dari ancaman perubahan iklim.

“Turunan dari komitmen Presiden tersebut mestinya diterjemahkan dengan membuat kebijakan nasional yang bertujuan memulihkan dan melindungi kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil, baik dari ancaman perubahan iklim maupun ekspansi modal. Visi maritim Jokowi salah kaprah diterjemahkan dan bahkan dibajak untuk kepentingan kekuasaan, baik secara ekonomi maupun politik. Visi maritim mestinya dikuatkan dengan membangun kesejahteraan bagi nelayan dengan memberikan perlindungan ruang hidupnya dari ancaman ekspansi modal, serta memulihkan kawasan pesisir yang mengalami krisis ekologis. Setelah mengeksploitasi habis-habisan di darat dengan model pembangunan berbasis lahan, ekspansi modal bergerak ke arah pesisir dan pulau-pulau kecil”, tegas Nur Hidayati, Direktur Eksekutif Nasional WALHI.

Proyek reklamasi terus dipaksakan berjalan, menegaskan salah kaprahnya pengurus negara dalam menerjemahkan visi maritim yang disampaikan Presiden. Ada 47 titik reklamasi yang akan dilakukan di seluruh Indonesia pada masa pemerintahan Jokowi – JK ini, mulai dari reklamasi Teluk Jakarta, reklamasi Teluk Benoa, reklamasi Makassar, reklamasi Teluk Palu, Kendari, Manado, Balikpapan, Kendari. Bahwa proyek reklamasi bukan hanya persoalan daerah atau proyek-proyek lepas daerah. Proyek ini mesti dilihat sebagai sebuah design nasional pembangunan ekonomi yang diperuntukan bagi pelanggengan kekuasaan modal. Dalam riset yang dilakukan oleh WALHI terkait dengan MP3EI menunjukkan bahwa proyek reklamasi Teluk Benoa berelasi dengan Master Plan Percepatan Pembangunan Ekonomi Indonesia, dimana Bali masuk dalam skenario pembangunan ekonomi untuk koridor wisata.

Kisran Makati, Direktur WALHI Sulawesi Tenggara menyatakan “sebagai negara maritim, nelayan harusnya aktor utama agar visi ini dapat terwujud. Sayangnya, kebijakan pembangunan justru semakin menyingkirkan ruang hidup nelayan dan membuat nelayan semakin miskin. Proyek reklamasi adalah pemiskinan struktural pada masyarakat nelayan, khususnya nelayan kecil yang semakin sulit mengakses sumber-sumber kehidupan”.

“Tidak berhenti di situ, proyek reklamasi tidak segan-segan melabrak perundang-undangan atau regulasi, termasuk ketiadaan izin sebagaimana yang terjadi pada reklamasi proyek center point of Indonesia (CPI) di Makassar yang tidak memiliki izin lokasi dan izin pelaksanaan reklamasi sebagaimana yang ditegaskan oleh KKP. Peraturan saja berani dilabrak, apalagi nelayan kecil yang dianggap tidak memiliki kekuatan”, tegas Direktur WALHI Sulawesi Selatan Asmar Exwar

Mal administrasi juga terjadi dalam proyek reklamasi Teluk Palu, baik yang dilakukan oleh pemerintah kota Palu maupun provinsi. Tidak heran jika kemudian proyek reklamasi juga sarat dengan kejahatan korporasi, dengan menyuap aparatus pemerintah untuk mendapatkan izin, Aries Bira, Direktur WALHI Sulawesi Tengah menambahkan.

Theodoron Rontuwene, Direktur WALHI Sulawesi Utara menyatakan adalah fakta yang tidak terbantahkan, bahwa proyek reklamasi yang diklaim sebagai solusi mengatasi persoalan lingkungan hidup di wilayah pesisir, justru menambah rentetan krisis bencana ekologis, banjir besar di Jakarta, banjir bandang di Manado. Pemerintah tidak pernah mau belajar dari kegagalan model pembangunan yang berisiko tinggi bagi lingkungan hidup dan rakyat”.

Pengrusakan fungsi ekologis tidak hanya terjadi di wilayah dimana proyek reklamasi tersebut berjalan, fungsi ekologis, sosial dan budaya juga hilang di kawasan  reklamasinya, pada kawasan yang diambil pasir atau tanahnya untuk bahan urug proyek reklamasi. Artinya dari hulu hingga hilir, proyek reklamasi melahirkan berbagai persoalan serius”, ungkap Puput Tri Dharma Putra, Direktur WALHI Jakarta.

Bukannya membangun langkah-langkah adaptasi dari dampak perubahan iklim, wilayah pesisir Indonesia justru semakin massif dikonversi untuk pembangunan proyek-proyek reklamasi yang semakin meningkatkan kerentanan wilayah ini, selain juga menghilangkan sumber kehidupan masyarakat nelayan yang selama ini menggantungkan hidupnya dari kawasan pesisir. Sementara keselamatan rakyatnya dan nasib lingkungan hidup terus harus bertarung sendiri dengan dampak perubahan iklim dan ancaman investasi yang begitu massif.

Bahwa berbagai proyek reklamasi yang terus dipaksanakan berjalan, bahkan dengan berbagai cara sekalipun. Antara lain pembungkaman suara masyarakat atau aktifis yang secara tegas melawan reklamasi dengan upaya kriminalisasi, tindak kekerasan dan bahkan pelarangan mengekspresikan suara perjuangannya, seperti yang terjadi di Bali. Meskipun demikian, kami akan terus menyuarakan perlawanan terhadap proyek reklamasi Teluk Benoa dan berbagai proyek reklamasi di Indonesia, baik melalui jalur hukum maupun perluasan gerakan menolak reklamasi dan penyelamatan pesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia”, tutup Suriadi Darmoko, Direktur WALHI Bali, dalam penutup siaran pers ini. RED-MB