PLN NO SUAP

 

BURUKNYA kinerja aparatur sipil negara (ASN) dalam jenjang instansi/insitusi birokrasi pemerintahan terutama lembaga plat merah dari badan usaha milik negara (BUMN), yakni Perusahaan Listrik Negara, PLN (Persero) semakin memprihatinkan karena tidak adanya transparansi dan aturan yang jelas, serta munculnya lembaga “preman” berlabel listrik haram atau halal, yakni Sertifikat Laik Operasi (SLO) dalam sistem kebijakan publiknya.

Implikasinya, program inovasi PLN Bersih telah dicap publik hanya macan kertas semata. Artinya, ideal secara konsep, tapi tidak mampu terealisasi secara nyata di lapangan. Padahal, program inovasi ini sesungguhnya untuk membenahi layanan publiknya yang menegaskan bahwa kepuasan pelanggan adalah prioritas utama PLN (Persero).

Bahkan, telah menjadi rahasia publik bahwa lembaga plat merah ini disebut sebagai “sarang” mafia ketenagalistrikan negara, sehingga gagal memberikan pelayanan prima dalam memenuhi kepentingan warga masyarakat dengan layanan cepat, tepat, mudah, murah serta efektif dan efisien.

Akibatnya, PLN (Persero) dicap publik telah mengabaikan kewajiban dan tanggungjawab serta dianggap tidak profesional karena gagal dalam mengimplementasikan kebijakan terkait peraturan perundang-undangan negara, di antaranya UUD’45 terkait pasal 33 ayat 1 dan 2, dan UU No. 30 tentang ketenagalistrikan terkait pasal 29 ayat 1. Simak ulasan berita berjudul Ego Sektoral Kinerja PLN  (Persero) : Sistem Rusak, Listrik Diblokir? (metrobali; 31/8/2015).

Diketahui bahwa PLN Bersih itu di antaranya membuat sistem pelayanan yang transparan dalam meminimalkan pertemuan tatap muka pelanggan dengan pegawai PLN, mengubah sistem pengadaan barang dan jasa melalui e-procement dan melakukan pembelian langsung ke pabrik.

Di samping itu, juga membuat sistem penanganan keluhan pelanggan, layanan pasang baru, tambah daya secara online melalui Contact Center 123, atau melihat informasi pada Official Fans Page PT. PLN (Persero) dan website http://www.pln.co.id, serta twitter @pln_123.

Bahkan, pembayaran tagihan listrik PLN pun telah menerapkan sistem online, drive thru, kantor pos, gerai ATM sejumlah bank, ataupun loket pembayaran tagihan listrik online. Sehingga, pelayanan prima yang dicanangkan dapat terwujud dan terealisasi dengan baik sesuai harapan bersama.

Dalam konteks ini, berarti PLN (Persero) belum sepenuhnya mampu menerapkan kebijakan revolusi mental dari tatanan birokrasi pemerintahan dalam program kenegaraan Nawacita kabinet kerja Presiden Joko Widodo sesuai harapan publik selama ini. Simak ulasan berita berjudul Listrik Pintar, Kinerja PLN Tak Cerdas? (metrobali; 9/8/2015).

Hal ini bahkan dipertegas dengan adanya kritikan pedas dari Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman, Rizal Ramli, yang meminta penerapan sistem token pulsa listrik dikaji lantaran ketersediaan relatif minim dan harga juga lebih mahal karena dipotong biaya administrasi. Diakuinya, token pulsa PLN terasa sangat kejam dan telah dimonopoli oleh provider bayaran yang setengah mafia, sehingga memberatkan rakyat.

Menyikapi kritikan itu, Direktur Utama PT Perusahaan Listrik Negara (Persero), Sofyan Basyir berjanji akan mengkaji penerapan sistem token pulsa untuk pembelian listrik prabayar, karena sifatnya sangat urgent untuk meringankan beban masyarakat.

Seharusnya, aparatur sipil negara (ASN) dalam berbagai jenjang instansi/insitusi birokrasi pemerintahan di tingkat pusat (nasional/provinsi) dan daerah (regional/sektoral) dituntut mampu menunjukan kesadaran dan kepedulian bersama terhadap kepentingan publik, warga masyarakat secara lebih bermartabat, berbudaya dan berkeadaban.

Sehingga, kinerja pengabdian sosialnya tidak dicap publik senantiasa memang secara sengaja melakukan tindakan pembiaran ataupun bahkan melegalkan kebijakan yang dapat merugikan kepentingan publik, hanya demi memuaskan hasrat berkuasa untuk memenuhi segala kebutuhan ataupun keinginan yang bersifat pribadi maupun kelompok/golongan tertentu.

Syukurlah masih ada sebagian pejabat di pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Jusuf Kalla, merasa peduli dan berani terbuka mengungkap fakta apa adanya yang sejatinya memang telah diketahui publik selama ini. Maklum, jika warga masyarakat biasa yang mengeluhkan ataupun mengkritisi acapkali tidak digubris serta ditanggapi secara serius, dan bahkan seringkali dicueki karena dianggap tidak begitu penting dan tidak mungkin akan dapat memengaruhi jabatan dari kekuasaannya.

Listrik Haram vs Halal

Bahkan, kini ternyata tidak hanya produk makanan dan minuman yang telah dikooptasi predikat halal versus haram atas dasar dokrin ajaran syariat sebuah lembaga keagamaan, melainkan juga telah menjalar dalam jenjang instansi/insitusi birokrasi pemerintahan terutama lembaga plat merah dari badan usaha milik negara (BUMN), yakni Perusahaan Listrik Negara, PLN (Persero).

Faktanya, BUMN plat merah, PLN (Persero) ini telah melepas haknya sebagai penyedia ketenagalistrikan negara kepada lembaga lain sebagai kolega/mitra kerjanya, di antaranya instalatir listrik yang khusus menangani sambungan baru terkait pemasangan meteran listrik, kilowatt hour (kWh) meter.

Artinya, instalatir listrik ini hanya sebatas menarik kabel tegangan rendah dari jaringan PLN ke atap rumah pelanggan, warga masyarakat, dan memasang meteran sesuai kebutuhan sebagai wujud penghematan agar terhubung dengan MCB, dan listrik pun sudah tersambung tapi belum siap digunakan (menyala).

Pasalnya, masih ada kolega/mitra kerja PLN lainnya seperti instalatir listrik yang khusus memeriksa sekaligus mengeluarkan Sertifikat Laik Operasi (SLO), yakni lembaga “preman” berupa Komite Nasional Keselamatan Untuk Instalasi Listrik (KONSUIL) ataupun Perkumpulan Perlindungan Instalasi Listrik Nasional (PPILN).

Kinerja lembaga “preman” berlabel SLO ini, seakan lebih sakti dan paling berkuasa sebagai penentu utama agar meteran listrik (KWh meter) pelanggan, warga masyarakat siap pakai (menyala). Makanya, selama ini PLN (Persero) acapkali dicap publik hanya menjual produk (kWh meter) listrik prabayar (pulsa/voucher/elektrik/digital) bodong alias tak siap pakai (menyala), sehingga hak warga masyarakat sebagai pelanggan (konsumen) pun terabaikan secara permanen tanpa ada solusi yang aplikatif.

Bahkan, lebih tragis lagi, instalatir/kontraktor ataupun jasa profesional dalam bidang ketenagalistrikan terkait instalasi listrik rumah yang menjadi hak pelanggan, warga masyarakat baik bersifat murah atau mahal serta tanpa campur tangan PLN (Persero) pun seakan tak berdaya, karena terpaksa harus dikooptasi surat sakti berlabel SLO dari pihak KONSUIL ataupun PPILN dengan biaya/ongkos administrasi yang faktanya sangat jauh lebih tinggi atau terlalu mahal daripada biaya/ongkos pemasangan instalasi listrik rumah itu sendiri.

Implikasinya, pelanggan, warga masyarakat sebagai konsumen acapkali terpaksa terjebak ataupun sengaja dipersulit dengan administrasi yang tak terlalu amat penting, yakni Sertifikat Laik Operasi (SLO), yang terkesan dicap publik sebagai persyarat listrik berstatus haram versus halal tanpa adanya garansi atas jaminan ansuransi kebakaran.

Dalam realitas ini berarti kinerja lembaga “preman” berlabel SLO tersebut hampir mirip seperti tukang jasa keamanan dari lembaga sosial berbasis preman/pemaksaan kehendak ataupun juru parkir atau jukir yang acapkali melakukan pungutan liar (pungli) dengan memanfaatkan lahan publik atau orang lain demi kepentingan pribadi maupun kelompok/golongan tertentu.

Jika dikaji secara profesionalisme berdasarkan pengalaman dan kecakapan sejatinya kinerja instalatir pemasangan meteran listrik (KWh meter) PLN (Persero) maupun instalatir/kontraktor atau jasa profesional kelistrikan terkait instalasi listrik rumah pelanggan sebagai konsumen sudah cukup menjamin keamanan dan kenyamanan untuk dapat dinyatakan siap pakai (menyala) tanpa harus dikooptasi oleh pihak KONSUIL ataupun PPILN dengan surat saktinya berupa Sertifikat Laik Operasi (SLO).

Lucunya, saat dikonfirmasi, salah seorang pejabat tinggi di bidang kehumasan dalam institusi/instansi lembaga plat merah, BUMN, yakni PLN (Persero) Bali, yang identitasnya disimpan redaksi, justru berkilah dan bahkan menganalogikan SLO seperti surat izin mengemudi (SIM), yang diartikan kalau mau beli sepeda motor dituntut harus punya SIM. Padahal SIM itu adalah identitas pribadi bukan melekat pada sepeda motor.

Logikanya selama ini setiap orang saat membeli sepeda motor tidak pernah ditanyakan soal kepemilikan SIM, bahkan sepeda motor tersebut selalu siap pakai (mesin hidup) dan layak jalan dengan segala kelengkapan surat-suratnya, baik STNK maupun BPKB. Artinya, konsumen atau pembeli tidak dipersulit bahkan dipermudah dengan berbagai cara terbaik untuk dapat memiliki sepeda motor secara murah dan mudah.

Semestinya, kelayakan seperti SIM itu dalam kinerja PLN (Persero) justru harus melekat pada kecakapan atau keahlian dari petugas instalatirnya, bukan pada produk atau peralatan listriknya, ataupun meteran listrik (kWh) meter. Sehingga, tidak harus memaksakan kehendak kebijakan atas relasi kekuasaan hingga merugikan kepentingan pelanggan, warga masyarakat sebagai konsumen.

Becermin dari fenomena tersebut, sepertinya layanan PLN (Persero) di masa lalu masih lebih baik daripada sekarang. Di mana, dulu pelanggan, warga masyarakat sebagai konsumen selalu mendapatkan pelayanan terbaik. Artinya, pelanggan sekali bayar sudah menerima instalasi listrik PLN siap pakai (menyala) secara cepat, mudah dan murah, serta lengkap dengan jaminan instalasi listrik rumah yang terpasang meski relatif terbatas, tapi sangat cukup memadai.

Dalam kata lain, kinerja BUMN plat merah, PLN (Persero) saat ini dituntut seharusnya semakin cerdas dan profesional dengan kualitas layanan prima yang cepat, tepat, mudah, murah, efektif dan efisien secara bermartabat, berbudaya dan berkeadaban. Sehingga, pelayanan publik terkait ketenagalistrikan tidak semakin terbaikan, dan dapat terlaksana sesuai harapan publik, demi upaya peningkatan kepercayaan serta tingkat kepuasan pelanggan, warga masyarakat sebagai konsumen.WB-MB