Lauddin Marsuni

Jakarta (Metrobali.com)-

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 dan 2 Tahun 2014 yang baru saja dikeluarkan dan ditetapkan oleh Presiden RI, apabila nantinya tidak disetujui dan ditolak DPR RI maka Perppu tersebut tidak memiliki kekuatan hukum.

“Perppu itu harus diajukan ke DPR untuk dibahas bersama dan mendapatkan persetujuan DPR,” kata Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Andi Djemma Sulawesi Selatan Lauddin Marsuni saat dihubungi Antara dari Jakarta, Jumat (3/10).

Lauddin yang juga Tenaga Ahli DPRD Provinsi Sulawesi Selatan itu terus mengatakan, apabila nanti Perppu itu tidak disetujui dan ditolak DPR maka kekuatan hukum mengikat tidak ada sehingga UU Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) tetap berlaku.

Bisa dibayangkan bila hal itu terjadi maka akibatnya kepastian hukum tidak tercipta, kepercayaan warga negara semakin merosot dan kinerja pemerintah pun tidak bisa maksimal.

Pria yang juga sebagai Direktur Eksekutif Pusat Kajian Kebijakan Publik itu juga mengatakan saat ini Lembaga Komisi Pemilihan Umum (KPU) semakin tidak berdaya untuk memperbaiki kualitas pelaksanaan Pemilukada baik melalui pemilihan langsung maupun melalui DPRD.

“Saya tidak yakin Partai Demokrat bisa mengawal dan mengamankan Perppu Nomor 1 dan 2 Tahun 2014 di DPR,” ujar pria yang juga sebagai Direktur Lauddin Institut di Palopo Sulawesi Selatan.

Dikatakannya, apabila Partai Demokrat bersama partai pendukung Pemilukada langsung bisa menyakinkan koalisi merah putih (KMP), maka hasil akhir bisa dipastikan Perppu Nomor 1 dan 2 akan berjalan sesuai yang dimaksud.

Namun apabila hal itu tidak terjadi dan ditolak DPR, maka keputusan Sosilo Bambang Yudhoyono (SBY) menetapkan Perppu hanya menghabiskan energi, waktu dan anggaran keuangan negara.

Lanjutnya, Perppu Nomor 1 dan 2 Tahun 2014 yang ditetapkan oleh Presiden SBY dari segi syarat formal terpenuhi, sesuai ketentuan Pasal 22 UUD 45, akan tetapi norma hukum dalam pasal tersebut dirangkai dengan kalimat dalam ihkwan kegentingan negara yang memaksa, anak kalimat Pasal 22 UUD 45 bersifat persyaratan materil.

Pertanyaan dari hal tersebut adakah syarat itu terpenuhi saat ini di Indonesia, dan menurut dia tidak bisa memahami, tidak mengerti atau tidak memaknai bahwa saat ini Negara Indonesia dalam keadaan genting, keadaan memaksa atau keadaan mendesak. AN-MB