Oleh : I Gde Sudibya

PT KAI bakal mendatangkan kereta buatan China untuk dioperasikan di Bali. Direktur Utama PT KAI Didiek Hartantyo menjelaskan bahwa kereta yang mampu beroperasi tanpa rel alias Autonomous Rail Rapid Transit (ART) bakal menghubungkan Bandara Internasional Ngurah Rai menuju kawasan Sanur.

 

“Dalam rencana urban transport di Bali di mana sesuai dengan rencana induk perkeretaapian nasional, kemudian rencana induk perkeretaapian di daerah Bali dan masuk dalam RPJMN 2020-2024, maka akan dibangun kereta yang akan menghubungkan Bandara Ngurah Rai ke arah Sanur,” kata Didiek di sela rapat bersama Komisi X DPR RI, Selasa (7/7/20) lalu.(dikutif dari CNBC Indonesia).

Semestinya jangan terburu buru membuat fasilitas transportasi besar di Bali. Kini Bali dan dunia sedang menghadapi resesi ekonomi atas dampak pandemi corona. Trobosan kebijakan pemerintah pusat dan daerah yang perlu perencanaan yang lebih matang adalah transportasi antardaerah kabupaten dan kota di Bali.
Yang sangat mendesak bagi Denpasar dan juga Mangupura yakni tersedianya sistem transportasi umum yang layak, harga jasa terjangkau, kontinyu. Karena salah satu indikator dari kota yang nyaman dan layak huni, tersedianya sistem transportasi yang bersangkutan, dan dapat membuat dan kemudian merasakan  bahwa warga kota merasa menjadi bagian dari kota yang bersangkutan. Ada sisi nilai budaya yang dikontribusi untuk warga kota dari ketersediaan sistem transportasi yang bersangkutan Image dan reality image ( meminjam istilah  Prof. Philips Kotler, pakar marketing dunia ) dari sebuah kota, akan sangat ditentukan oleh tersedianya sistem transportasi yang baik.
Ali Sadikin yang lebih populer dipanggil Bang Ali, Gubernur DKI Jakarta, akhir tahun 60’an dan awal tahun 70’an sampai hari ini dikenang oleh warga Jakarta dan bahkan nyaris kepemimpinannya melegenda, karena kesuksesannya membangun sistem transportasi publik yang handal dan nyaman buat warganya.
Ironi dan kemudian tragisnya, isu transportasi publik tidak pernah menjadi fokus utama para pengambil kebijakan di Bali, dan kesadaran ini juga belum muncul di masyarakat kita. Akibatnya komponen biaya transportasi bagi setiap rumah tangga di Bali menjadi tinggi, dan Bali menjadi ” pasar utama ” penjualan sepeda motor, dan berakibat angka polusi akibat emisi Co.2 terus meningkat pesat. Dalam realitas seperti ini, dan sejumlah realitas lainnya apakah masih relevan kita mewacanakan Tri Hita Karana? Wacana pembangunan harus dimulai dari bahasan Tri Hita Karana bukan Rapat politik
Jangan lagi dilakukan politisasi terlalu jauh terhadap Tri Hita Karana.
Kalau disimak lahirnya istilah dan kemudian tuntunan etik ini, merupakan respons terhadap kegalauan seorang guru di Badung ( Denpasar dan Badung sekarang ), I Gst. Kt Kaler terhadap realitas politik di Badung yang suhu politiknya panas akibat aksi sepihak kelompok tertentu, yang nyaris memecah belah masyarakat.

 Dalam ceramahnya, guru inovatif dan teladan ini, pergi ke desa-desa, (mungkin dengan inisiatif sendiri ), untuk menenangkan rakyat dan tidak pecah. Salah satu ceramahnya, yang diceritakan kembali oleh putranya pada sebuah diskusi di Bali Post di awal tahun 90’an, merespons catatan Prof.Bagus tentang kiprah beliau, I Gst. Kt.Kaler dalam sebuah ceramahya di sebuah desa di Badung, dengan mencontohkan seorang pedagang es mesti melayani pembelinya walaupun berbeda pandangan politik dengannya. Contoh kongkrit dari THK untuk menjawab tantangan zamannya.

Sejumlah catatan kritis untuk rencana proyek kereta api diatas sebagai berikut.
Pertama, bahwa rencana proyek di atas berdasarkan paragdima pariwisata sebelum pandemi Covid-19, yang tidak lagi cocok dengan paradigma baru pariwisata pasca pandemi. Paragdima baru pariwisata pasca pandemi diperkirakan berciri berbasis kesehatan, keterbukaan informasi kesehatan yang kredibel antar negara, fenomena ” gelembung ” pariwisata, pariwisata  yang bersifat sementara, berbasis G to G. Diperkirakan untuk Bali/Indonesia, kesepakatan ” gelembung ” wisata dengan Australia, setelah curve pandemi melandai di kedua negara, kasus positif baru minimal dan otoritas ke dua negara membuka kembali bandaranya.
Kedua, diperkirakan 1 – 2 tahun ke depan, jumlah wisatawan masuk Bali belum kembali normal, karena alasan pandemi dan resesi ekonomi yang terjadi di hampir seluruh negara pemasok tamu  pariwisata Bali.
Ketiga,  bahwa di tengah krisis keuangan pemerintah yang begitu akut akibat pandemi, defisit APBN.sekitar 6,3 % dari PDB, seluruhnya dibelanjai dengan hutang, semestinya prioritas proyek dilakukan lebih tajam, untuk proyek yang lebih mendesak.
Keempat, pandemi Covid-19, semestinya menjadi momentum untuk menata ulang kembali pariwisata Bali berbasis kebudayaan, momentum koreksi kebijakan yang alpa di masa lalu, yang berakibat sangat serius. Rusaknya lingkungan alam, tergerusnya lahan pertanian yang nyaris tanpa kendali, biaya sosial yang terlalu besar. Ekonomisme dan komersialisme kehidupan, retaknya hubungan sosial dan aleniasi/keterasingan budaya sebagian masyarakat kepada ” Ibu ” Kebudayaannya.
Dasar pemikiran penulis bahwa menata ulang strategi pariwisata Bali, sebut saja meniru Bhutan: membatasi jumlah wisatawan, mematok harga lebih tinggi untuk jasa wisata, dengan pertimbangan: penyelamatan alam, pengurangan terhadap tekanan ruang dan menyediakan waktu dan kesempatan bagi krama Bali untuk melakukan adaptasi.
Sistem nilai yang melandasi kebijakan pemerintah Bhutan, sangat dikenal dalam kearifan budaya Bali. Sistem nilai yang mengalami kemerosotan dan memudar, yang ironinya  semakin sering diwacanakan tetapi minim/tuna tindakan.
Contohnya, sistem nilai: Tri Hita Karana, Paras-paros Sarpanaya, konsepsi Ngayah dalam melakoni kehidupan.
Bhutan tercatat sebagai sebuah negeri dengan kebahagiaan tertinggi warganya – Gross National Happieness – bersama-sama dengan negara: Denmark, Swedia dan Swiss.
Tentang Penulis
Gde Sudibya, ekonom, pengamat: ekonomi dan kecendrungan masa depan. Penulis buku: Hindu Menjawab Dinamika Zaman, Budaya Bali ( Bunga Rampai Pemikiran ) dan penulis epilog dalam buku: Baliku Tersayang, Baliku Malang, Potret Otokritik Pembangan Bali Satu Dasa Warsa ( 90’an ).