Denpasar, (Metrobali.com)

Apakah Wayan Koster selama kepemimpinan 5 tahun sudah berhasil membangun Bali? Atau sebaliknya, pembangunan dalam arti luas seperti Kesejahteraan Masyarakat, Pendidikan, Pembasmian Kemiskinan, Penciptaan lapangan dan Kesempatan Kerja Produktif Terutama di Perdesaan tidak berjalan atau boleh dibilang gagagal?

Pengamat kebijakan publik Jro Gde Sudibya, saat diminta pendapatnya, Minggu 4 Juni 2023, mengatakan “Keberhasilannya” ada. Yaitu membangun puluhan “peradaban” fisik, bagian dari proyek infrastruktur yang menjadi sorotan dunia internasional.

Dikatakan, dalam konteks Bali, pembangunan “peradaban” fisik ini, dari kajian studi pembangunan mutakhir, yang bercirikan: ramah lingkungan, berkeadilan untuk warga lokal, ramah budaya, merupakan bentuk kebijakan pembangunan yang “out of date” dan bahkan salah.

“Peradaban fisik, dilepaskan dengan makna otentik peradaban Bali yang merupakan simetri, “bauran” nilai material – spiritual, dan nilai spiritual adalah inti, adalah cara berpikir yang keliru, misleading,” katanya.

Jro Gde Sudibya mengajak, silahkan para pakar cultural studies melakukan studi tentang peradaban Bali secara lebih serius. Jangan-jangan penonjolan (berlebih) terhadap peradaban fisik, ketertundukan Gubernur Wayan Koster kepada cara pikir kapitalisme sekuler, yang bercirikan: kekuatan modal, dengan motif keuntungan, abai pada lingkungan, keadilan masyarakat lokal, dan menafikan sistem keyakinan keniskalaan krama Bali?

Menurut sejumlah Netizen, model kepemimpinan yang a historis, tidak menjamin keberlanjutan (unsustainability) dengan kepemimpinan sebelumnya.

“Pura pura kita di Bali belakangan ini banyak dibangun oleh dana bansos, sifatnya politik. Iya bener, setuju tiang. Ngaben itu momen bayar utang. Nanti malah karma kita tak kunjung terlunasi,” beber netizen.

Masih menurut netizen bahwa bansos yang diterima krama membuat kita aluh, meningalkan sebagian tanggungjawab kita, bahkan sampai ngaben pun ada bansosnya. Lalu tempat bayar utang keleluhur kita sudah abaikan.

Menurut Jro Gde Sudibya, dana bansos dan dana-dana lainnya yang serupa merupakan alat politik bagi partai dan atau para politisi untuk meningkatkan elektabilitas, dengan menggunakan sebagian besar dana negara, dan diciptakan persepsi sebagai milik pribadi, sebagai bentuk proyek “belas kasihan” -charity program- buat warga. Padahal pada dasarnya menurut konstitusi, dana negara yang merupakan hak warga negara untuk mendapatkannya.

“Bansos ini sudah memasuki wilayah: sensitif, dalam membawa implikasi luas terhadap sistem keyakinan dan dampaknya dalam jangka panjang bagi masyarakat Bali,” katanya.

Menurutnya, bansos di permukaan banyak memberi kemudahan , dalam pembangunan pura dan bahkan upakara pengabenan.
Tetapi ada sejumlah prinsip kehidupan yang merupakan bagian keyakinan ditinggalkan.

Dicontohkan, pembangunan Pura, semestinya berbasis kemampuan, berangkat dari kejujuran dan tingkat kualitas rokhani pengemponnya, sehingga tercipta, terbangun relasi rasa rokhani dengan pura berkelanjutan, berkepanjangan, akibat jerih payah fisik, pikiran dan totalitas yasa kerthi.

“Fisik bangunan Pura dan penyelenggaran upakaranya, pancaran dari kemampuan sosial ekonomi dan kualitas “yasa kerthi” pengemponnya. Gambaran dari kejujuran personal dan sosial yang merupakan salah satu kekuatan dari kebudayaan Bali yang dijiwai agama Hindu.

Contoh lainnya tentang upakara Pitra Jajna, Pengabenan. Momentum penting, terhormat dan mulya bagi krama Bali untuk melunasi hutang karmanya (Pitra Rnem), yang diyakini sebagai jalan menuju ke kerayuan bagi krama Bali.
Dengan “diambil alih” oleh bansos,maka “moment of truth” untuk berlelah-lelah, susah payah, bila perlu sampai berutang, totalitas yasa kerthi, yang merupakan penggambaran kedekatan batin krama Bali, menjadi terputus dan bahkan hilang, yang akan berdampak pada kualitas “Bayu, Sabda, Idep”, krama Bali.

Dikatakan, bansos model begini pantas menjadi perenungan, untuk kebijakan publik yang lebih berkualitas. Dana-dana ini sebaiknya dialokasikan untuk: peningkatan kualitas pendidikan, penanggulangan kemiskinan, penciptaan kesempatan kerja produktif terutama di perdesaan dan program penyelamatan lingkungan. (Adi Putra)