Wakil Ketua I DPRD Buleleng, Ketut Susila Umbara, anggota Komisi III serta Tim Ahli DPRD Buleleng menerima kehadiran Warga  di ruang Komisi III DPRD Buleleng, Selasa (11/6)

Buleleng, (Metrobali.com)-

Sungguh miris pemberlakuan kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang capaiannya 600 persen di Tahun 2019. Tak pelak dengan adanya hal ini, masyarakat selaku wajib pajak menjadi mengeluh karena dinilai sangat ekstrem kenaikannya. Diera sekarang ini, masyarakat hanya bisa manut-manut saja dengan kenaikan berbagai barang dan bahan pokok makanan. Kendatipun kondisi perekonomian rumah tangganya kembang kempis. Malahan terdapat sebagian masyarakat daya belinya sangat rendah. Sikap diam masyarakat ini berbanding lurus dengan keinginan Pemkab Buleleng yang terus menggenjot kenaikan Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Salah satu wajib pajak dari sekian wajib pajak yang mengeluhkan kenaikan PBB 600 persen ini, dengan terpaksa mendatangi sekretariat DPRD Buleleng. Dia itu adalah Ketut Supandra warga Desa Anturan, Kecamatan/Kabupaten Buleleng. Kehadirannya di gedung terhormat pada Selasa (11/6), didampingi oleh Kepala Desanya Made Budi Arsana dan diterima Wakil Ketua I DPRD Buleleng, Ketut Susila Umbara, anggota Komisi III serta Tim Ahli DPRD Buleleng, bertempat di ruang Komisi III DPRD Buleleng.”Kenaikan tagihan pajak Bumi dan Bangunan untuk bidang tanah yang capaiannya 600 persen ini, berdasarkan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) di Kabupaten Buleleng” ujar Supandra.
Menurutnya kenaikan PBB sungguh  menakjubkan dan membuat para wajib pajak mengeluh.”Pada tahun-tahun sebelumnya, saya membayar PBB sebesar Rp 300 ribu dengan luas lahan mencapai 54 are. Namun di tahun ini mencapai Rp 1,3 juta lebih” ungkapnya.”Sungguh gila kenaikannya ini. Saya sebagai warga Indonesia taat membayar pajak. Tapi dengan adanya kenaikan ini saya keberatan. Apalagi kenaikan PBB sepengetahuan saya, tidak pernah disosialisasikan kepada masyarakat,” terang Supandra
Iapun mengungkapkan lokasi tanahnya berada jauh dari pinggir jalan dan tidak produktif. “Kenaikan PBB ini tidak merata. Karena beberapa tetangganya hanya mengalami kenaikan sebesar 200 persen” ucapnya.”Saya berharap agar pajak yang dipungut tidak berdasarkan NJOP, melainkan berdasarkan hasil. Kalau hasilnya kecil, pajaknya harus kecil dong. Tidak boleh seenaknya begitu, harusnya pemerintah mengkaji dulu baru memutuskan,” harap Supandra.
Sementara itu, Kepala Desa Anturan, Made Budi Arsana mengaku merasa keberatan dengan kenaikan NJOP yang begitu signifikan. Menurutnya, pemerintah daerah hendaknya mengikut sertakan pemerintah desa terkait dengan harga tanah di masing-masing desa,”Tiidak seperti saat ini. Akibatnya masyarakat yang dirugikan,” ucap Budi Arsana dengan nada kesal.
Lantas seperti apa sikap DPRD Buleleng.
Wakil Ketua I DPRD Buleleng, Ketut Susila Umbara sangat apresiasi keluhan yang disampaikannya. Dan diakui pula bahwa sudah banyak menerima keluhan terkait dengan melonjaknya tagihan pajak yang dibayar masyarakat. “Kami akan segera memanggil pihak terkait untuk mencari tahu dasar perhitungan yang dipakai” ujarnya.”Dengan adanya Perda yang baru, semestinya menguntungkan masyarakat. Kami akan panggil pihak-pihak terkait,” ucap tegas Susila Umbara.
Menurut anggota Komisi III DPRD Buleleng, Putu Tirtha Adnyana dalam penghitungan NJOP melibatkan pihak ketiga, tetapi keputusannya tetap pada esekutif.”Keluhan warga ini, kami berharap BKD menunda sementara pungutan pajak, agar tidak terjadi gejolak di masyarakat” ujsrnya menegaskan
Iapun mengungkapkan pembebanan pajak ada variabelnya. Jika untuk industri dan pariwisata bisa saja naik. Namun jika untuk pertanian harus dipertimbangkan dengan hasil yang didapatkan.”Selama ini kelemahan kami di DPRD, tidak pernah diberikan produk hukum Perbupnya. Itu masalahnya,” tandas Tirta Adnyana.

Pewarta : Gus Sadarsana

Editor : Hana Sutiawati