Foto: Kelas Budaya  “Tatanan Rohani Bali” serangkaian Pameran “Situs dan Ritus Tatanan Peradaban Bali Tua” digelar di Denpasar Art Space (DAS) Jl. Surapati No. 7, Denpasar yang berlangsung dari tanggal 25 April hingga 9 Mei 2019.

Denpasar (Metrobali.com)-

Umat Hindu di Bali perlu memahami konsep tiga tatanan wilayah rohani yang menjadi dasar pemujaan di Bali. Hal ini juga penting agar umat Hindu tidak seenaknya membongkar pura lama yang merupakan bagian dari situs dan ritus tatanan peradaban Bali tua maupun meniadakan ritus yang seharusnya dilakukan.

Demikian terungkap dalam Kelas Budaya bertajuk “Tatanan Rohani Bali” yang digelar, Rabu (1/5/2019) serangkaian Pameran “Situs dan Ritus Tatanan Peradaban Bali Tua” yang digelar di Denpasar Art Space (DAS) Jl. Surapati No. 7, Denpasar oleh Yayasan Bakti Pertiwi Jati (BPJ).

Tampil sebagai narasumber yang memberikan materi dengan kemasan menarik dan interaktif serta kekinian dan mudah dipahami yakni Mangku Sara Yoga Semadi, Guru Rai Dharmadwipa, Kadek Wahyudita, Nyoman “Sengap” Ardita, Guru Nyoman Sudarsana dan Guru Ngurah Wisnawa. Tampak hadir pula Pembina Yayasan Bakti Pertiwi Jati (BPJ), Komang Gde Subudi.

Dalam paparannya, Mangku Sara Yoga Semadi mengatakan pura tidak berdiri sendiri tapi punya sistem sehingga keberadaan pura dan pemujaan di Bali juga terkait etika.

“Pura secara tattwa sama tapi secara etikanya berbeda. Tatacara upakara di suatu pura berbeda bukan karena tattwanya berbeda tapi karena etika yang berbeda. Ini yang belum dipahami umat,” katanya.

Mangku Sara Yoga Semadi menganalogikan kaitan pura dengan etika ini seperti pola komunikasi dalam suatu keluarga. Misalnya dalam hubungan komunikasi antara orang tua dan anak serta orang tua dengan orang tua mereka (kakek nenek dari sang anak) maupun dengan sanak keluarga lainnya (saudara dari orang tua).

“Kakek nenek memanggil dan berkomunikasi dengan orang tua kita beda. Cara kita memanggil dan berkomunikasi dengan orang tua kita juga beda. Tapi  apakah sesungguhnya apakah orang tua kita beda? Tentu mereka akan dan tetap sama hanya dari sudut pandang etika komunikasinya yang berbeda. Ini sama dengan konsep pura, tattwanya sama tapi etikanya yang berbeda,” papar Mangku Sara Yoga Semadi.

Umat Harus “Ngeh” Apa Yang Dipuja

Kalau umat Hindu di Bali memahami konsep tersebut maka hal itu akan membuat kita berpikir ulang melakukan perubahan terhadap pura. “Sehingga harapan kita pura yang ada sekarang dengan bentuk ornamennya yang merupakan sumber sastra, lalu kode identitas dari konsep seperti kekarangan, pepalihan, bentuk palinggih dan lainnya tetapi bisa lestari,” ujar Mangku Sara Yoga Semadi.

Saat konsep yang ada tidak dipahami maka umat akan hancurkan pura lama, lalu buat pura baru maka identitas yang ada tidak akan dipahami. Untuk itulah Kelas Budaya ini tidak bicara pura tapi konsep pura yang ada di Bali.

Kelas Budaya ini juga memberikan pemahaman yang komprehensif yang menjadi pegangan di tengah kurangnya pemahaman akan tiga wilayah rohani Bali. Akibatnya begitu gampang terjadi perubahan tatanan pelinggih-pelinggih di pura, mengganti nama pura, atau meniadakan ritus yang seharusnya dilakukan.

“Kelas Budaya Tatanan Rohani Bali ini tujuannya agat umat ngeh apa yang dipuja,” katanya lantas menambahkan pameran ini juga bentuk dukungan nyata terhadap progam pemerintah dan visi Nangun Sat Kerthi Loka Bali dari Gubernur Bali I Wayan Koster.

Ini Tiga Tatanan Rohani Bali

Ia menerangkan Surya Candra, Lintang Tranggana (Matahari, Bulan, dan Bintang) adalah konsep tiga wilayah rohani dari tiga gunung yang dipuja di Bali. yaitu Batukaru sebagai pemujaan Surya (Maha Awidya), Gunung Agung sebagai pemujaan Candra (Maha Agung), dan Gunung Batur sebagai pemujaan Lintang Tranggana (Maha Rata).

Tiga wilayah rohani  ini menjadi landasan uger- uger, sepat siki siku dan patitis yang disebut Trigana yaitu Agama, Adigama dan Siwagama.
Tiga gunung tersebut sejatinya merupakan spirit pemujaan masyarakat Bali.

“Kita selama ini pahami pura hanya sebagai tempat sembahyang padahal fungsinya lebih dari itu salah satunya sebagai identitas diri kita,” katanya.

Marak Pembongkaran Situs Pura Kuno Berdalih Perbaikan

Narasumber lainnya, Kadek Wahyudita menambahkan, karena kurangnya pemahaman akan tiga wilayah rohani Bali, maka saat ini begitu gampang terjadi perubahan tatanan pelinggih-pelinggih di pura, mengganti nama pura, atau meniadakan ritus yang seharusnya dilakukan.

Akibatnya banyak terjadi ketidakselaran antara nama pura, isi di dalamnya, dan cara pemujaannya. “Jika dasar spirit pemujaan tersebut dipahami dengan baik, maka tidak akan terjadi pembongkaran situs pura kuno dengan dalih perbaikan,” katanya.

Sebaliknya, masyarakat akan melakukan pemugaran dengan mempertahankan keaslian bentuk dan bahan bangunannya atau restorasi. Proses pemugaran yang demikian sebetulnya sudah dikenal di Bali dengan istilah “ngayum” yang berarti memperbaiki yang rusak saja.

Sementara itu pameran “Situs dan Ritus Tatanan Peradaban Bali Tua” ini berlangsung dari tanggal 25 April hingga 9 Mei 2019 ini terbuka untuk masyarakat umum. Pameran ini menampilkan lebih dari 130 foto, lukisan, dan drawing tentang situs dan ritus. Ada pula pemutaran video salah satu ritus kuno yang masih lestari di Bali. (wid)