Setelah sempat mengendap selama bertahun-tahun, wacana otonomi khusus Bali kembali muncul di permukaan pada pertengahan 2012 lalu. Motornya kali ini bukan lagi institusi yang ada di daerah, tapi para wakil Bali di pusat. Selain I Wayan Sudirta yang merupakan anggota DPD, ada pula I Nyoman Dhamantra, anggota DPR-RI yang merupakan wakil Bali dari PDI Perjuangan. Sebuah drama usulan pasang-surut dan bersifat dualistis dalam dinamika politik Bali 

===============================

Usulan Pasang-Surut
Setelah sempat surut, beberapa waktu terahir, anggota DPD RI dari Bali, Wayan Sudirta sudah mulai aktif bergerilya mencari masukan dan dukungan dari berbagai kalangan di Bali. Dengan ujung tombak Wirata Dwikora dan KMPB-nya, Sudirta telah beberapa kali menyampaikan ide-idenya melalui media dan menjaring aspirasi di beberapa forum yang diselenggarakan di Bali. Sayangnya, Sudirta tidak mengembangkan naskah akademik dari Pansus DPRD Bali sebelumnya dan seperti memulai hampir dari nol lagi.

“Prinsipnya, apa yang dikerjakan oleh tim DPRD Bali terdahulu kita hargai dan jadi salah satu bahan. Konsep yang dikerjakan tim kerja Otsus DPD RI diambil dari narasumber yang ahli dalam berbagai bidang,” ungkap Sudirta. Ia mengharapkan naskah akademik yang baru akan selesai di akhir tahun 2013.

“Ini masih di kajian akademis oleh tim ahli, belum sampai ke naskah akademik dan RUU-nya. Substansinya sudah ketemu beberapa, yakni bahwa otsus Bali mesti melindungi tata ruang Bali, budaya Bali, dan manusia Bali. Kalau nanti akan ada tambahan substansi, itu pasti setelah tim ahli bekerja. Untuk sementara, intinya di situ,” papar Sudirta.

Sudirta mengaku telah memperoleh dukungan dari seluruh anggota DPD. “Di DPD RI, ke-33 provinsi  melalui anggotanya di Komite 1 memberikan dukungan, tanpa kecuali,” ujar Sudirta. Menurutnya, kerja sama yang dilakukan selama delapan tahun ia menjabat merupakan modal yang sangat penting.

Sayang sekali, pengambil keputusan di pusat sebenarnya bukanlah DPD, melainkan DPR-RI. Di sinilah sebenarnya peran para anggota DPR-RI dari Bali sangat diperlukan sebagai motor otsus Bali di DPR-RI. Untuk itu, pada awal tahun 2012, Nyoman Dhamantra, melalu Dhamantra Centre meluncurkan gerakan Forum Perjuangan Hak Bali (FPHB). 

FPHB mencoba merevisi usulan otonomi khusus,  dengan alternatif usulan, yakni Revisi UU No. 64/1958 tentang Pembentukan Provinsi Bali, dimana muatan otonomi khusus seperti pemerintah tersentralisasi di provinsi dan perimbangan dana pariwisata bagi pelestarian budaya. FPHB bahkan sudah membuat jadwal untuk memasukkan naskah akademik draft perubahan UU Provinsi Bali, yang sudah saatnya diubah karena disusun pada tahun 1958 dan masih menyatu dengan pendirian NTB dan NTT.

FPHB sendiri sudah mulai menyosialisasikan Revisi UU Provinsi Bali dalam berbagai forum rakyat di segenap kabupaten sampai  Baleg (Badan Legislatif) DPR-RI. Usulan FPHB berakar pada “desentralisasi asimetris”, yakni implementasi otonomi yang bhineka. Dalam arti, hubungan pemerintah pusat dengan daerah tidak tunggal tetapi beragam dan tergantung kondisi daerah.

“Format dasar dari otonom inilah yang harus diubah, agar tidak setiap daerah berbondong-bondong menuntut sesuatu yang lebih dari daerah lain,” kata Nyoman Dhamantra, dalam setiap kesempatan. Sama seperti perjiuangan Otsus, FMHB juga menargetkan agar rancangan legislasi sudah bisa dibahas di DPR-RI pada tahun 2014 nanti.

Muara dari FPHB adalah tata kelola pemerintah di Bali berbasis lokal, yang terbukan dan melayani rakyat. Sudah tentu adanya Dana Bagi Hasil (DBH) dari pendapatan sektor pariwisata dalam menunjang pelestarian adat, budaya dan lingkungan Bali. Mengingat, kontribusi Devisa dari pariwisata Bali, yang diperkirakan mencapai Rp 45 Triliun, hanya sebagian kecil yang disetor ke pemerintah daerah dalam bentuk pungutan Visa On Arrival.

Bersifat Dualistis

Sejak 1999 hingga sekarang, perjuangan mewujudkan otonomi asimetris sering dianggap sebagai manuver politisi belaka. Sejak 1999, menunjukkan bahwa tingkat pemahaman terhadap wacana otonomi asimetris Bali sangat rendah. Namun pada umumnya, publik merasa senang terhadap isu wacana otonomi asimetris Bali dalam artian berharap dengan diberikannya otonomi khusus untuk Bali, Bali dapat menjadi lebih baik dan bisa mengurus provinsi Bali sesuai dengan kebutuhannya.

Kini di tahun 2013 ini, kesan politis kembali mengemuka. Apalagi, menjelang Pilkada Gubernur Bali atau pun pemilu legislatif untuk DPD, DPR-RI dan Pilpres yang akan digelar di tahun 2014. Tidak heran jika seolah-olah ada dualisme pembahasan desentralisasi asimetris, antara versi Otsus vs versi Revisi. Sesungguhnya tidak demikian, usulan revisi lahir dari ketidakpastian Otsus.

Mengingat, setiap individu yang terlibat mempunyai cara berjuangnya berbeda, apalagi latar belakang partai yang berbeda. Perlu ditambahkan, kalau para elit akan saling dukung, serta konsepnya sudah jelas dan sama-sama berjuang untuk Bali, mungkin lebih mudah. Apalagi mendapat dukungan massa rakyat nantinya.

Untuk itu perlu dilakukan survei atau jejak pendapat untuk menangkap aspirasi warga Bali. Suatu hal yang harus dilakukan, agar tidak terjebak pada tahapan kajian, yang sangat elitis. Hasil jejak pendapat, nantinya harus diikuti semacam “Konvensi Rakyat Bali”, sehingga usulan tersebut merupakan kehendak rakyat, bukan elit semata.

Ngurah Karyadi

Pengamat Sosial dan Politik

Tinggal di Kaki Langit