DEFISIT

Jakarta (Metrobali.com)-

Terpilihnya Joko Widodo menjadi presiden RI ketujuh tidak terlepas dari partisipasi politik rakyat pada Pemilu 2014 dan partisipasi itu harus tetap terjaga dalam pembangunan politik agar demokrasi tidak mengalami defisit.

Partisipasi politik tidak melulu terkait data statistik kuantitatif namun dari peningkatan kualitas partisipasi masyarakat dalam mengawal dan mendukung terpilihnya pasangan Joko Widodo dan Jusuf Kalla menjadi Presiden dan Wakil Presiden 2014-2019.

Partisipasi masyarakat terhadap pasangan Jokowi-JK itu yaitu terbentuknya relawan untuk melakukan kerja-kerja politik pemenangan pasangan tersebut seperti Relawan Front Jokowi Presiden (Bara JP), Seknas Jokowi, Pro-Jokowi (Projo), Pos Perjuangan Rakyat (Pospera), Relawan Jaringan Nasional Aliansi Mahasiswa dan Pemuda (Aswaja), Gerakan Rakyat Freedom, Aliansi Rakyat Merdeka, (ARM), Koalisi Pemuda dan Relawan untuk Jokowi (Kawan Jokowi), dan Komunitas Pengusaha untuk Jokowi-Kalla.

Peran relawan itu mengisi kekurangan peran kader partai politik dalam melakukan proses komunikasi dan sosialisasi politik kepada masyarakat yang selama sering mengalami kebuntuan.

Namun secara kuantitas partisipasi politik masyarakat di Pilpres 2014 mengalami penurunan dibandingkan Pilpres 2009.

Data Komisi Pemilihan Umum menyebutkan partisipasi pemilih pada Pemilu Presiden 2014 sebesar 69,58 persen sedangkan di Pilpres 2009, yaitu 71,17 persen.

Menjaga Partisipasi Partisipasi politik warga dalam sebuah sistem demokrasi merupakan hal penting karena merepresentasikan adanya penguatan masyarakat dalam setiap proses politik di dalamnya. Partisipasi itu bisa berupa dukungan moral dan materil, serta ikut mengawasi kandidat dalam kontestasi politik.

Peneliti The Indonesian Institute Arfianto Purbolaksono mengatakan realitas politik dalam Pilpres 2014 dengan terpilihnya Jokowi-JK sebagai presiden dan wakil presiden menunjukkan keberhasilan pasangan itu untuk meyakinkan masyarakat dengan model kepemimpinan yang dimiliki keduanya.

Terlebih Jokowi bukan berasal dari darah biru kepemimpinan nasional namun proses politik yang telah memilih pasangan Jokowi-JK harus tetap dihormati karena merupakan kehendak rakyat.

Selain itu dia menilai partisipasi dan dukungan masyarakat yang tinggi menjadi modal bagi Jokowi-Jusuf Kalla untuk menjalani pemerintahan lima tahun ke depan.

“Dukungan dan kepercayaan rakyat harus benar-benar dimanfaatkan Jokowi-JK untuk mewujudkan janji-janji politiknya selama masa kampanye yang lalu. Partisipasi tersebut harus didorong dengan saluran yang jelas,” kata di Jakarta, Jumat (17/10).

Menurut dia Jokowi-JK didukung oleh sejumlah kelompok relawan, dan Jokowi pernah mengungkapkan relawan masih dibutuhkan. Kemudian yang menjadi pekerjaan rumah saat ini menurut dia, bagaimana pemerintahan Jokowi-JK dapat merumuskan saluran partisipasi masyarakat yang ideal guna mengawal pemerintahannya selama lima tahun ke depan.

Peneliti dari Sugeng Sarjadi Syndicate Toto Sugiarto menilai tantangan terbesar pemerintahan Jokowi-JK adalah mengawal kedaulatan rakyat dalam pemilu kepala daerah (Pilkada) secara langsung. Dia menilai meskipun Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) tentang Pilkada, namun itu belum menjadi dasar hukum final untuk mengembalikan hak dan kedaulatan politik rakyat karena akan dievaluasi DPR.

“Seandainya Perppu Pilkada ditolak DPR, pekerjaan Jokowi-JK membuat Undang-Undang Pilkada yang isinya pemilihan kepala daerah dilakukan secara langsung.

Prinsip partisipasi itu yang kemudian harus tetap terjaga dalam pemerintahan Jokowi-JK kedepan sehingga hak dan kedaulatan masyarakat dalam berpolitik tetap ada.

Toto menilai kemenangan pasangan Jokowi-JK muncul dari partisipasi politik masyarakat yang tinggi dengan didukung berbagai elemen masyarakat sipil. Namun menurut dia partisipasi itu mengalami tantangan bahkan cenderung akan direduksi dengan dominasi Koalisi Merah Putih di parlemen yang terlihat mengubah format Pilkada langsung menjadi Pilkada melalui DPRD.

Dia mengatakan tantangan pemerintahan Jokowi-JK kedepannya adalah menjamin peran rakat dalam pemilu, pilkada dan proses-proses politik lainnya tetap ada.

“Kecenderungan saat ini yaitu DPR berada dalam proses-proses yang kurang partisipatif dari masyarakat.

“Check and Balances” Setelah Pilpres 2014, polarisasi kekuasaan terbagi menjadi dua yaitu Koalisi Indonesia Hebat yang berisi PDI Perjuangan, PKB, Partai Hanura, Partai Nasdem, dan PPP (baru bergabung pasca Muktamar ke VIII di Surabaya) dan Koalisi Merah Putih yang terdiri atas Partai Gerindra, Partai Golkar, PKS, PAN sedangkan Partai Demokrat menyatakan berada di tengah-tengah polarisasi meskipun dalam realitas sikap politiknya cenderung ke KMP.

Dari komposisi tersebut, pertarungan politik akan terjadi di parlemen yaitu apakah kebijakan yang dikeluarkan pemerintahan Jokowi-JK akan didukung parlemen atau cenderung dihambat.

Toto Sugiarto menilai dalam proses pembangunan politik dan demokrasi, mekanisme “check and balances” sangat dibutuhkan agar jalannya pemerintahan bisa baik namun tetap dikontrol legislatif. Institusi legislatif menurut dia diposisikan sebagai penyeimbang dalam sistem politik sehingga mengkritisi kebijakan pemerintah yang tidak prorakyat.

Namun menurut Toto, realitas politik Indonesia yang dinamis menunjukkan saat ini dominasi KMP di parlemen menjadi tantangan bagi pemerintahan Jokowi-JK karena kemungkinan perdebatan dan pengkritisan yang dilakukan KMP akan tajam.

“Berbagai masalah akan diperdebatkan dengan keras sehingga membutuhkan stamina politik yang besar dari Jokowi-JK karena kalau tidak maka proses pemerintahan akan terhambat yang disebabkan adanya berbagai penolakan,” ujarnya.

Menurut dia hal yang bisaa dilakukan Jokowi-JK agar proses kebijakannya lancar di parlemen yaitu dengan mengintensifkan komunikasi politik dengan partai oposisi. Hal itu menurut dia lebih baik dilakukan dari pada menambah jumlah partai politik untuk bergabung dalam pemerintah, karena lima partai pendukung pemerintahan sudah cukup.

Toto optimistis proses komunikasi politik itu bisa dilakukan Jokowi karena karakternya yang luwes dan fleksibel, berbeda dengan pola komunikasi yang dijalankan partainya yaitu PDI-P yang cenderung kaku sehingga menghambat jalannya proses dialog.

“Saya rasa ada hambatan di PDI-P sehingga partai tersebut lambat dan kalah dalam pertarungan politik di parlemen. Hal yang penting adalah mengkoordinaskan orang-orang cerdas di partai itu sehingga memunculkan langkah partai yang fleksibel,” katanya.

Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Ahmad Norma berharap rujuknya Jokowi dengan Prabowo Subianto setelah keduanya bertemu merupakan rujuk kebangsaan bukan secara politik. Menurut dia siapapun sebagai warga negara harus mendukung pemerintahan terpilih namun sebagai aktor politik seharusnya teguh pada posisi masing-masing sehingga rakyat memiliki pilihan.

Ahmad menilai ciri negara dengan sistem demokrasi yang sudah maju memiliki oposisi baik partai politik maupun kelompok agar rakyat ada yang membela jika kebijakan pemerintah tidak pro rakyat.

“Harus tetap ada ‘check and balances’ dari pihak yang diluar pemerintahan sehingga ada pihak yang berani berkorban dan membela rakyat ketika berhadapan dengan penguasa,” ujar Ahmad.

Menurut dia agar mekanisme check and balances itu bisa berjalan dengan baik, seharusnya pemerintahan Jokowi-JK meminta dukungan dari rakyat daripada menambah mitra koalisi. Karena menurut Ahmad, tekanan politik yang dilakukan oposisi terjadi di parlemen dengan manuver politik sehingga langkah terbaik adalah meminta dukungan rakyat.

Dia mengatakan program pemerintahan yang bagus dan pro rakyat pasti akan didukung masyarakat sehingga pemerintahan Jokowi-JK lebih baik berkoalisi dengan rakyat daripada “bermain mata” dengan partai oposisi. Hal itu merupakan nagian dari pendidikan dan kematangan demokrasi Indonesia di masa depan yaitu adanya kesimbangan antara kelompok permanen di luar dan di dalam pemerintahan.

Sementara itu Arfianto Purbolaksono mengatakan kelihaian komunikasi politik Jokowi akan diuji melihat konfigurasi politik saat ini, yaitu parlemen cenderung didominasi partai-partai oposisi.

Komunikasi politik yang efektif sangat penting untuk mendorong proses rekonsiliasi elit nasional serta membangun hubungan kemitraan yang baik antara pemerintah dan parlemen selama lima tahun ke depan.

Selain itu Anto menilai komunikasi politik efektif Jokowi dengan partai-partai oposisi juga akan mendapatkan respon positif pasar sehingga akan berdampak pada stabilitas ekonomi.

Menjamin Pembangunan Politik Ahmad Norma menilai Jokowi memiliki tradisi yang baik dalam mendukung proses demokrasi namun kinerja di pemerintahannya biasa saja misalnya penyerapan anggaran pemerintah daerah yang pernah dipimpinnya termasuk lemah.

Namun dia menekankan keberpihakan Jokowi pada demokrasi bisa menjadi modal penting bagi mantan Gubernur DKI Jakarta itu dalam setiap proses pembangunan politik di Indonesia seperti program pemberantasan korupsi, reformasi birokrasi, dan pemberantasan mafia hukum “Jokowi bukan sosok pemimpin yang lahir dari atas sehingga mudah-mudahan tidak terjerat korupsi selain itu anak dan keluarganya belum berpolitik,” kata Ahmad.

Dia menilai agar proses pembangunan politik itu bisa berjalan dengan baik, maka Jokowi-JK seharusnya memilih menteri dari kalangan profesional yang integritasnya teruji dan memiliki kemampuan di bidangnya. Selain itu menurut dia, Jokowi-JK harus membentuk lembaga seperti Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (disingkat secara resmi UKP-PPP, sering juga disingkat UKP4) dalam pemerintahannya.

Unit khusus itu menurut dia diperlukan bagi pemerintah Jokowi-JK untuk mengawasi tugas menteri agar menjalankan rencana strategis pemerintahan.

Pers juga berperan untuk mengawasi hubungan antara Jokowi-JK sehingga tidak melahirkan konflik internal yang bisa menghambat jalannya pemerintahan.

Toto Sugiarto menyatakan pemerintah Jokowi-JK harus memastikan seluruh proses demokrasi berjalan lancar tanpa hambatan dan tanpa didominasi kekuatan modal dan mafia. Hal itu menjadi penting agar proses pengambilan keputusan di pemerintahan merujuk pada kepentingan rakyat, bukan mengakomodir kekuatan modal dan mafia.

“Selain itu, Jokowi-JK harus memerangi koruptor dan mafia,” katanya.

Memastikan jalannya pembangunan politik, mekanisme “check and balances”, dan terwujudnya partisipasi aktif masyarakat merupakan bagian dari upaya yang harus dilakukan pemerintahan Jokowi-JK kedepan. Hal itu agar proses demokrasi yang sudah berjalan selama 16 tahun tidak defisit dan mundur dalam pelaksanaannya. AN-MB