Beberapa hari yang lalu saya mendapat undangan dari Badan Kesbangpol dan Perlindungan Masyarakat Pemerintah Kota Denpasar, untuk menjadi salah satu narasumber bagi pemilih pemula di Kota Denpasar di salah satu hotel di bilangan kota Denpasar. Ada sekitar 300 peserta yang hadir dari siswa-siswi SMA dan SMK sekota Denpasar. Saat itu hadir tiga narasumber selain kami, ada dari kalangan akademisi dan pihak Polri. Ketika memasuki sesi tanya jawab para peserta pun memanfaatkan kesempatan ini untuk menyampaikan pertanyaan kepada kami para narasumber dan kemudian kami jawab sesuai dengan kapasitas kami masing-masing. Walaupun mereka masih anak SMA ternyata pertanyaan mereka cukup berbobot yang membuat saya bangga terhadap adik-adik kita ini. Dari sekian pertanyaan ini ada satu hal yang menarik benak saya, tentang gugatan terhadap demokrasi disambung dengan buat apa ada pemilu kalau keadaan rakyat tidak menjadi lebih baik. Kesejahteraan rakyat jauh dari harapan. Korupsi meraja-lela, para pemimpin dan para wakil rakyat seolah-olah berlomba-lomba mengeruk harta negara yang semestinya untuk kepentingan rakyat. Ringkasnya pertanyaan itu mengkritisi kenapa masa reformasi seperti sekarang ini dimana kehidupan demokrasi sudah semakin baik namun belum cukup untuk membuat rakyat lebih sejahtera. Ketika itu karena waktunya singkat jadi jawaban kita mungkin belum lengkap dan belum memuaskan.
Ketika sampai di rumah saya pun membuka beberapa referensi yang mungkin tepat menjawab pertanyaan yang dilontarkan para peserta pada seminar tadi. Saya mulai dari arti arfiah demokrasi menurut akar kata yang berarti rakyat berkuasa (kata yunani demos berarti rakyat, kratos/kratein berarti kekuasaan/berkuasa). Secara konkrit demokrasi diterjemahkan sebagai wujud pengakuan konstitusional bahwa kedaulatan berada ditangan rakyat. Kalimat lain dengan makna yang sama mengatakan demokrasi adalah pemerintahan rakyat, yaitu pemerintahan yang dibentuk dari dan oleh rakyat, serta untuk kepentingan seluruh rakyat.
Kita mengenal bermacam-macam istilah demokrasi. Menurut Meriam Budiarjo ada sekian banyak aliran demokrasi namun ada dua kelompok yang paling penting, yaitu demokrasi konstitusional dan satu lagi istilah demokrasi saja, yang biasanya dianut negara-negara komunis. Indonesia dalam hal ini menganut demokrasi konstitusional, sebagaimana tertuang dalam pembukaaan UUD 1945 pada alinea ke-empat, yang menyatakan bahwa “Kemerdekaan kebangsaan Indonesia terbentuk dalam susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia”, kemudian dipertegas kembali pada Pasal 1 Ayat (2) UUD 1945 yang diamandemen yang menyatakan “Kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”.
Jadi Indonesia menganut sistem demokrasi konstitusional. Pertanyaannya mengapa sistem demokrasi yang sedemikian baiknya itu belum memberi kepuasan seperti yang terungkap pada acara seminar tadi. Janedjri M. Gaffar dalam buku berjudul demokrasi konstitusi menguraikan bahwa ketidakpercayaan akan demokrasi bersumber pada saat perbaikan kondisi masyarakat tidak tercapai. Kondisi ketidakpercayaan ini pernah terjadi saat pemerintahan orde lama dengan dikeluarkannya dekrit presiden 5 juli 1959, yang mana Presiden Soekarno menerapkan sistem demokarasi terpimpin. Pengalaman tersebut juga melatar belakangi pilihan pembatasan demokrasi pada era orde baru demi perjalanan pembangunan ekonomi.
Selanjutnya Janedjri M. Gaffar menuturkaan adanya hipotesis Lee Kwan Yew yang mengatakan negara yang membatasi kebebasan memilik pertumbuhan ekonomi yang lebih baik dibanding dengan negara-negara yang tidak otoriter. Hipotesis ini berdasarkan fakta-fakta di negara-negara Singapura, Korea Selatan, dan China yang pertumbuhan ekonominya lebih tinggi dibandingkan dengan negara-negara yang lebih demokratis.
Dalam buku tersebut pendapat Lee Kwan Yew mendapat sanggahan dari Amartya Sen, peraih nobel dalam bidang ekonomi tahun 1998, yang berpendapat bahwa demokrasi bukan sekedar mekanisme melainkan sistem yang membutuhkan kondisi-kondisi tertentu. Kondisi-kondisi tersebut wujud dari nilai dan prinsip dasar demokrasi itu sendiri. Demokrasi tidak hanya berupa mekanisme pemilihan dan penghormatan atas hasil pemilihan semata, melainkan juga meliputi perlindungan terhadap kemerdekaan dan kebebasan, penghormatan terhadap aturan hukum dan jaminan akan kebebasan berpendapat dan kebebasan memperoleh informasi.
Hipotesis Lee Kwan Yew dalam pandangan Amartya Sen hanya didasarkan pada empirisme yang sporadik, yaitu pada kasus Singapura, China, dan Korea Selatan. Tidak ada bukti yang meyakinkan bahwa pemerintahan yang mengekang hak sipil dan politik benar-benar menguntungkan pembangunan ekonomi. Sebaliknya Sen memberi argumentasi bahwa demokrasi dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat. Pertama kebebasan politik merupakan bagian dari kebebasan manusia secara umum, dan pelaksanaan kebebasan politik merupakan bagian dari pencapaian kebaikan kehidupan individu dan masyarakat. Kedua, demokrasi memberikan sarana bagi rakyat untuk mengekspresikan dan mendukung aspirasi tertentu, termasuk kepentingan ekonomi. Ketiga, demokrasi memberikan kesempatan kepada rakyat untuk saling belajar serta membentuk nilai dan prioritas bersama. Penentu kebutuhan ekonomi sebagai prioritas senantiasa membutuhkan proses diskusi publik serta pertukaran informasi. Dalam hal ini demokrasi memilik peran konstruktif menentukan apa yang dibutuhkan. Sedangkan kebutuhan yang ditentukan tidak oleh diskusi publik hanya akan menjadi kebutuhan sekolompok orang pembuat kebijakan.
Dari segi praktik , Sen menyatakan tidak ada musibah kelaparan yang terjadi dinegara-negara merdeka dan demokratis. Sebaliknya kelaparan terjadi di negara-negara dengan rezim diktaktor seperti Ethiopia dan Somalia. Perbedaan tersebut terjadi karena di negara demokratis terdapat hak sipil dan politik yang memberikan kesempatan kepada rakyat untuk menuntut perhatian dan tindakan nyata dari negara. Bahkan apabila penduduk miskin diberikan pilihan, sangat kecil kemungkinannya mereka memilih menolak demokrasi.
Sebagai penutup Janedjri M. Gafar menjelaskan, setidaknya demokrasi bukanlah sistem tertutup. Demokrasi senantiasa berkembang sesuai dengan perkembangan masyarakat. Oleh karena itu kritik terhadap demokrasi senantiasa diperlukan demi perbaikan pelaksanaan demokrasi itu sendiri. Karena itu pula, proses demokrasi yang telah dijalani selama ini senantiasa membutuhkan evaluasi: apakah demokrasi telah benar-benar dilakukan sesuai dengan kehendak rakyat dan diarahkan untuk kepentingan rakyat. Winston Churchill dalam suatu kesempatan berpendapat bahwa sesungguhnya demokrasi bukanlah sistem politik terbaik, tapi belum ada sistem yang lebih baik darinya. Setidaknya demokrasi menyediakan mekanisme checks and balances.
Setelah membaca beberapa uraian di atas semoga kegundahan anak-anak SMA dalam seminar tadi terjawab dan bermanfaat demi kemajuan proses pendidikan politik masyarakat sehingga pemilu sebagai tempat bersemayamnya roh demokrasi dimanfaatkan sebaik mungkin untuk perbaikan bangsa kita ini.
Ayo memilih Pemilu DPR, DPD, DPRD 2014, Ingat Hari Rabu, 9 April 2014!

Penulis: IGN Agung Darmayuda, ST., MM.
Komisioner Komisi Pemilihan Umum Kota Denpasar