Buku dan Made Taro

Denpasar (Metrobali.com)-

Usianya memang telah memasuki 75 tahun. Wajahnya pun penuh kerutan dan rambutnya sudah memutih. Namun, semangat kreatifnya tetap menggeliat dan tampil selalu enerjik. Dia adalah I Made Taro, maestro pendongeng Bali yang sangat populer dalam jagat seni permainan tradisional anak-anak.

Denyut nadi kreativitas kreatif dan inovatifnya senantiasa menginspirasi upaya peningkatan pelestarian budaya bangsa berbasis kearifan lokal khas Bali. Secara perlahan dan pasti satu demi satu buku dongeng tercipta dari kerja kreatifnya. Kini, pendongeng kelahiran Sengkidi, Karangasem, tahun 1939 ini kembali meluncurkan karya terbarunya berupa buku berjudul Dongeng-Dongeng Karmaphala.

Buku dongeng ini berisikan 30 cerita dongeng yang aspiratif dan edukatif untuk menanamkan nilai-nilai karmaphala bagi pembentukan karakter bangsa. Dongeng yang mengapresiasi fenomena kehidupan kekinian terkait perilaku masyarakat ini disajikan dalam bahasa ungkap sastra lisan dan sastra tulis dalam alur cerita yang sederhana, gaya bahasa yang segar dan menarik agar tidak hanya dibaca oleh anak-anak, tetapi juga oleh orangtua untuk anak cucunya dan guru untuk murid-muridnya.

Kepada koran ini, Made Taro menegaskan bahwa penerbitan buku dongeng dengan 147 halaman ini tidak mengandung maksud bahwa karmaphala itu dongeng belaka. Mengingat bahwa karmaphala merupakan hukum sebab akibat yang alamiah dan sangat berpengaruh terhadap kehidupan manusia.

Terlebih lagi, dewasa ini kepercayaan masyarakat terhadap karmaphala semakin luntur. Di mana orang tak segan-segan berbuat jahat karena memandang hukum karma itu tidak berlaku atau tidak mempan. Mereka sepertinya ingin cepat-cepat membuktikan bahwa perbuatan buruk maupun baik itu mendapatkan pahala pada saat itu pula.

Keadaan yang demikian, secara sadar maupun tidak sadar akan memengaruhi keyakinan masyarakat terhadap hukum karma. Ini berarti upaya menegakkan dan mempertebal keyakinan terhadap karmaphala memerlukan ketekunan, kesabaran dan upaya yang semakin berat. Padahal, nilai-nilai karmaphala itu telah bersemi sejak dahulu kala, bahkan mungkin sebelum dikenalnya istilah karmaphala tersebut.

Menurutnya, karmaphala merupakan pandangan yang luhur dan universal, seharusnya terwujud bukan saja melalui simbol sastra (dongeng) semata, melainkan dalam kehidupan keseharian masyarakat. “Lewat buku ini saya mencoba menawarkan pendidikan karmaphala melalui dongeng yang telah diwariskan oleh para leluhur kepada kita sebagai bagian dari kebutuhan akan sikap dan pedoman hidup keseharian,” katanya.

Lebih jauh, penerima penghargaan pengabdi seni dalam Pesta Kesenian Bali (PKB) ke-35 tahun 2013 ini mengakui tiga puluh dongeng dalam bukunya bukan saja berasal dari Bali dan Nusantara, melainkan juga dari Mancanegara, yang mengandung nilai karmaphala sebagai pembanding atau pengayaan. Di antaranya cerita Bawang Putih dan Crucuk Kuning (Bali versi Made Taro), dibandingkan dengan cerita Cinderella dan Sepatu Kaca (Perancis versi Charles Perrault). “Saya memandang perlu menyajikan saduran dari cerita rakyat mancanegara karena sangat inspiratif dan sarat akan nilai karmaphala,” tegasnya.

Tak hanya itu, buku dongeng ini juga disisipkan beberapa dongeng kreasi baru yang telah berkali-kali disajikan dalam aksi mendongengnya selama ini, seperti Kodok dan Hartakarun, I Lara dan Sapi Putih, Putri Bening dan Setongkol Jagung.

Diharapkan, buku dongeng ini nantinya dapat memberikan nilai manfaat bagi pengembangan kepribadian anak-anak sesuai nilai karmaphala dengan konteks kehidupan kekinian. Sehingga tumbuh dan berkembang perbuatan yang baik melawan perbuatan yang buruk. “Buku ini sudah pasti jauh dari sempurna. Oleh karena itu, segala saran dan kritik membangun, saya sambut dengan tangan dan hati terbuka. Semoga pemikiran yang jernih dapat memberikan hasil yang bermanfaat bagi kita semua ke depannya,” pungkasnya.

Sekadar mengingatkan bahwa sastrawan Bali, peraih hadiah Sastra Rancage tahun 2005 ini telah merilis sedikitnya 36 buku dan sempat meraih sekitar 12 penghargaan dari pemerintah maupun non pemerintah sebagai pendidik, pelestari kebudayaan, penulis buku, storyteller, pembina sastra daerah, pencipta lagu, dan permainan anak-anak, serta meraih penghargaan Anugerah Kebudayaan dari presiden RI tahun 2009. WB-MB