Denpasar, (Metrobali.com)

Sementara KPK dan PHDI Bali sama-sama mengingatkan masyarakat untuk mengeliminasi politik uang atau serangan fajar di Pemilu 2024 mendatang, lembaga anti-rasuah itu ditanya tentang korupsi yang tetap marak, serta ditanya tentang RUU Perampasan Aset yang tak kunjung disahkan di DPR RI. Hal itu muncul dalam dialog serangkaian Bimtek dari Deputi Dikmas KPK di PHDI Bali, Jumat, 8 September 2023.

‘’Kalau RUU Perampasan Aset sudah sah menjadi undang-undang, kerja-kerja pemberantasan korupsi akan lebih simpel dan lebih mudah. Semisal ada pejabat punya gaji tertentu yang seharusnya tidak mungkin memiliki Mobil Merzy versi terbaru, tapi tiba-tiba ada mobil itu di garasenya, maka mobil itu bisa dituntut asal-usulnya, dan bilamana tidak jelas asal usulnya, ia bisa dirampas untuk negara. Tapi, tanpa UU Perampasan Aset, penyidik harus membuktikan terlebih dahulu aspek tindak pidananya, dan yang bisa disita dan dirampas oleh negara, hanyalah sebatas kerugian negara yang disebut dalam putusan pengadilan,’’ kata Johnson Ridwan Ginting, Plh. Direktur Pembinaan Peranserta Masyarakat, saat menjawab pertanyaan peserta.

Johnson menjawab pertanyaan-pertanyaan peserta, karena Deputi Dikmas KPK Wawan Wardiana yang awalnya memaparkan materi tentang peran serta masyarakat dalam pemberantasan korupsi, sudah harus berangkat ke bandara, mengejar agenda acara di tempat lain. Paparan dibantu Dion Hardika Sumarto, Wakil Kasatgas 2 Direktorat Pembinaan Peran Serta Masyarakat. Dialog berlangsung sangat intens, karena 10 dari 200 peserta yang bersekesempatan mengajukan pertanyaan, melontarkan aspirasi yang sangat substantif. Mereka adalah mahasiswa KMHDI, PERADAH, APHB, PSN Bali, PHDI Denpasar, PHDI Badung, dan organisasi kehinduan lainnya.

Deputi Dikmas KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) dan Parisada Hindu Dharma Indonesia Provinsi Bali, sama-sama berkomitmen untuk mensosialisasikan terus nilai-nilai anti korupsi, membangun integritas warga masyarakat untuk tidak bersikap permisif terhadap korupsi, bila ingin negara semakin bersih dan membaik dari aspek korupsi, kolusi, dan nepotisme. Hal itu dicetuskan dalam Bimbingan Teknis oleh KPK RI di gedung PHDI Jl. Ratna Denpasar, Jumat,8 September 2023. Dibuka oleh Ketua PHDI Bali Nyoman Kenak, SH, dihadiri Wawan Wardiana selaku Deputi Dikmas, Jhonson …. Acara dipandu Sekretaris PHDI Bali Putu Wirata Dwikora. Sementara peserta sekitar 200 orang terdiri Pemangku anggota PSN (Pinandita Sanggraha Nusantara), Pengurus PHDI Bali dan PHDI Kabupaten/Kota se-Bali, KMHDI, PERADAH, Aliansi Pemuda Hindu Bali, Mahagotra Sanak Sapta Rsi,Jagabaya Dulang Mangap, mahasiswa UHN I Gusti Bagus Sugriwa, dan lain-lain.

Dalam paparan yang panjang lebar tersebut, Deputi Wawan Wardiana menyampaikan, bahwa permasalahan korupsi di Indonesia nyatanya masih semarak, baik yang melibatkan orang-orang partai yang duduk di legislatif, pejabat eksekutif, aparat penegak hukum seperti polisi, jaksa maupun hakim dan pengacara. Dibanding negara-negara yang sudah relatif bersih dari korupsi, dengan indeks antara angka 0 sampai 100, Indonesia memang dalam posisi yang masih parah. Di awal berdirinya KPK, IPK (indeks persepsi korupsi) Indonesia hanya 18, dan pernah mencapai angka 42, kini turun ke angka 34. Angka ini jauh dibawah negara-negara maju yang sudah bersih dengan IPK sampai 93, sementara negara tetangga seperti Singapura IPK-nya sudah 83.

Disebutkan, korupsi tetap merajalela dan menjadi sistemik, tidak hanya karena perilaku orang yang memegang jabatan dan kekuasaan yang memang korup, tetapi dipersubur oleh adanya sikap permisif sebagian masyarakat Indonesia, yang resistensinya rendah, serta ada juga ‘’budaya berterimakasih’’ ataupun ‘’bersedekah’’ yang salah kaprah. Yakni, memberi sesuatu sebagai ucapan terimakasih kepada pejabat yang dianggap membantu, padahal itu sudah menjadi tugas dan kewajibannya. Dengan pemberian itu, si pemberi mendapat keistimewaan tanpa diminta, sehingga merugikan hak pelayanan dari masyarakat yang tidak memberi, karena tidak ada kewajiban untuk itu.

Namun, sekalipun ada budaya permisif dari sebagian masyarakat, masih banyak yang resisten dan berharap korupsi di Indonesia bisa diberantas sampai ke akar-akarnya. Seperti dijelaskan Johnson Ridwan Ginting, walaupun masih ada yang permisif dan menjadi ladang subur tumbuhnya korupsi, ditelisik dari laporan-laporan yang masuk ke KPK, ternyata sebagian besar kasus korupsi yang terungkap, justru berdasarkan laporan masyarakat.

‘’Dengan data, bahwa kasus-kasus korupsi yang diusut KPK sebagian besar justru dari masyarakat, itu pertanda resistensi masyarakat masih tinggi dibanding yang permisif dan memaklumi korupsi. Inginnya kita, korupsi cepat diberantas, dan mari dukung KPK melalui pencegahan dan edukasi terus menerus ke masyarakat melalui lembaga dimana kita mengabdi,’’ kata Keteua PHDI Bali, Nyoman Kenak. (RED-MB)