Johan Budi

Jakarta (Metrobali.com)-

Komisi Pemberantasan Korupsi menetapkan Direktur PT Mahkota Negara Marisi Matondang, anak buah Muhammad Nazaruddin, sebagai tersangka dalam dugaan tindak pidana korupsi pengadaan alat kesehatan (alat kesehatan).

Dugaan tindak pidana korupsi itu terjadi di RS Khusus untuk Pendidikan Penyakit Infeksi dan Pariwisata 2009 di Universitas Udayana Bali.

“Terkait penyelidikan dalam kaitan pengadaan alat kesehatan di RS Khusus untuk Pendidikan Penyakit Infeksi dan Pariwisata 2009 di Universitas Udayana, Bali; penyidik telah menemukan dua alat bukti permulaan yang cukup disimpulkan ada dugaan tindak pidana korupsi,” kata Juru Bicara KPK Johan Budi di Jakarta, Kamis.

Dua tersangka tersebut adalah Kepala Biro Administrasi Umum dan Keuangan di Universitas Udayana Made Meregawa (MDM) yang juga menjabat sebagai Pejabat Pembuat Komitmen.

“Kedua adalah MRS (Marisi Matondang) selaku direktur PT MN (Mahkota Negara) sebagai tersangka,” tambah Johan.

Marisi Matondang adalah direktur PT Mahkota Negara, pemenang tender Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) di Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi yang terbukti terjadi tindak pidana korupsi hingga menyeret Neneng Sri Wahyuni yaitu istri mantan bendahara Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin menjadi narapidana.

PT Mahkota Nusantara sendiri pernah dimiliki kakak-adik Nasir dan Nazaruddin hingga 2009. Selain terlibat dalam proyek PLTS, PT Mahkota juga mendapat bagian pengadaan alat laboratorium multimedia serta alat laboratorium informasi, komunikasi, dan teknologi tahun 2007 di Kementerian Pendidikan Nasional dengan nilai proyek Rp40 miliar.

“MDM dan MRS diduga melanggar pasal 2 ayat 1 atau pasal 3 UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP,” tambah Johan.

Pasal tersebut mengatur tentang orang yang melanggar hukum, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya jabatan atau kedudukan sehingga dapat merugikan keuangan dan perekonomian negara dan memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi dengan ancaman pidana penjara maksimal 20 tahun denda paling banyak Rp1 miliar.

“Diduga ada pemufakatan dan rekayasa dalam proses pengadaan yang kemudian diduga negara mengalami kerugian sekitar Rp7 miliar,” ungkap Johan.

Proyek tersebut bersifat “multiyears” yaitu pada 2009-2011 dengan total anggaran sebesar Rp16 miliar.

“Yang diselidiki dan disidik KPK itu pengadaan 2009 dan diduga ada ‘mark up’ (penggelembungan anggaran),” jelas Johan. AN-MB