gungrai

Bagi pencinta seni lukis di Indonesia maupun mancanegara tentu mengenal Museum Seni Agung Rai (Arma), sebuah museum swasta di Bali yang berdiri megah di Desa Pelihatan, perkampungan seniman Ubud, Kabupaten Gianyar, Bali sejak tahun 1995 atau 19 tahun yang silam.

Museum yang dibangun di atas hamparan lahan seluas tiga hektare itu dilengkapi sarana pendukung yang memadai, memiliki 248 koleksi lukisan yang ditata secara apik dalam tiga unit bangunan utama, mulai dari pajangan lukisan gaya klasik hingga gaya modern sekaligus dapat memaparkan perkembangan seni lukis di Pulau Dewata.

Museum yang diresmikan pada pemerintahan orde baru oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan saat itu Prof Dr Wardiman Djojonegoro, mengoleksi ratusan lukisan yang ditata sedemikian rupa, mampu menjadi sumber informasi dan inspirasi bagi banyak kalangan, terutama seniman-seniman muda yang kreatif.

“Seniman muda setelah melihat koleksi museum Arma akan mampu memberikan inspirasi untuk menciptakan karya-karya yang lebih baik,” tutur Anak Agung Gede Rai (60), pria kelahiran Ubud.

Museum Arma dalam perkembangannya kini dilengkapi dengan Arma Bookshop, Arma Resort, Kokokan Thai Restaurant, Kafe Arma, Warung Kopi, Public Library dan Arma Conference Venue.

Gagasan Agung Rai mendirikan sebuah museum itu dilandasi atas kehidupannya yang berkecimpung dalam dunia seni, khususnya seni lukis, yang semakin hari semakin banyak tercurah kecintaan kepada dunia seni.

Perhatian dan kecintaannya semakin mendalam setelah bercermin pada koleksi dua museum yang ada di Ubud yakni Puri Lukisan Ratna Warta dan Museum Neka, kedua museum pertama yang dikelola pihak swasta.

Kedua Museum yang ditirunya itu dengan konsep, koleksi dan lokasinya telah mencerminkan kepribadian dan menjadi jati diri dari Museum itu sendiri.

Sosok Agung Rai yang pernah sebagai pedagang asongan menjanjakan lukisan kepada wisatawan di Pantai Sanur dan Kuta itu bertekad keuntungan yang diperoleh dari dunia seni lukis diupayakan untuk mengoleksi lukisan yang keberadaannya saling melengkapi dan saling terkait pada kedua museum tersebut.

Untuk itu museum Arma yang dibangun di atas hamparan yang luas di sela-sela persawahan yang menghijau itu hingga kini tidak hanya mengoleksi lukisan seniman Bali, namun juga seniman Indonesia yang berasal dari luar Bali.

Lukisan itu antara lain karya Affandi, Sudjojono, Hendra Gunawan, Srihadi Soedarsono dan Abas Alibasyah, disamping karya seniman mancanegara yang menemukan inspirasi dari keindahan alam dan budaya Bali.

Lukisan itu antara lain karya Rudolf Bonnet, Arie Smith, Le Mayeur de Merpres, Willem Hofker, Antonio Blanco, Theo Meier, Donald Friend, Han Snel dan sejumlah seniman warga negara asing lainnya.

“Yang paling mengesankan adalah lukisan hasil karya pelukis Walter Spies dan Raden Saleh yang merupakan koleksi khusus ARMA,” tutur Agung Rai yang baru-baru ini meluncurkan buku berjudul “Gung Rai: Kisah sebuah museum” Buku setebal 352 halaman dengan pengantar khusus dari mantan Mendikbud Prof Dr Ing Wardiman Djojonegoro dikemas dalam acara diskusi menampilkan empat pembicara yang menyoroti isi buku tersebut.

Keempat pembicara terdiri atas pengamat seni yang juga budayawan asal Prancis Dr Jean Couteau, Putu Suasta, Warih Wisatsana dan Prof Dr I Wayan P. Windia, SH M.Si yang juga guru besar Fakultas Hukum Universitas Udayana.

Beri apresiasi Mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Prof Dr Wardiman Djojonegoro memberikan apresiasi terhadap peluncuran buku “Gung Rai: Kisah Sebuah Museum”.

Ia mengaku mendapat kehormatan meresmikan Museum Arma di Perkampungan seniman Ubud tahun 1995 yang dibangun oleh Anak Agung Gede Rai yang merintis gagasan mulai itu berangkat dari bawah.

Bermula dari seorang pedagang asongan yang tidak berlatar belakang seni, ternyata lewat keuletan dan kegigihannya mampu membangun sebuah museum swasta dengan koleksinya yang sangat lengkap.

Bahkan gedung museum dibangun megah dengan rancang bangun yang menarik serasi dengan lingkungannya memiliki koleksi lengkap, yakni lukisan yang berharga, baik dari masa lalu, masa kini dan modern.

“Saya mempunyai kenangan tersendiri saat meresmikan museum Arma 19 tahun yang silam,” ujar Wardiman dalam sambutan buku yang dibagikan kepada budayawan, seniman dan berbagai elemen masyarakat lainnya.

Gung Rai dalam mewujudkan visi dan tekadnya untuk melestarikan dan mengumpulkan benda-benda seni dilakukan dengan membangun museum Arma.

Semua itu mencerminkan pikiran dan pribadi yang terbuka siap menerima gagasan tentang kehidupan dan kebersamaan dari mana saja.

Lukisan dan benda kuno yang dikoleksi berasal dari masa lampau maupun kontemporel sehingga mempunyai keunikan tersendiri yang mampu menarik perhatian masyarakat lokal, nasional dan internasional.

Hal itu berkat kemampuannya mengoleksi karya-karya lukisan seniman terkenal dari berbagai negara di belahan dunia, disamping lukisan seniman terkenal dari Indonesia, termasuk Bali.

Hormati keluhur Direktur Program Doktor Ilmu Agama Pascasarjana Institut Hindu Dharma Indonesia Neger (IHDN) Denpasar Dr I Ketut Sumadi menilai, Bali sebagai daerah tujuan wisata utama di Indonesia kini bertebaran belasan museum, terutama yang dikelola swasta dan perorangan sebagai salah satu objek yang menjadi kunjungan para wisatawan.

Sebagian besar museum milik perorangan itu terdapat di perkampungan seniman Ubud, Kabupaten Gianyar, Kota Denpasar dan Kabupaten Klungkung.

Museum Neka yang lokasinya tidak jauh dari Museum Arma merupakan museum swasta pertama di Indonesia yang dirintis oleh Pande Wayan Suteja Neka (73) pada era tahun 1970-an, namun baru diresmikan oleh 7 Juli 1982 atau 32 tahun yang silam.

Museum dengan bangunan berarsitektur tradisional Bali seluas 2.850 meter persegi di atas lahan 9.150 meter persegi di tebing Sungai Campuhan, Perkampungan seniman Ubud itu menjadi pelapor yang kini di Bali tercatat sekitar 30 museum.

Museum bagi umat Hindu, khususnya di Bali tak bisa lepas dari kehidupan sosial religius. Sebab apa yang tersimpan (koleksi) museum merupakan bagian dari kehidupan keberagamaan yang diwariskan oleh leluhur.

Pria kelahiran Gianyar 48 tahun yang silam menjelaskan, museum bukan sekadar tempat memajang benda-benda warisan leluhur yang bersifat magis religius, namun juga cerminan kepercayaan (seradha dan bhakti) dalam melaksanakan pengorbanan secara iklas (yadnya) untuk memuliakan leluhur.

Konsep tentang perjalanan waktu masa lalu, masa kini, dan masa depan yang disebut “atita, wartamana, nagata” yakni setiap perjalanan tentu memiliki sesuatu yang istimewa dan perlu menjadi penanda zaman bagi setiap generasi.

Oleh karena itu, eksistensi museum sebagai wahana penyimpan berbagai benda istimewa penanda zaman itu, memiliki arti penting. Dengan mengunjungi museum sekaligus melakukan kontemplasi (mulat sarira) mengenang masa lalu, melihat realitas masa kini, kemudian merancang masa depan kehidupan sosial religius yang lebih baik.

Museum di Bali dalam perspektif agama Hindu merupakan implementasi ajaran “atita, wartamana, nagata”, dan sekaligus melaksanakan yadnya memuliakan leluhur. Sebab konsep yadnya kepada leluhur, tidak hanya diwujudkan dalam bentuk upacara persembahan sesaji.

Selain itu juga dalam wujud prilaku merawat dan memuliakan benda-benda pusaka warisan leluhur di museum. Keberadaan museum dan agama Hindu di Bali saling melengkapi. Ajaran agama memberikan jiwa terhadap museum, baik menyangkut arsitektur bangunan fisik maupun benda-benda yang dipajang.

Sebaliknya, museum juga bisa menjadi wahana mempelajari agama, karena benda-benda museum berkaitan erat dengan perkembangan praktik keberagamaan Hindu di Bali, sehingga merupakan suatu kewajiban untuk mengetahui keberadaan museum, tutur Ketut Sumadi. AN-MB