Ngurah Karyadi1

Oleh: Ngurah Karyadi

Prabu Sentanu hilang. Ketika diintip ke kamarnya sekitar pukul tujuh pagi, tak ada siapa pun di sana. Para Jagabaya  Istana Hastinapura panik, mereka pun juga bingung, ke mana sang prabu, yang juga pendiri kerajaan Hastinapura. Bhisma, sang anak dan sekaligus protokol pemerintahan -orang yang selalu mendampingi Prabu Sentanu -menenangkan petugas. “Nanti saya cari, pasti tak jauh dari sini,” kata Bhisma.

Seperti yang diduga, Bhisma menemukan Prabu Sentanu minum kopi di warung kolam renang di bawah istana. Ia mengenakan pakaian tidur, piyama kedodoran tanpa kopiah. Ia asyik ngobrol dengan peminum kopi yang lain. Ketika Bhisma menjelaskan orang berpiyama itu adalah Prabu Sentanu, seluruh orang yang ada di warung itu langsung bersimpuh hormat-dan terheran-heran. Bhisma lalu meminta Prabu Sentanu kembali ke istana. “Masak Bapak enggak boleh ngobrol?” kata Sentanu, menggerutu.

Kisah ini dituturkan Parikesit dalam buku kecil ‘In Memorium Bhisma’. Tak disebutkan kapan “insiden istana” itu, tapi pasti saat Bhisma menjadi protokol pemerintah. Masih banyak anekdot di sekitar Prabu Sentanu yang direkam Parikesit, untuk mengenang almarhum kakeknya, yang meninggal dunia di masa perang Bratayuda. Misalnya, ketika jagabaya memaksa Prabu Sentanu meninggalkan pesta pada saat dia asyik menari lenso. Prabu Sentanu tunduk pada jagabaya, tetapi ngedumel kepada Bhisma, “Masak Bapak tak boleh bersenang-senang.”

Suatu kali Prabu Sentanu ke Gallery (kini disebut Museum) hanya ditemani Bhisma. Prabu Sentanu tertarik pada sebuah lukisan. “Bapak suka ini, ayo beli.” Bhisma bertanya: “Siapa yang bayar?” Sentanu bingung, tak ada yang membawa uang. Akhirnya tak jadi membeli. Penjaga galeri tak mengizinkan beli lukisan dengan berutang, ia tak mau tahu siapa peminat itu.

Yang hendak dikisahkan adalah prabu pertama republik Kuru ini ternyata suka blusukan dan itu sering dilakukan tanpa jagabaya -baik karena jagabaya dilarang, maupun dikecoh. Seperti dilakoni Jokowi di masa Hastinapura modern, hari ini Para Prabu dijaga ketat tentulah keharusan protokoler. Di era Sentanu malah ada pasukan khusus Tjakrabirawa. Bahwa sesekali Sentanu kesal dengan jagabaya ketat, itu juga sangat manusiawi.

Di era Prabu selanjutnya, pasukan jagabaya cukup disebut Pasukan Jagbaya Prabu (Pasjap). Kini, ada tiga grup pasukan elite ini, Grup A untuk ring satu (paling dekat dengan sang prabu), ring B dan C yang lebih jauh. Wakil sang prabu pun dikawal dengan satuan ini. Begitu pula mantan presiden dan wakil prabu, juga mendapat jagabaya dari satuan ini, tentu disesuaikan dengan desa, kala dan patra. Namun belum lama ini Prabu Duryodono membentuk Grup D yang tugasnya khusus mengawal mantan prabu dan wakilnya.

Kenapa para mantan yang sudah “bebas” ini harus dijaga dengan ketat, sampai membentuk grup baru pulaa? Barangkali sebagai penghormatan atas jasa para mantan itu, dan bentuk penghormatan ini diharapkan menimbulkan rasa aman. Tetapi dulu Gus Drestarata, setelah dikudeta merangkak Duryodono, merasa tak perlu dikawal ketat. “Bikin susah ke restoran saja,” katanya. Boleh jadi. Kalau jagabaya ikut, makan apa tidak kikuk? Tapi, kalau tak diajak makan, apa manusiawi? Ke mana-mana kan ikut terus.

Bahwa grup baru ini dibentuk menjelang Prabu Duryodono menjadi mantan, mungkin kebetulan. Juga sebuah kebetulan kalau Duryodono memang suka dan mau jagabaya ketat -warisan prajurit. Atau mungkin terkena gejala post power syndrome, atau khawatir dengan serbuan massa akibat korupsi yang membelit partainya, dan orang-orang terdekatnya. Entahlah!

Perilaku masing-masing mantan tentu beda, ada yang ingin bebas, ada yang masih takut bebas keluyuran. Kalau Jokowi memenangi pemilihan prabu Hastinapura jaman ini, apa yang dilakukannya? Apakah dia meniru buyutnya, Sentanu yang suka turba, blusukan dan lepas dari jagabaya? Orang tahu, kalau blusukan dijaga ketat, apalah artinya. (**)