I Nengah Muliarta-2
I Nengah Muliarta, Praktisi Radio Bali/MB

Denpasar, (MetroBali.com) –

Mengelola sebuah stasiun radio selama ini cenderung hanya sebagai sebuah bentuk penyaluran hobi. Padahal mengelola stasiun radio merupakan usaha untuk memanfaatkan sumber daya alam milik publik berupa frekuensi agar memberi manfaat dan membawa kesejahteraan pada masyarakat. Mengelola stasiun radio juga berarti mengelola sebuah bisnis media yang memiliki kekuatan untuk mempengaruhi masyarakat. Stasiun radio dapat juga dikatakan sebagai sebuah industri media yang memiliki fungsi kontrol, fungsi informasi, pendidikan dan perekat sosial. Jika mengelola stasiun radio masih dipandang sebagai sebuah hobi atau kerja sampingan, apa mungkin dikelola secara professional?

Kantor sebuah lembaga penyiaran radio di daerah tidak jarang hanya sebuah ruangan sempit dengan peralatan siaran seadanya. Peralatan siaran berupa komputer dan mixer audio. Berkaca dari kondisi tersebut, tentu sangat tidak sesuai dengan image radio sebagai sebuah bisnis media. Kantor sempit dan peralatan seadanya menunjukkan tidak seriusnya pengelola dan pemilik untuk mengelola sumber daya publik. Tampilan fisik yang seadanya tentu pada akhirnya akan mempengaruhi minat pemasang iklan untuk beriklan. Belum lagi adanya kebiasaan menjual iklan dengan harga yang murah atau sekedar mendapat iklan.

Bukti bahwa industri radio masih sebatas industri hobi yaitu adanya kebiasaan sekedar siaran atau sekedar mengudara dengan memutar lagu saja. Ketika sebuah stasiun radio hanya sekedar memutar lagu saja sudah menunjukkan bahwa stasiun radio tersebut keluar dari format siaran. Mengingat setiap program siaran sudah pasti harus ada penyiar atau orang yang bertugas mengantarkan siaran. Keluar dari format siaran menunjukkan siaran sesuka hati karena tidak berpedoman pada standar program yang telah ditetapkan. Pengelolaan program siaran juga hanya dilakukan oleh satu orang yaitu penyiar. Padahal sepatutnya sebuah program siaran dikelola oleh sebuah tim kreatif.

Akibat hobi juga menyebabkan pengelolaan program siaran sesuka hati. Dampaknya tidak jarang program siaran diubah-ubah sewaktu-waktu tanpa perencanaan. Program siaran diubah mengikuti trend dengan harapan dapat menarik pendengar dan meningkatkan rating. Sebagai contoh saat trend lagu dangdut, serta-merta beberapa radio lokal memutar musik dangdut. Padahal dalam format siaran yang diajukan ke Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) saat proposal permohonan ijin tidak ada program lagu dangdut. Begitu juga radio di Bali, saat booming lagu Bali mendadak beberapa radio ikut-ikutan memainkan lagu pop Bali. Padahal dalam format siarannya tidak ada mencantumkan menyiarkan lagu-lagu daerah. Parahnya perubahan program yang dilakukan tanpa memberikan permberitahuan dan belum mendapat persetujuan dari KPI. Semestinya perubahan program siaran juga dilakukan secara terencana, bukan mengikuti trend.

Guna menarik pendengar sebanyak-banyaknya maka sebuah stasiun radio mesti mampu merancang program siaran yang unik dan menarik. Perancangan program siaran memerlukan sebuah tahapan agar apa yang menjadi tujuan dapat tercapai secara terukur. Dalam merancang program memerlukan inovasi dan kerativitas. Perancangan program juga harus didukung dengan data yang akurat. Kenyataan yang terjadi selama ini perancangan program tidak didukung dengan data, sehingga penyusunanya hanya berdasarkan kira-kira. Perancangan program radio selama ini cenderung tanpa di duhului dengan riset. Alasannya sangat sederhana yaitu tidak memiliki dana untuk melakukan riset           . Hal hasil program siaran yang dirancang berpedoman pada perkiraan semata. Dampaknya program siaran yang dihasilkan meniru program lembaga pesaing.

Industri radio merupakan sebuah bisnis yang memerlukan modal besar. Modal besar diperlukan untuk biaya operasional dan biaya selama proses permohonan ijin frekuensi. Pemilik usaha tentunya berharap mendapat keuntungan dan pengembalian modal dalam waktu 5-10 tahun. Sebagai sebuah bisnis sangat aneh jika industri radio dalam pengelolaannya tidak memberi keuntungan bagi pemiliknya. Secara bisnis, pemilik saham juga tentu tidak mau terus mengeluarkan dana hanya untuk mendukung operasional radio. Jika pemilik saham tetap bertahan dan memberi dukungan pendanaan maka besar kemungkinan usaha radio yang dilakukan bukan untuk kepentingan bisnis. Kemungkinan kepentingan yang paling sederhana adalah sekedar hobi. Jika benar maka sangat disayangkan bahwa frekuensi publik yang terbatas dan seharusnya digunakan untuk kesejahteraan masyarakat hanya untuk menyalurkan hobi semata.

Ciri lain yang menjadi bukti bahwa industri penyiaran radio masih sebatas hobi yaitu membayar penyiar dengan sangat rendah. Honor yang diberikan berkisar antara Rp. 3000- Rp. 11.000 per-jam untuk setiap penyiar. Honor yang diberikan juga tanpa disertai pemberian uang makan dan uang transport. Kondisi ini menunjukkan tidak adanya penghargaan terhadap kemampuan seorang penyiar. Pemberian honor yang rendah pada penyiar menjadi salah satu bukti kuat bahwa industri radio masih sebatas hobi. Hal yang perlu diantisipasi yaitu jangan sampai membayar penyiar dengan honor yang kecil juga menjadi hobi dari pemilik saham di radio. Bila dilihat dari jumlah penyiar maka semakin terlihat bahwa industri radio masih sebatas hobi, ini karena beberapa radio hanya memiliki 2-6 penyiar. Penyiar tersebut juga hanya pegawai honor. Belum lagi terkadang pekerja honor tersebut selain sebagai penyiar juga bekerja sebagai marketing dan adminitrasi.

Bukti lain yang dapat dijadikan indikator bahwa industri radio masih sebatas hobi yaitu adanya sistem kekerabatan dalam kepemilikan saham dan manajemen pengelolaan radio. Sistem kekerabatan yang dimaksud yaitu pemilik saham, direksi dan jabatan-jabatan kunci dalam manajemen radio diisi oleh orang-orang yang masih memiliki hubungan kekeluargaan. Hingga tidak jarang terdengar bahwa pengelola lembaga penyiaran radio menggunakan manajemen keluarga. Memang tidak ada aturan yang melarang pengelola radio memiliki hubungan kekeluargaan.  Namun sangat tidak baik jika yang terlibat merupakan anggota-anggota keluarga yang tidak memiliki keahlian dan kemampuan dalam mengelola lembaga penyiaran radio. Apalagi anggota keluarga yang dilibatkan hanya sekedar untuk melengkapi struktur organisasi kelembagaan untuk memenuhi kebutuhan adminitrasi.

Pemerintah telah memberikan hak kepada penyelenggara lembaga penyiaran radio untuk mengelola dan menggunakan frekuensi publik untuk kepentingan bisnis. Namun lembaga penyiaran radio juga tidak boleh lupa memiliki kewajiban untuk menyelenggarakan penyiaran dengan baik dan benar. Penyiaran yang baik dan benar dalam artian memberikan siaran yang mendidik, menghibur dan menjadi perekat sosial bagi masyarakat disekitarnya.

Penulis :

I Nengah Muliarta

Praktisi Radio Bali