Budayana

Denpasar (Metrobali.com)-

Dua orang perupa muda Bali yang karya-karya sudah banyak malang melintang di dunia seni rupa yakni I  Ketut Suwidiarta dan I Wayan Gede Budayana berkolaborasi dalam memadukan dua persepsi yang berbeda dalam satu wadah pameran yang bertemakan “Inferno”.

“Saya menemukan buku inferno padaa sekitr abad 14 pertengahan, mengalami semacam spiritual, bagaimana trilogi dari Inferno yaitu neraka ,api penyucian dan paradise namun saat itu masih berbentuk sastra dan saya pribadi menangkapnya sehingga tujuan pameran ini sesungguhnya mendidik masyarakat untuk berbuat bajik, moralitas di gambarkan dengan kengerian dan akan berubah jelek jika kita berbuat salah di dunia padahal aturan itu dari sana kan,” kata Ketut Suwidiarta.

Karena itu, Ketut Suwidiarta memiliki makna yang sangat dalam akan arti tersebut, sejak lama dia mengetahui jika inferno adalah rangkaian puisi milik Dante Alighieri yang mahakaryanya berjudul “Komedi Tuhan”. Hanya dimasa kini berbeda.

“Saya berupaya menggambarkan sebuah konsepsi pikiran atas realita yang terus berubah. Terminologi Budisme mengatakan bahwa dunia ini adalah anica (berubah), saya menggambarkan bahwa meraka itu sesungguhnya ada dikehidupan kita masa kini, pikiran yang mengharapkan sesuatu sehingga menimbulkan kekecewaan dan jika tidak sesuai harapan maka menjadi neraka,” cerita perupa asal kabupaten Badung ini ditemui di Denpasar, Kamis (4/12) sore.

Ketut Suwidiantara

Kedua perupa yang sama-sama menempuh pendidikan seni rupa di ISI Yogyakarta ini sudah bersahabat sejak lama, namun baru kali ini bisa mengadakan kolaborasi yang unik. Karena keduanya memiliki kesamaan dalam pemikiran soal inferno. Hanya gaya lukisan keduanya berbeda dalam penyampaian makna tersebut.

Jika Ketut Suwidiantara goresan lukisannya lebih ke gaya riil kontemporer sementara Budayana lebih banyak menggunakan teknik drawing yang tinggi dan penggambaran neraka lebih nyata terlihat dengan menggunakan simbol tengkorak.

Lukisannya lebih banyak ditampilkan dalam nuansa garis ritmis yang membentu meruang, membangun citraan-citraan dari alam inferno.  Garis-garis Budayana berhasil melebur membangun satu renungan dalam suasana ganjil yang sarat pererenungan. Bahkan pesan yang ia sampaikan mampu merubah perilaku seseorang untuk berbuat kebajikan.

“Konsepsi pikiran saya tentu berbeda dengan Ketut, seperti ini judul lukisan saya Ibu ini, dengan penggambaran sosok Ibu dengan banyaknya payudara ditubuh Ibu ini. Menggambarkan bahwa sosok Ibu dari lahir telah memberikan kita kehidupan sehingga saat dewasa kita malah diisi dengan berbagai macam kehidupan yang membuat si anak menjadi sosok yang kurang ajar, namun tetap kembali ke Ibu, bahkan ada karyawan yang melihat lukisan saya ini, dia langsung ingin bersembahyang,” ujar perupa asal Batubulan, Gianyar ini.

Melihat karya mereka terasa spirit dan semangat yang sama tentang sebuah dunia ide. Dunia yang menggambarkan tentang sebuah alam dan hukuman pada situasi yang gamang, ngeri, lucu dan sekaligus bernuansa dingin.

Kedua perupa ini tengah berada pada posisi gairah kreatif dan energi yang besar untuk terus menggali potensi mereka yang diungkapkan dan disampaikan dengan cara-cara yang unik dan khas.

Jika anda tertarik untuk mengetahui lebih dalam arti inferno, silahkan datang ke pembukaan pameran kedua perupa tersebut yang akan dibuka pada hari ini, Jumat 5 Desember 2014 pukul 19.00 wita di Galeri Melati Danes, Veranda Kafe, jalan Hayam Wuruk, Denpasar, selamat berimajinasi menuju alam neraka. SIA-MB