Giat Peradah Indonesia Bangli
Menyambut perayaan Hari Suci Galungan dan Kuningan, Dewan Pimpinan Kabupaten Perhimpunan Pemuda Hindu (DPK Peradah) Indonesia Bangli berkolaborasi dengan Forum Persaudaraan Mahasiswa Hindu Dharma Universitas Udayana (FPMHD-Unud) menggelar “Peradah Ngejot #2”. Sebuah sekolah dan 10 kepala keluarga (KK) prasejahtera yang berada di balik Bukit Kintamani disasar dalam kegiatan sosial tersebut.
KK sasaran tersebar di empat dusun yang berada di Desa Songan, Kintamani, meliputi Dusun Alengkong, Dusun Bukit Sari, Dusun Kayu Selem, dan Dusun Kayupadi. Sedangkan sekolah sasaran yang dituju adalah SDN 7 Songan, satu dari dua sekolah SD yang berada di balik Bukit Kintamani.
Berbeda dengan kegiatan sejenis yang dilakukan enam bulan lalu, “Peradah Ngejot #2” DPK Peradah Indonesia Bangli juga menyisipkan aspek literasi sebagaimana visi yang ingin dicapai organisasi pemuda ini. Gerakan literasi diwujudkan dalam bentuk buku tulis dan buku bacaan Tantri (cerita fabel) yang diserahkan ke SDN 7 Songan. Risalah singkat terkait makna Galungan dan Kuningan berbahasa Bali juga diselipkan dalamjotan (bingkisan) sembako dan sarana upacara yang diberikan pada keluarga sasaran.
“Kegiatan ini digelar sebagai bentuk simakrama menjelang Galungan dan Kuningan. Di sini, kami hanya sebagai fasilitator, sedangkan sumbangan berasal dari umat se-Dharma dan masyarakat umum yang kami wadahi,” kata Ketua Panitia Kegiatan, I Wayan Sui Suadnyana, Sabtu (20/7).
Pemilihan tempat didasarkan pada kondisinya yang memang di kawasan pinggiran, denbgan akses yang relatif sulit dijangkau, baik dari ibukota kecamatan maupun pusat Desa Songan. “Warga yang kami sasar adalah mereka yang dikategorikan kurang mampu terutama yang sudah lansia atau tidak bisa bekerja karena keterbatasan sesuai dengan hasil koordinasi kami dengan aparat terkait di desa tersebut,” imbuh pemuda asal Banjar Langkan, Desa Landih, Bangli ini.
Sementara itu, Ketua DPK Peradah Indonesia Bangli, I Ketut Eriadi Ariana, didampingi Koordinator FPMHD-Unud,  I Putu Eka April Yanto, mengungkapkan alasan pihaknya menyelipkan program literasi dalam kegiatan tersebut. Selain momen yang berhimpitan dengan tahun ajaran baru, literasi keagamaan diharapkan dapat menjadi cermin beragama di masyarakat. “Buku satua Tantri yang kami bagikan ke SD diharapkan dapat menjadi cermin hidup bagi para siswa. Cerita Tantri atau kisah-kisah fabel kami pikir paling tepat diberikan sebagai buku bacaan anak SD sebagai media pembelajaran usia dini,” katanya.
Visi itu disempurnakan dengan melengkapi jotan sembako dengan risalah kecil terkait pemaknaan Galungan dan Kuningan yang ditulis dengan bahasa Bali. “Kami menyadari bahwa bukan hanya perut yang lapar, batin juga lapar. Jika perut bisa kita isi dengan pengetahuan, batin kita juga perlu asupan bija-bija pengetahuan, yang nantinya diharapkan dapat diteruskan ke dalam tindakan. Kami pilih menggunakan bahasa Bali agar lebih dimengerti sasaran yang mayoritas lansia,” kata alumnus Sastra Jawa Kuno Universitas Udayana ini.
Selama ini, pihaknya mengamati praktik keagamaan hanya berhenti pada aspek ritual, yang bahkan diusung secara meriah dan jor-joran. Di sisi lain, umat terkesan abai, bahkan lupa tetangga tak bisa merayakan Galungan atau sampai berhutang untuk merayakannya. “Selama ini manusa yadnya misalnya, hanya berhenti pada ritual, dianggap dengan begitu sudah beragama yang baik, lupa bahkan tak tahu esensi terdalam dari praktik tersebut,” imbuhnya.
Butuh Layanan Kesehatan dan Sarana Penyokong Pendidikan
Sejumlah permasalahan juga ditemukan selama pelaksanaan “Peradah Ngejot #2” DPK Peradah Indonesia Bangli. Dua diantaranya yang amat penting adalah layanan kesehatan dan pendidikan di kawasan balik Bukit Kintamani.
Kepala Dusun Bukit Sari, Songan, Kintamani, I Jero Gede Simpen, mengatakan akses layanan kesehatan terdekat memang cukup jauh, yang terletak di Desa Songan. Untuk melalui itu mereka harus naik-turun gunung, yang bisa memakan waktu 20 s.d. 30 menit. “Layanan kesehatan memang sangat kami perlukan di sini, mungkin bisa diwujudkan dalam bentuk puskesmas pembantu atau lainnya, sebab untuk mencapai yang terdekat memang cukup jauh dari lokasi dusun kami. Belum lagi jika rumah masyarakat bersangkutan di luar akses jalan utama,” katanya.
Akibat yang paling dirasakan akibat minimnya ketersediaan layanan kesehatan ini ketika ada masyarakat yang hendak melahirkan. “Beberapa kasus, masyarakat kami pernah melahirkan di perjalanan, sebelum sampai di layanan kesehatan terdekat. Begitu juga ketika warga ada yang sakit,” ucapnya.
Selain itu, akses listrik dan jalan juga masih sangat diharapkan. Akses jalan hotmix dan listrik diakui baru terselesaikan pada 2018 silam. Khusus listrik, ia mengakui memang baru sebagian warga yang teraliri listrik. “Ada yang belum (teraliri listrik), masih ada yang menggunakan listrik swadaya, yang awalnya digunakan manaikkan air danau, ada juga menggunakan solar panel surya bantuan pemerintah,” tambahnya.
Pengakuan senada juga dinyatakan Kepala SDN 7 Songan, I Nyoman Arus. Ia mengungkapkan aliran listrik di sekolahnya masih dialiri listrik swadaya, sehingga tak cukup kuat digunakan untuk banyak keperluan alat pendukung pendidikan. “Keperluan administrasi saya kerjakan di rumah, kalau di sini tidak kuat,” ucapnya.
Ditambahkan, pihaknga sejatinya kekurangan tenaga pengajar. Saat ini hanya ada 7 guru di SDN 7 Songan, dengan yang berstatus PNS sebanyak tiga orang. “Kami tidak punya guru olahraga, sehingga diajar oleh guru pelajaran lain,” imbuhnya.
Keprihatinan juga tampak dari kondiak sarana penunjang perpustakaan dan ruang kelas. Pantauan di lapangan, buku pelajaran banyak yang merupakan fotocopy, sedangkan kondiai kelas banyak terlihat plafon yang telah jebol. (hd)