PELAKSANAAN Pemilu Legislatif dan Pemilihan Umum Presiden kini tinggal hitungan bulan saja. Namun, kesiapan Komisi Pemilihan Umum Daerah Bali khususnya dan Komisi Pemilihan Umum Pusat masih perlu dipertanyakan. Selain, para komisioner ini dituntut bekerja ekstra keras dalam mensosialisasikan pelaksanaan pemilu, juga persoalan Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang masih bermasalah dari pusat sampai ke daerah.

 

Khusus untuk daerah Bali, di sinilah para komisioner KPU Bali ini harus mampu menunjukkan kinerjanya. Jika tidak, maka para komisioner ini akan dinilai oleh masyarakat Bali, apakah sukses atau tidak di dalam penyelenggaraan pemilu. Di mana saat sekarang, gelombang dan ajakan untuk Golput begitu menggema di masyarakat. Ajakan Golput ini tidak terlepas dari kualitas, dedikasi, idealisme dan komitmen para caleg yang masih diragukan.

 

Selama ini hampir sebagian besar masyarakat tidak mendapat dampak positif secara langsung dari proses demokrasi yang bernama pemilu ini. Masyarakat sering menjadi penonton untuk menyaksikan poto-poto caleg yang  dipajang di sepanjang jalan, ketimbang aktif dalam menentukan pilihan. Rasa memiliki dan rasa simpati masyarakat ini menjadi berkurang karena para Caleg DPR RI, DPRD, dan DPD ini tidak melakukan sosialisasi secara serius.  Di samping figur yang diusung partai politik tidak memiliki nilai jual serta tidak ada figur yang fenomenal yang menjadi alternatif pilihan. Selain itu, figur yang diusung parpol juga masih stok lama atau muka lama sehingga menimbulkan kejenuhan publik terhadap figur yang sering menjual tampang setiap lima tahun itu.

Pemasangan sejumlah baliho Caleg di sudut-sudut jalan jelas tidak mendidik. Masyarakat tidak mendapat makna apa-apa dari baliho yang terpasang itu. Tidak ada kesan yang mendidik, malah sangat mengganggu masyarakat. Poto-poto Caleg dengan gaya tangan mengucapkan ‘’Om Swastiastu’’ dengan memohon doa restu mungkin tidak menarik lagi. Seorang calon wakil rakyat, yang dibutuhkan masyarakat adalah berkarya nyata. Mereka harus terjun ke masyarakat menunjukkan bahwa apa yang mereka perjuangkan kelak bisa diterima dengan akal sehat dan dengan hati nurani. Akan tetapi, kenyataannya sangat berbeda seperti apa yang kita saksikan di masyarakat.

 

Fenomena golput seringkai diidentifikasikan dengan “gerakan protes” terhadap penyelenggaraan pemilihan umum dan pilkada itu muncul hanya setiap lima tahun sekali. Namun yang penting untuk diketahui dari gerakan itu adalah makna dan sasaran yang ingin dicapainya serta implikasinya terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara.

 

Bahwa hingga kini masih tetap ada golput yang memberikan “suara berbeda”, ini suatu tanda zaman “ada apa dengan dinamika demokrasi kita?” Suara berbeda atau dengan kata lain tidak mencoblos salah satu pun dari tanda gambar organisasi peserta pemilu, salah satu pasangan calon kepala daerah atau calon legislatif tentu saja bukannya tanpa kesadaran dan pertimbangan yang argumentatif.

 

Orang-orang golput seperti dikatakan Arif Budiman, salah seorang pencetus golput pada tahun 1971, ada yang murni dan ada yang kecelakaan. Kalau yang murni tidak mau memilih berdasarkan kesadaran, sedangkan yang kecelakaan karena memang benar-benar tidak mengerti atau lagi ada halangan.

Banyak masyarakat yang berpikir dia memilih atau tidak, tidak ada perbedaan yang akan ia rasakan.Banyak pula yangenggan memberikan hak suaranya karena alasan tidak ada calon yang cocok sesuai kata hati mereka atau karena mereka apatis dengan pemilihan kepala daerah. Dan ada jugamasyarakat yang sebenarnya memiliki kartu tanda penduduk namun tidak memiliki hak pilih karena tidak tercatat sebagai DPT.

 

Membahas golput, maka kita tidak lepas untuk menyimak faktor-faktor yang melatarbelakangi seseorang memberikan suaranya dalam pemilu. apakah memilih merupakan hak (rights) atau kewajiban (obligations), atau ritual budaya semata yang tanpa makna?

Kelompok golongan putih (Golput) dalam sebuah negara yang menganut paham demokrasi merupakan fenomena normal dan biasa-biasa saja. Namun, pilihan untuk tidak menggunakan hak politik atau golput harus yang diambil secara rasional, bukan atas dasar emosi jiwa terhadap situasi politik yang ada.

Berdasarkan sebuah survei yang dilakukan secara nasional soal perkembangan orang-orang yang belum bisa menentukan pilihannya dalam Pemilu 2014 (swing voter) dan dikhawatirkan akan menjadi golput.

Di Indonesia, fenomena golput bukan hanya faktor politik seperti perilaku elite di parlemen, lemahnya pendidikan politik, sosialisasi politik dan komunikasi politik,  akan tetapi lebih pada soal administrasi kepemiluan.

Ada banyak orang yang namanya tidak masuk dalam daftar pemilih tetap (DPT) sehingga berpotensi untuk golput. Ada juga nama dalam DPT, tetapi tidak mendapat surat panggilan dari pelaksanaan pemilu di tingkat bawah.

Apabila persoalan administrasi yang sepele ini saja tidak bisa dibenahi dan ditata dengan baik, bagaimana mungkin berharap partisipasi politik rakyat dalam sebuah pelaksanaan demokrasi.Ini persoalan kecil tapi dampaknya cukup dahsyat. Bagaimana mungkin kita mengharapkan sebuah pelaksanaan pemilu yang berkualitas jika persoalan administrasi kepemiluan tidak bisa dibenahi oleh negara.

 

Nyoman Sutiawan

Pemimpin Umum Metro Bali