gunung yang agung

Karangasem, (Metrobali.com) –

Sejak erupsi freatik pada 21 November 2017 pukul 17.05 WITA lalu, Gunung Agung hingga kini belum ‘menyelesaikan’ seluruh fase erupsinya. Dengna kata lain, meski secara visual gunung setinggi 3.142 mdpl itu terlihat tenang, namun masih harus terus diwaspadai. Kepala Sub Bidang Mitigasi Gunung Api Wilayah Timur Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG), Devy Kamil Syahbana memaparkan, dari lima alat pemantauan Gunung Agung semuanya belum menunjukkan tanda-tanda aktivitas gunung yang terletak di Kabupaten Karangasem itu mereda.
“Kemarin sudah erupsi. Pertanyaannya, apakah itu sudah akhir dari fase erupsi? Kalau dikatakan ini sudah akhir, harusnya sudah kembali normal. Kita tinggal bandingkan saja data sekarang dengan data saat gunung agung statusnya normal lima bulan lalu. Ada asap tidak? Sekarang ada. Normal tidak? Tidak. Berarti secara visual dia tidak normal,” kata Devy di Pos Pengamatan Gunung Api Agung di Desa Rendang, Kecamatan Rendang, Kabupaten Karangasem, Bali, Rabu 6 Desember 2017.
Setelah visual, alat ukur berikutnya adalah seismik. Mungkin saja beberapa bulan terakhir warga sudah terbiasa mendengar jika Gunung Agung dihantam oleh ratusan bahkan ribuan gempa sejak krisis pertama kali dimulai pada bulan September. Saat ini, memang jumlah gempanya paling tinggi hanya mencapai puluhan saja. Namun, jika ditarik mundur ke belakang dibandingkan dengan kondisi saat normal, Devy menyebut dalam satu bulan belum tentu Gunung Agung diguncang gempa.
“Satu bulan sama sekali bisa tidak terekam adanya gempa. Artinya apa, dia masih di atas normal,” tutur Devy. Selanjutnya, alat ukur ketiga adalah deformasi atau penggembungan. “Sebelum terjadinya krisis ini, deformasinya bagaimana? Flat,” ujar dia. Setelah krisis dimulai pada September lalu, Gunung Agung mengalami inflasi atau sebesar enam sentimeter. “Naik enam sentimeter. Itu belum balik lagi dan mungkin tidak balik lagi. Artinya, dia sekarang sudah berada di posisi yang berbeda. Jadi, secara deformasi dia belum normal,” urainya.
Dari aspek geo-kimia Devy menyebut pasca-erupsi pada 21 November lalu selalu terukur adanya gas SO2 yagn merupakan gas komponen magma di dalam perut Gunung Agung. Meski dengan jumlah volume yang berbeda-beda, namun sejak saat itu hingga hari ini selalu terukur adanya gas SO2. “Kita mundur ke belakang, jangan jauh-jauh. Beberapa jam sebelum erupsi tanggal 21 November itu sampai drone terbang bolak-balik, SO2 tidak terekam. Artinya, sistemnya masih tertutup kan. Sekarang sistem sudah terbuka dan gas SO2 sudah ada jalur ke luar. Normalkah dia? Jelas tidak normal,” papar pria asal Bandung, Jawa Barat tersebut.
Dari satelit menunjukkan hal sama. Apa yang terekam oleh satelit NASA Modis yakni adanya citra panas di puncak kawah Gunung Agung usai erupsi 21 November lalu. “Dari dulu, dari pertama kali satelit ini ada sampai kemarin erupsi belum pernah merekam adanya citra thermal di dalam kawah. Dari pertama kali satelit itu diterbangkan. Sekarang ada. Itu tidak normal. Jadi, dari seluruh parameter lima alat pemantauan kami ini, Gunung Agung belum kembali ke normal. Artinya ada di level tidak normal,” demikian Devy. (Laporan Bobby Andalan)