Anggota Komisi III DPRD Badung Nyoman Graha Wicaksana

 Kecil, tak Sebanding dengan Risiko yang Ditimbulkan

Mangupura, (Metrobali.com)-

Anggota Komisi III DPRD Badung Nyoman Graha Wicaksana mempertanyakan kontribusi Bandara I Gusti Ngurah Rai kepada desa-desa penyanding maupun kepada Pemkab Badung. “Nilainya sangat kecil, tak sebanding dengan risiko yang ditimbulkannya,” ujar politisi PDI Perjuangan itu saat ditemui di kantornya DPRD Badung, Rabu (21/8) kemarin.

Menurut politisi muda dari Kuta tersebut, kepada desa penyanding seperti Desa Kelan dan Tuban, bandara selama ini hanya memberikan kontribusi antara Rp50 juta hingga Rp70 juta per bulan. Selain itu, ujarnya, desa penyanding di atas juga diberikan konter taksi di Bandara Ngurah Rai. Sementara untuk Kuta, Bandara memberikannya kepada sejumlah banjar terdekat.

Lantas apa kontribusinya kepada Pemkab Badung? Menurut Graha, saat ini Badung hanya memperoleh kontribusi dari pajak parkir yang ada di kawasan bandara. “Yang kami tahu, Pemkab Badung baru memperoleh kontribusi dari pajak parkir,” tegasnya.

Dari segi tenaga kerja pun, Graha menilai masih sangat kecil. Walaupun ada warga desa penyanding yang bekerja di bandara, katanya, itu pun pekerjaoutsourching. “Mereka tidak langsung sebagai pegawai bandara,” katanya.

Dibandingkan dengan risiko yang harus diterima oleh masyarakat, katanya, kontribusi ini sangatlah kecil. Dia menunjuk polusi atau kebisingan yang menimpa masyarakat. Selain itu, kemacetan yang ditimbulkannya menjadi dampak lain yang harus diterima oleh masyarakat.

Karena itu, tegasnya, bandara harus bijak dan memberikan kompensasi dari apa yang diderita warga selama ini. Warga pun, tegasnya, tak memiliki akses harus mengadu ke mana. “Mereka terpaksa menerima apa saja yang diberikan,” katanya.

Lantas kompensasi apa yang mesti diterima oleh masyarakat atau desa penyanding? Menurut Graha, dana yang diterima bisa ditingkatkan sesuai pertumbuhan keuntungan yang diperoleh bandara yang masuk Angkasa Pura I tersebut.

Selain itu, ungkapnya, dari konter yang diberikan kepada desa adat di bandara, katanya, harus diberikan perlakuan khusus. Jatah taksi desa adat jangan dibiarkan bersaing dengan pengusaha transportasi besar yang juga beroperasi di bandara. “Sekarang ini, taksi atau armada desa adat yang ada di sana dibiarkan tanpa perlakuan khusus,” katanya.

Sementara untuk Pemkab Badung, kata Graha, tak cukup hanya dari pajak parkir. Kontribusi masih bisa dari PBB dan pajak penumpang atau pasanger tax. “Jika ada kemauan, kami yakin kontribusi ini bisa diperoleh Pemkab Badung,” katanya.

Hal ini sesuai dengan kontribusi bandara lain terhadap pemerintah daerah, tempat bandara itu berada. Dia mencontohkan Bandara Soekarno Hatta di Banten. “Ini tentu bisa menjadi acuan,” katanya tanpa merinci apa saja yang diperoleh Banten atau Tangerang dari keberadaan Bandara Soetta tersebut.

Walau begitu, dalam jangka panjang, Pemkab Badung harus mencari celah untuk bisa menanamkan saham di proyek bandara. Saat ini, katanya, momennya ada yakni rencana reklamasi dalam rangka pembangunan runway. “Ini harus jadi momen, Badung bisa masuk menanamkan saham di bandara,” katanya.

Bandara merupakan institusi bisnis yang sangat prospektif. Saham di bandara tentu saja sangat menguntungkan. Ketika ini bisa dilakukan, ke depan tinggal berpikir dividen atau keuntungan dari saham yang dimiliki.

Pada kesempatan itu, Graha juga mengkritisi rencana reklamasi dengan cara pengurugan laut. Ini tentu saja akan berdampak buruk bagi lingkungan terutama biota laut. “Kami menyarankan bandara menggunakan tiang pancang sehingga sirkulasi laut masih bisa berjalan seperti biasa, dan lingkungan pun tak terdampak,” katanya.

Editor : Hana Sutiawati