Oleh: I Gde Sudibya.
Pandemi Covid-19 dalam 4 bulan terakhir telah menjangkiti sekitar 4.41 juta manusia, dengan korban meninggal: 229, 282 orang.  Angka 4.41 juta untuk seluruh dunia ini yang positif terpapar, belum termasuk kategori PDP, ODP, dan OTG.
Pandemi ini menggemparkan dunia dan terkesan menakutkan karena sejumlah alasan cepat, dan luasnya penyebaran, tingginya jumlah korban, tidak diprediksikan oleh para akhli dalam bidangnya, tidak ada satu negarapun ( termasuk negara dengan sistem pelayanan kesehatan terbaik di dunia ) mampu menanggulanginya secara cepat. Pada sisi yang lain vaksin pembasmi dari virus SARS Cov-2 ( penyebab dari penyakit dengan label: Covid-19 ) sampai hari ini belum ditemukan, sehingga obat anti virus yang sekarang dipergunakan untuk membasminya seperti remdesevir, kombinasi dari lovinavir dengan ritonavir,  dan interveron beta, belum terjamin efektivitasnya ( Kompas, 6/5 ).

Akibat pandemi ini, masyarakat manusia di belahan bumi ini mengalami kegugupan dan kegagapan luar biasa,  terutama pada sebagian masyarakat yang telah menikmati kelimpahruahan materi, kesenangan kehidupan ( leissure ) yang nyaris tanpa batas, yang dilahirkan oleh sistem kapitalisme global  dan yang sangat percaya  iptek akan dapat menyelesaikan secara cepat seluruh persoalan umat manusia. Digambarkan secara provokatif dalam buku: Homodeus ( Manusia Dewa ) oleh: sejarahwan Yuval Noah Harari, yang buku ini ” laris manis” di dunia.

Dampak Ekonomi
Karena pandemi ini penyebarannya begitu cepat, dengan luas sebaran ( coverage ) begitu luas lebih dari 195 negara, dengan risiko kematian yang tinggi, dalam perekonomian global yang pertumbuhannya bertumpu kepada kecepatan lalu lintas modal dan manusia, dalam waktu singkat pandemi ini memporakporandakan sitem perekomian global.
IMF memperkirakan pertumbuhan ekonomi dunia akan tumbuh negatif 3%. ILO memperkirakan jika pandemi ini berlangsung sampai dengan akhir Juni 2020, ratusan juta tenaga kerja  produktif  akan menjadi pengangguran, terutama di industri pariwisata  manufaktur dan perdagangan serta jasa.
Untuk kita di Indonesia, pada skenario terburuk, pemerintah memperkirakan pertumbuhan negatif 0.4%  tahun ini. Ekonomi Bali diperkirakan akan mengalami hal yang sama, bahkan diperkirakan lebih buruk, sebagai akibat dari ketergantungan tinggi pada industri pariwisata.
Gerakan Sosial Melawan Pandemi
Dari survey Global Health Security Index kita memperoleh informasi: tidak ada satu negarapun yang siap menghadapi pandemi ini,  sehingga terjadi kegugupan di banyak negara ( paling tidak di masa awal ) dalam meresponsnya.
Dalam konteks Bali, kalau disimak pemberitaan yang sumbernya dari press release Tim Penanggulangan tingkat: Provinsi, Kabupaten dan Kota yang secara kontinyu dilakukan, terdapat kesan ( semoga kesan ini salah, karena penulis tidak punya data relatif lengkap untuk membuat analisis komprehensif ), Tim menghadapi kendala: dalam perumusan strategi komprehensif, keterbatasan dana dan sejenisnya.
Sehingga test ( RGT dan Swab ) tidak dapat dilakukan secara cepat dan optimal. Kerja lebih fokus ke post factum ( setelah kejadian ), tidak ke tindakan preventif test dan penelusuran. Selain itu, tidak ada crisis centre yang merupakan war opearations room dengan media centre pendukungnya.
Begitu pula protokol kesehatan tidak berjalan optimal, terbukti dari:  kegiatan pasar tetap ramai, tidak jaga jarak dan penggunaan masker tidak maksimal dan sejumlah persoalan lainnya.
Dalam keterbatasan Tim seperti ini, Banjar Adat dan Desa Adat  dengan inisiatifnya sendiri semestinya, dapat melakukan gerakan swadaya  yang lebih sistimatik, menjadi gerakan sosial, sebagai wujud dari nilai keberanian nindihin gumi dan pelaksaan gotong royong: paras paros sarpanaya.
Bentuk kongkrit dari nindihin gumi dalam melawan pekebeh jagat (  pekebeh jagat  banyak disebut dalam lontar Ronga  Sengara Gumi ) untuk memenangkan ” peperangan” melawan pandemi ring sawewengkon jagat Bali Dwipa, menyebut beberapa diantaranya.
Pertama, Sikap JENGAH, berani nindihin gumi, ditunjukkan oleh Bendesa/ Kelian/Penyarikan Adat  dengan seluruh perangkatnya: pecalang, sekehe teruna-teruni, menegakkan secara ketat seluruh protokol kesehatan yang telah diumumkan pemerintah: cuci tangan, JAGA JARAK, DILARANG BERKERUMUN , dan jaga kondisi kesehatan tubuh. Tegakkan aturan dengan disiplin ketat setiap kegiatan isolasi mandiri di masing-masing Banjar, dan lakukan penelusuran ( tracing ) setiap kemungkinan risiko.
Kedua, kerja memenangkan ” pertempuran” dan ” peperangan ” ini, seharusnya sistem kerja yang METAKSU, kerja cerdas yang dimulai dari keputusan cerdas dan implementasi yang tidak kalah cerdasnya.  TAKSU BALI, telah melegenda di seluruh dunia melalui karya-karya seninya.
Ketiga, Sistem nilai yang menyatakan: ” kehidupan adalah keutamaan dan kemulyaan, lakukan keutamaan dan kemulyaan ini dalam ke seharian kehidupan ” . (Prasasti  Sukawana  Icaka 740, Prasasti tertua dii Bali ). Sekarang krama Bali di hari-hari ke depan ditantang untuk mewujdkan sistem nilai tersebut dalam memenangkan ” perang ” melawan pandemi. ” Perang ” yang harus dimenangkan,  kalau kita bersama tidak ingin dipersalahkan oleh generasi – generasi berikutnya.
Tentang Penulis
I Gde Sudibya, Ketua Pusat Kajian Hindu ( The Hindu Centre ) Denpasar. Penulis buku: Hindu menjawab Dinamika Zaman, Kebudayaan Bali ( Bunga Rampai Pemikiran ) dan Pemikiran Visioner Pembangunan Bali.