Agung Darmayuda

IGN Agung Darmayuda

Sesaat setelah pelantikan anggota Panitia Pemilih Kecamatan (PPK) dan Panitia Pemungutan Suara (PPS) Kota Denpasar, penulis dihampiri oleh seorang anak muda yang baru dilantik menjadi anggota PPS dari salah satu desa dari Kecamatan Denpasar Selatan. Sebut saja namanya Tude  karena penulis konfirmasi saat menulis ini agar tidak disebut nama aslinya, baiklah dik Tude ha ha ha ha. Tude tertarik dengan statemen penulis saat memberi bimtek tadi berkaitan dengan faktor psikologis yang menyebabkan pemilih tidak datang ke TPS saat pemungutan suara.

Saat memberi bimtek, penulis menyebut ada dua faktor utama pemilih tidak datang ke TPS, yaitu yang pertama faktor teknis dan yang kedua faktor psikologis. Faktor teknis terdiri dari tiga hal yaitu: 1. Karena pemilih tidak terdaftar dalam daftar pemilih; 2. Pemilih tidak tahu adanya pemilihan; 3. Masalah ruang dan waktu bagi pemilih. Masalah teknis ini sebenarnya sudah diupayakan untuk dapat diatasi antara lain dengan dilakukan pendataan pemilih berkelanjutan dengan system sidalih oleh KPU RI, bekerjasama dengan dinas kependudukan. Gencarnya kegiatan sosialisasi adalah sebagai upaya untuk mengatasi kurangnya informasi dan ketidaktahuan pemilih terhadap pemilu. Kemudian masalah ruang dan waktu dapat diatasi dengan adanya peraturan bahwa pemilih  dapat melakukan pindah memilih apabila pemilih tidak ada ditempat karena berbagai faktor.

Faktor psikologis terdiri dari 2 hal antara lain: 1. Pemilih yang pesimis terhadap proses demokrasi, 2. Pemilih yang pragmatis terhadap proses pemillu.  Pemilih yang pesimis terhadap proses demokrasi adalah pemilih yang merasa bahwa pemilu itu adalah sesuatu yang tidak ada gunanya, menghabiskan uang, banyak buruknya daripada manfaatnya, menghasilkan pemimpin yang korup dan lain sebagainya. Pemilih yang pragmatis adalah pemilh yang partisipasinya tergantung pada imbalan yang didapatkan, baik untuk individu maupun kelompoknya. Faktor ini membuat biaya untuk menjadi calon pemimpin itu menjadi mahal karena pragmatisme pemilih ini.  Faktor psikologis ini memang faktor yang berat untuk dapat kita atasi karena harus melibatkan seluruh komponen masyarakat harus turut bertanggungjawab terhadap masalah ini.

Tude kemudian dalam diskusi singkat saat itu menambahkan faktor psikologis yang ketiga yaitu popularitas calon. Penulis kemudian terjemahkan sebagai tingkat elektabilitas calon.

Saat ini para pengusung calon sangat mempertimbangkan faktor ini sehingga implikasinya, politik terjebak dalam urusan keterkenalan. Demokrasi berubah jadi tirani popularitas. Pertarungan elektoral sama dengan pertarungan popularitas. Fakta ini diperkokoh hadirnya berbagai industri survei yang bisa mendongkrak atau mengambrukkan figur dalam semalam. Kehendak rakyat dikonversi jadi urusan popularitas semata, inilah akhir dari demokrasi, bahkan akhir yang sesungguhnya dari sejarah.

Demokrasi jaman now  seharusnya dimaknai untuk memunculkan pemimpin yang tidak sekedar popular  tetapi juga berkualitas  terutama berkualitas dalam memegang prinsip dan tindakan.

Berpikir kebangsaan, berkata kebangsaan dan bertindak demi bangsa, bukan untuk sekelompok orang saja. Masih banyak lagi Tude masalah demokrasi jaman now, mari bersama-sama membangun Indonesia, diawali menjadi penyelenggara tingkat desa salah satunya. Diskusi dengan Tude kami akhiri denga ucapan selamat telah dilantik menjadi anggota PPS, selamat bertugas, mari membangun demokrasi jaman now, semangat…!!!

Penulis :

IGN Agung Darmayuda/Komisioner KPU Kota Denpasar