Ilustrasi hutan

Tantangan Bali di masa depan, di tengah perkembangan industri pariwisata yang kapitalistik, sangat besar. Alih lahan ke tangan-tangan investor global, mengancam masyarakat Bali sebagai kaum pinggiran di tengah gemerlapnya pariwisata Bali.

Sementara itu, perda desa adat hanya mengatur pelemahan desa adat, hanya tanah milik desa adat dan guna kaya. Karena itu, perlu upaya untuk melakukan reclaim atas berbagai tanah-tanah adat yang seharusnya menjadi milik desa adat. Ide tersebut dibahas dalam diskusi Pusat Kajian Hindu, di kantor PHDI Bali, Jumat (21/6). Diskusi ini dimoderatori Dr. I Gede Sutarya.
I Putu Suasta, MA menyatakan, suatu masyarakat bisa hidup apabila memiliki daya adaptasi yang tinggi. Peradaban-peradaban besar banyak yang runtuh, karena ketidakmampuannya beradaptasi. Sebaliknya, masyarakat yang tidak begitu tinggi peradabannya, bisa berkembang karena memiliki kemampuan untuk beradaptasi. “Ada binatang yang diperkirakan sudah punah 5 juta tahun yang lalu, tetapi ditemukan masih hidup, itu karena mampu beradaptasi,”katanya berapi-api.
Drs. I Gde Sudibya sepakat dengan hal itu. Dia menjelaskan, bahwa ruang merupakan kebutuhan yang paling vital untuk melakukan berbagai ekspresi. Perda desa adat memberikan kesempatan desa adat untuk memiliki tanah sebagai palemahan. Kesempatan ini harus dimanfaatkan dengan melakukan reclaim atas perhutanan sosial sebagai hutan milik desa adat. “Pemerintah banyak memberikan hal itu kepada masyarakat, ini harus dimanfaatkan,”katanya.
Hutan sosial yang bisa diklaim, katanya, adalah hutan konservasi dan budidaya. Hutan-hutan itu adalah sumber-sumber mata air masyarakat Bali, yang harus dilindungi masyarakat Bali. Akan tetapi pemanfaatannya, diatur sedemikian rupa sebagai hutan yang memberikan manfaat ekonomi kepada desa-desa adat yang memilikinya. “Ini harus diupayakan dengan sungguh-sungguh,” tegasnya.
Wartawan senior, I Wayan Suyadnya menambahkan, ruang-ruang Bali secara lebih luas perlu mendapatkan perhatian. Masyarakat sebenarnya berharap kepada perda desa adat, tetapi masih belum memuaskan. Karena itu, perlu ada pembahasan Undang-Undang Pembentukan Provinsi Bali yang mengatur tentang otonomi provinsi Bali. “Itu harus diupayakan bersama,”katanya.
Dijelaskan, perhutanan konservasi dan budidaya, masih merupakan milik deperteman kehutanan, karena itu masih menjadi wewenang pemerintah pusat. Karena itu, ini perlu dibicarakan secara bersama-sama, sehingga itu benar-benar bisa menjadi milik desa adat. “Yang ideal, harusnya Otsus untuk Bali,”katanya.
Dr. I Gusti Ngurah Nitya Sandiarsa menyatakan, reclaiming ini harus disertai langkah-langkah untuk menyiapkan kemandirian masyarakat Bali. Masyarakat harus dipersiapkan mampu untuk mengelola itu dengan baik, sehingga bisa berfungsi secara baik untuk kemakmuran masyarakat dan bisa berfungsi sebagai kawasan hutan yang menjadi sumber-sumber mata air.
Moderator, I Gede Sutarya menggarisbawahi hal ini, bahwa kawasan-kawasan hutan tersebut juga merupakan kawasan suci. Karena itu, kawasan ini harus diupayakan untuk dikelola desa adat, tidak hanya untuk memenuhi fungsinya secara ekonomi dan konservasi, tetapi juga memenuhi fungsinya sebagai kawasan suci. “Ini telah diusulkan dulu dalam perda desa, tetapi belum bisa, mudah-mudah ini masuk celah untuk diserahkan menjadi milik desa adat,”katanya.
Suasta sepakat dengan hal itu. Perda desa adat telah disahkan, karena itu hanya bisa dicari celah untuk melindungi ruang-ruang Bali dari perda itu. Celahnya adalah adanya pengakuan tentang milik desa adat. Pengakuan ini harus dimanfaatkan desa adat dengan menuntut pengakuan atas perhutanan sosial sebagai milik desa adat. “Saya harapkan ini eksekusinya cepat. Kita sudah lama begini, ingat umur ini,”katanya.
Sudibya menyatakan, ini harus cepat karena sesuai hak asal-usul, perhutanan sosial itu menjadi milik desa adat. Hal itu bisa dijelaskan dari sejarah lama sampai masa kini. Nanti, itu harus didukung dengan penjelasan yang sangat baik dari hak asal-usul tersebut. “Saya pikir, itu bisa dijelaskan dengan sangat baik,”ujarnya. (Sutarya)