PKB 2014

Denpasar (Metrobali.com)

 

KINI detik-detik terakhir coblosan suara rakyat telah tuntas. Pesta demokrasi kebangsaan pemilihan presiden ke tujuh negeri ini, Rabu (9/7) telah berlangsung secara damai, aman, dan nyaman. Proses penghitungan suara di setiap Tempat Pemungutan Suara (TPS) pun telah dituntaskan dalam situasi dan kondisi yang relatif kondusif. Meskipun sempat diwarnai kampanye hitam dan kendala teknis dalam pendistribusian surat suara di sejumlah TPS. Bahkan, berbagai lembaga survei secara marathon berupaya menghipnotis publik dengan prediksi quick count, hitung cepat Indonesia satu, presiden terpilih.

Sebagian besar dari lembaga survei tersebut, yakni delapan versus empat untuk sementara bahkan telah menyatakan bahwa pasangan Ir. Joko Widodo dan Drs. Muhammad Yusuf Kalla lebih unggul dari pasangan Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa. Dinamika politik pun seakan semakin bergejolak, tapi tetap dalam suasana damai. Menanti detik detik keputusan rekapitulasi resmi lembaga Komisi Pemilihan Umum (KPU) tentang pengesahan dan penetapan kepemimpinan bangsa dan negara periode 2014-2018 mendatang, tepatnya Selasa (22/7) nanti.

Di tengah euforia pesta demokrasi kebangsaan ini sejatinya juga sedang berlangsung pesta bola atau pesta piala dunia, serta sekaligus pesta seni budaya dalam Pesta Kesenian Bali (PKB) ke-36 di UPT. Taman Budaya (arts centre) Bali, Denpasar. Bahkan, beragam aktivitas pagelaran kesenian para duta seni budaya dari kabupaten/kota serta partisipasi luar daerah dan luar negeri dalam pelaksanaan PKB selama sebulan, semenjak dibuka secara resmi oleh presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Jumat (13/6), kini telah memasuki detik-detik terakhir. Tepatnya, hanya selisih tiga hari dengan proses coblosan pemilihan presiden, yakni akan ditutup secara resmi oleh gubernur Bali, Made Mangku Pastika, Sabtu (12/7) malam.

Merujuk fenomena politik dalam pelaksanaan coblosan pemilihan presiden, dan dinamika aktivitas seni budaya selama pelaksanaan PKB ke-36 di tengah kegairahan dan semangat euforia bola, kemenangan pencetak gol keberuntungan di ajang pesta piala dunia semestinya para elite penguasa pemangku kebijakan birokrasi pemerintahan dituntut harus mampu mengapresiasinya secara bijaksana dengan melaksanakan gerakan perubahan radikal berupa revolusi mental. Artinya, ke depan harus berupaya keras merancang perubahan perilaku tindakan berbasis budi pekerti terhadap kinerja dari kiprah pengabdian sosialnya dalam mengayomi dan melayani kepentingan khalayak publik seluas-luasnya sesuai fungsi dan tugasnya berlandaskan ketentuan konstitusi, UUD’45 dan Pancasila.

Langkah strategis ini tentunya dalam upaya menciptakan program revolusi budaya secara lebih bermartabat dan berintegritas. Sebagai keniscayaan membenahi pencitraan ruh dan taksu PKB yang lebih baik secara mendunia di masa datang. Sehingga, konstruksi kebijakan kebudayaan berbasis kearifan lokal khas Bali selama pelaksanaan PKB setiap tahun tidak dicap publik senantiasa monoton dan selalu tersandera perilaku tindakan cacat moral dari praktik budaya premanisme secara masif dan sistemik. Di samping itu, juga sebagai upaya memuliakan semangat dan kegairahan kalangan seniman dalam menciptakan beragam karya seni budaya unggulan berbasis kearifan lokal khas Bali yang lebih kreatif, inovatif dan kompetitif, berdaya saing global. Demi peningkatkan upaya pelestarian dan pengembangan kebudayaan bangsa sesuai tuntutan peradaban zaman dengan kemajuan teknologi serba canggihnya.

Patut diketahui bahwa selama pelaksanaan PKB tahun ini dengan tema Kertamasa, yang dimaknai sebagai dinamika kehidupan masyarakat agraris menuju kesejahteraan semesta telah menyajikan beragam kesenian unggulan persembahan duta seni budaya dari setiap kabupaten/kota, serta partisipasi luar daerah (nasional) dan luar negeri (asing/dunia). Di mana, beragam kesenian tersebut telah dijabarkan dalam program unggulan tetap dalam pelaksanaan PKB setiap tahun, seperti pawai, parade/lomba, pagelaran, pameran, serasehan, dan dokumentasi. Meskipun, beragam kesenian tersebut memang masih dominan terkesan monoton. Tapi, dalam pengamatan lapangan terdapat sejumlah kesenian terkesan cukup mampu memberikan penampilan berbeda dengan perpaduan antara tradisional dan modernitas globalisasi sesuai konteks kekinian.

Jebakan Monoton

Pencitraan publik terhadap kesan monoton selama pelaksanaan PKB setiap tahun dalam pagelaran kesenian rekonstruksi memang sangat wajar adanya. Tapi, keragaman program pagelaran kesenian bersifat pelestarian dan pengembangan semestinya harus mampu terbebas dari kesan monoton. Ini berarti perlu adanya keberanian untuk membongkar kebiasaan malas dalam berkreasi dengan melakukan eksplorasi secara lebih variatif sesuai tuntutan dari konteks perubahan peradaban zaman kekinian. Sehingga, integritas denyut nadi kreativitas kehidupan berkesenian terbebas dari jebakan pencitraan monoton.

Dengan kata lain, karya seni budaya unggulan kalangan seniman sebagai pelaku utama penggerak kebudayaan bangsa harus tetap kritis dan berdaya saing global serta mampu mengadaptasi kemajuan teknologi serba canggihnya dalam memaknai setiap perubahan dari gejolak perekonomian pembangunan kebudayaan bangsa secara terus-menerus dan berkesinambungan. Demi mewujudkan peningkatan kualitas pelaksanaan PKB setiap tahun, dan sekaligus menciptakan kesadaran publik dalam memuliakan nilai kemanusiaan dan tetap menjunjung tinggi etika sosial sesuai ketentuan konstitusi, UUD’45 dan Pancasila.

Pagelaran kesenian yang dicap monoton selama pelaksanaan PKB tahun ini terdiri atas program rekonstruksi kesenian gambuh, kesenian gandrung, termasuk seni pertunjukan parade joged bumbung, dan parade gong kebyar. Namun, rupanya publik seakan tetap berupaya mengapresiasi kehadiran keragaman kesenian dari seniman partisipasi baik lokal, luar daerah maupun luar negeri selama pelaksanaan PKB berlangsung. Ini tentunya sebagai wujud nyata dan langkah konkrit dari kinerja kepanitiaan dalam menciptakan kesan kebaruan dan perubahan secara signifikan untuk mengikis kesan monoton, yang selama ini senantiasa menyandera pencitraan pelaksanaan PKB setiap tahun. Di antaranya, seni pertunjukan kolosal Drama Musikal Mahabrata berjudul Arjuna Sangsaya persembahan Pramusti Bali, pagelaran seni kontemporer, kolaborasi seniman Bali dan seniman dunia (asing/luar negeri).

Upaya menciptakan perubahan global sangatlah penting dalam merajut elektibilitas kebudayaan bangsa berbasis kearifan lokal khas Bali yang telah dikonstruksi mendiang Prof. Dr. Ida Bagus Mantra selama pelaksanaan PKB setiap tahun. Karena, sudah menjadi kewajiban moral bersama mendorong pencitraan PKB yang lebih baik ke depannya. Langkah konkritnya dengan meningkatkan kualitas berdemokrasi, sehingga partisipasi publik semakin nyata dan jelas dalam mengontrol kinerja kepanitiaan selama pelaksanaan PKB berlangsung. Dengan begitu tindakan perilaku cacat moral dari praktik budaya premanisme yang memanipulasi kesadaran atas kebenaran publik tidak senantiasa merasa aman dan nyaman berlindung dibalik birokrasi banjar dinas maupun adat dalam desa pekraman. Setidaknya, publik semakin kritis dan berkomitmen untuk mendorong para elite politik penguasa pemangku kebijakan dari birokrasi pemerintahan melakukan gerakan perubahan secara terbuka dengan penegakan supremasi hukum yang berkeadilan dan bermartabat.

Ingatlah selalu  bahwa kebebasan tanpa disertai penegakan hukum dan etika sosial secara demokratis di tengah kehidupan masyarakat dalam suasana kebathinan pluralisme dan multikulturalisme tentunya dapat menciptakan ketidakadilan dan kekecewaan publik yang sangat masif dan sistemik. Bahkan, jika fenomena ini dibiarkan terjadi secara terus menerus karena adanya praktik pembiaran tentunya dapat melecehkan semangat kegairahan perjuangan dan pengorbanan kreativitas kreatif inovatif para seniman dalam mengonstruksi program kesenian unggulan selama pelaksanaan PKB berlangsung. Di samping itu, akan ada kesan bahwa wibawa para elite politik penguasa pemangku kebijakan birokrasi pemerintahan telah kehilangan harapan dan kepercayaan publik dalam mengonstruksi kebudayaan bangsa selama pelaksanaan PKB setiap tahun. Karena, maraknya tindakan perilaku cacat moral dari praktik budaya premanisme selama ini kecederungan hanya berupaya mengejar keuntungan pribadi maupun kelompok atau golongan tertentu, terutama para kroninya secara kebablasan dan tidak bertanggungjawab.

Keinginan untuk mengubah realitas tradisi salah kaprah dari tindakan perilaku praktik budaya premanisme selama pelaksanaan PKB berlangsung tentunya seakan merupakan keniscayaan dalam melakukan revolusi budaya. Mengingat, oknum para aktor pengonstruksi praktik budaya premanisme tersebut merupakan bagian dari birokrasi pemerintahan dan bahkan telah diketahui khalayak publik secara transparan. Hanya saja, tidak adanya keberanian para aparat negara untuk menindak sesuai ketentuan konstitusi, UUD’45 dan Pancasila. Akibatnya, kesan praktik pembiaran dicap publik telah melecehkan kewibawaan dari lembaga penegak hukum secara terstruktur dan sistematis.

Harapan Baru

Upaya menyelesaikan persoalan sengketa atau konflik masa lalu, baik intenal maupun eksternal yang senantiasa menyandera selama pelaksanaan PKB berlangsung setiap tahun merupakan tantangan besar kepemimpinan bangsa yang kredibel, berorientasi tindakan dalam menciptakan harapan baru bagi peningkatan pelestarian dan pengembangan kebudayaan bangsa sesuai tuntutan perubahan peradaban zaman dengan kemajuan teknologi serba canggihnya.

Salah satunya, yang paling penting adalah membongkar sekaligus menuntaskan tindakan perilaku cacat moral dari praktik budaya premanisme yang terus-menerus telah mengomersialisasikan ruang publik seperti akses untuk berdagang, ruas jalan raya, dan trotoar, termasuk tindakan intimidasi atau ancaman terhadap instansi pendidikan yakni kampus ISI Denpasar untuk kegiatan perpakiran komersial berdalih penggalian dana demi kepentingan pribadi maupun kelompok atau golongan tertentu dengan berlindung dibalik birokrasi banjar dinas dan adat di desa pekraman.

Hanya dengan begitulah, konstruksi program pagelaran kesenian dalam pelaksanaan PKB berlangsung akan dapat mewujudkan pencitraan bersih dari perilaku tindakan praktik budaya premanisme yang ototiter atau ditaktor secara masif dan sistemik. Bahkan, wibawa kepemimpinan para elite politik penguasa pemangku kebijakan dalam birokrasi pemerintahan pun tidak senantiasa dicap publik sebagai oknum intelektual pelaku tindakan kongkalikong atas praktik pembiaran yang terstruktur dan sistematis selama ini. Sehingga, kegairahan kinerja kepanitiaan antara rencana kerja dan implementasi dalam pelaksanaan PKB dapat mencerminkan profesionalisme dengan harapan baru, yang lebih menyejahterakan, terutama bagi kalangan seniman.

Dalam mencapai harapan baru itu adalah tugas kita bersama terutama para penegak hukum dan penjaga keamanan ruang publik. Karena, penegakan supremasi hukum berkeadilan dan bermartabat merupakan indikator utama dalam menyelesaikan persoalan sengketa atau konflik masa lalu baik intenal maupun eksternal yang senantiasa menyandera selama pelaksanaan PKB berlangsung setiap tahun. Apalagi, saat ini fenomena demokrasi politik kepemimpinan bangsa sangatlah mendukung akan adanya gerakan perubahan radikal tersebut. Jika alternatif kebijakan ini tidak juga dapat dilakukan dengan baik berarti secara menyeluruh harus ada gerakan revolusi mental dari kepanitiaan penyelenggara PKB ke depannya.

Demi perubahan radikal dari gerakan revolusi mental dalam menciptakan revolusi budaya kita semua senantiasa harus mengingat pernyataan tegas Wali Kota Surabaya, Tri Rismaharini saat menutup sejumlah bisnis prostitusi di Kota Surabaya, yang sangat patut diteladani, yakni: Memang sulit, tapi bukan berarti tidak bisa. Potret heroisme ini merupakan cerminan publik yang menginspirasi terciptanya konstruksi kebudayaan bangsa berbasis kearifan lokal khas Bali selama pelaksanaan PKB setiap tahun secara berkeadilan dan bermartabat. Intinya, harus ada niat tulus dan langkah nyata dari para elite politik penguasa pemangku kebijakan birokrasi pemerintahan untuk melakukan introspeksi diri menuju arah perubahan revolusi budaya yang berintegritas.

Harus dicatat bahwa suatu kebijakan tidak akan efektif jika para pembuatnya, dalam hal ini kepemimpinan para elite politik penguasa pemangku kebijakan birokrasi pemerintahan tidak memiliki legitimasi publik yang merakyat, bersih dan jujur. Implikasinya, jalan panjang untuk menciptakan ruang publik yang terbebas dari tindakan perilaku praktik budaya premanisme dalam desa pekraman selama pelaksanaan PKB setiap tahun akan menjadi terhambat. Pencitraan PKB dengan kesan monoton pun akan semakin memprihatinkan. Dengan begitu tujuan PKB mencapai kemuliaan hati tentunya tidak akan pernah tercapai dengan baik. Degradasi budaya juga akan menjadi ancaman serius bagi upaya pencetakan karakter bangsa berbasis kebudayaan bangsa. Maka itulah, gerakan revolusi budaya sudah semestinya menjadi prioritas utama dalam pelaksanaan PKB selanjutnya.WB-MB